Monday 29 December 2008

kios kopi pasar sore

Sudah tiga kali Pasar Sore terbakar.
Yang pertama dulu, ketika kau masih SD. Ingat? Waktu itu bis yang kita tumpangi tak juga bergerak selama hampir satu jam. Tertahan di depan lapangan golf Rawamangun.

Yang kedua, kau sudah SMA. Kau yang berlari pulang mengabari aku bahwa pasar itu kembali terbakar. Yang sekali ini cukup besar, sampai hampir menyambar kompleks IKIP.

Yang ketiga, kau sudah kawin. Anakmu baru umur beberapa bulan waktu itu. Aku mengabarimu lewat telepon.

Setiap kali pasar itu terbakar, kita selalu memikirkan satu hal: warung kopi Koh Lauw. Mungkin bukan warung kopi, tapi kios kopi. Koh Lauw berjualan aneka kopi di salah satu pojok pasar. Kalau masuk dari Rawamangun muka, kiosnya berada di sudut paling kiri.

Sejak kecil kau selalu kubawa ke kiosnya. Paling tidak, sebulan sekali kita mengunjunginya. Beli kopi. Pilihanku: kopi Toraja. Kau suka memperhatikan lelaki cina itu menimbang, lalu menggiling kopi. Bunyi mesinnya berisik sekali. Tapi kau tak peduli. Malah kau sering menjulur-julurkan kepala, mengejar bau kopi. Habis digiling, serbuk kopi meluncur ke dalam kantong kertas coklat. Begitu berpamitan, Koh Lau pasti mengulurkan beberapa butir permen coklat. Kau langsung bilang terima kasih, sambil agak melompat. Senang.

Pasar Sore, semalam, terbakar lagi. Untuk yang keempat kalinya.
Kau kukabari lagi. Anakmu yang menerima telepon. Lalu seperti pada waktu yang sudah-sudah, kau kembali mengajukan pertanyaan yang sama, “Koh Lauw aman, Bu?”
Aku sudah menengoknya pagi tadi. Dan jawabanku untukmu, “Satu-satunya kios yang selamat di pasar. Yang lain jadi abu.” Sama seperti yang aku ceritakan beberapa tahun lalu. Sama seperti saat pertama kita menengoknya sehabis kebakaran yang pertama dulu: satu-satunya kios yang selamat di pasar itu.

Lalu, kau mengulang kalimat Koh Lauw kepada kita, “Kalau yang lain panas, jangan ikut panas. Bikin dingin pikiran, hati. Sembahyang. Supaya hati dingin, pikiran adem. Kalau pikiran adem, hati dingin, nggak ada yang berani nyamperin. Api barang panas, takut sama yang dingin."

penuh rahmat

Siapa yang datang paling pagi dan membuka pintu kantor? Rahmat. Siapa yang terakhir pulang dan mengunci pintu kantor? Rahmat. Siapa yang bisa dengan cepat membelikan makan siang, meski hari hujan? Rahmat. Meski ada opas dan pesuruh lain, hampir semua orang di kantor mengandalkan Rahmat untuk menjalankan aneka tugas

Sudah berapa lama ia bekerja di sini, ya?
Lebih dari duabelas tahun.
Selama itu?
Ya, selama itu.
Dari awal sudah jadi opas?
Ya, dia mau jadi opas saja. Pernah ada usulan dia belajar komputer, supaya bisa naik jabatan dan gaji dan tunjangannya.
Dia tak mau?
Menolak dengan halus.
Tak dipaksa?
Untuk apa?
Untuk kebaikannya, tentu.
Alasannya membuat orang SDM tak ingin memaksa.
Apa?
Dengan jadi opas, ia sering dapat uang persenan.
Oh!
Tunggu, tunggu.... Dengar dulu, ini tidak seperti yang kau duga.
Uang persenan itu ia kumpulkan dan ia serahkan kepada tetangganya, seorang janda tua yang mengurusi tiga orang cucu umur 8, 10 dan 12 tahun. Dengan jadi opas, ia tak perlu lembur di jam aneh-aneh. Sehingga ada waktu untuk mengurusi nenek tua tetangganya itu di hari-hari libur.
Mengurusi tetangga....
Ya, kayak orang kurang pekerjaan saja. Kamu tahu, rumah Rahmat itu jauhnya bukan main. Kalau ke kantor, dia harus berangkat begitu selesai sembahyang subuh. Berarti dia bangun lebih pagi dari itu, karena harus membantu istrinya mengurusi anak sulung mereka, sekaligus membereskan rumah.
Kenapa dengan anaknya?
Kena radang otak.
Astaga, sudah umur berapa?
Tahun ini, 12 tahun.
Aku baru tahu...
Begitulah Rahmat. Tidak mau cerita soal keluarga sendiri, tidak pernah merasa repot. Dia bilang hidupnya penuh rahmat. Mengapa harus mengeluh?

harapan kita

Sabtu lalu, Mak pulang dari pasar dengan muka muram. Tanpa kuminta, dia bercerita lancar tentang tukang sayur langganannya, Bu Turi.

Perempuan itu, kata Mak, sedang susah. Rumahnya dijebol maling ketika ia sedang berjualan di pasar. Masih berduka atas hilangnya barang-barang, suami datang dengan berita buruk: di-PHK dari kantor. Malam harinya, Bu Turi melahirkan anaknya yang ketiga. Perempuan.

“Aku betul-betul tak suka nama anaknya,” kata Mak. Mukanya tetap muram, “Masak anaknya diberi nama Deritawati. Katanya biar ia ingat saat anak itu lahir, hidup sedang penuh derita. Ibu macam apa itu? Nama anak adalah harapan kita padanya. Kalau Deritawati, kita berharap ia terus penuh derita!” Mak bilang, dia akan berusaha sekuat tenaga memaksa Bu Turi mengganti nama anaknya. Mumpung belum buat akte kelahiran.

Hari ini, Mak pulang dari pasar. Mukanya tetap tak lebih cerah dari Sabtu lalu.
“Bu Turi mau mengganti nama anaknya?” aku bertanya pada Mak sambil mengeluarkan belanjaan dari kantong kainnya.
“Ya.”
“Tapi Mak kelihatan tak senang.”
Mak menghela napas panjang, lalu katanya, “Bagaimana bisa senang. Nama anaknya telah berganti menjadi....”
“Harapan Kita?” aku iseng menduga. Mak langsung menganggukkan kepala, berkali-kali. Harapan Kita.

Wednesday 24 December 2008

kawin

Dua minggu lalu, jam sepuluh pagi, Akim, supir ibu bos, kawin. Tepatnya kawin lagi, setelah delapan bulan lalu istrinya meninggal.

Setelah anak kedua lahir, kepada Akim, dokter berkali-kali bilang, kalau istrinya –yang baru umur 28 tahun itu-- tak boleh punya anak lagi. Ada yang tidak beres pada jantungnya. Tapi ternyata istrinya hamil lagi. Dokter usul, bayi digugurkan saja. Akim tak mau. Katanya, hidup mati manusia di tangan Tuhan. Sebulan lewat beberapa hari setelah anak ketiganya lahir, habis bikin kolak buat suami, sang istri jatuh dekat kompor. Jantungnya berhenti berdetak. Selesai begitu saja.

Semua teman kantor ikut sedih: Akim sendirian mengurus tiga anak – satu bayi belum genap 40 hari dan dua anak lain umur empat dan dua tahun. Tapi dari hari ke hari Akim tetap senyum seperti biasa. Pipinya yang bulat, tetap bulat. Rambutnya yang dipotong poni seperti Adi Bing Slamet jaman kecil, tetap berponi. Bajunya, tetap kemeja kedodoran, celana kepanjangan dan sepatu sandal berbusa tebal. Temannya, pernah bertanya, “Tak sedih kamu, Kim? Ditinggal mati bini begitu cepat?” Akim menjawab, “Ya sedih. Tapi masak nangis terus? Nangis juga percuma, tidak hidup lagi dia!”

Dua bulan lepas istrinya dikebumikan, tersiar kabar Akim sudah punya pacar. Teman-temannya, kaget sekaligus gembira. Mungkin memang sebaiknya Akim segera punya pasangan. Kasihan, tak ada yang mengurus tiga anak tanpa ibu, dan tentu saja mengurus Akim.

Berpacaran sebulan, tiba-tiba rambut Akim yang berponi itu, dipotong pendek dan berjambul seperti Tin Tin. Bajunya yang longgar, kini berganti kaos hitam ketat, membuat otot lengannya tercetak sempurna. Celana kedodoran hilang berganti jeans dan sepatu sandal berbusa tebal, menjadi sepatu kets warna-warni. Teman-teman sesama supir bertanya-tanya, ada apa dengan Akim. “Disuruh pacar. Dia bilang kalau pakai baju kain, jelek,” katanya sambil meringis, sementara tangannya menarik-narik kerah kaos hitam ketat memeluk lehernya yang bulat. Office boy melansir berita, pacar Akim baru tamat SMA.

Dua minggu setelah rambut berjambul dan celana jeans ketat, Akim jadi berita lagi: ia punya motor baru. Motor bebek dua tak yang katanya lelet dan sering mogok itu sudah digantinya dengan RX-King. Teman-temannya bilang Akim harus hati-hati. Jangan sampai ia yang dinaiki RX-King. Akim merengut. Kesal. Dan hari lepas hari, semua setuju, jambulnya tampak semakin tinggi. Celananya kian ketat. Perutnya mulai rata.
“Disuruh olahraga sama Pacar!” katanya. Lalu datang kabar lagi: Akim siap kawin. Teman-temannya kaget dan langsung berebut menasehati.
“Kim, pikir-pikir dulu kalau mau kawin. Mau nggak dia ngurusin bocah? Sayang nggak sama orok?”
“Eh, mertua lu bilang apa? Udah ijin belon?”
“Ati-ati, Kim! Jangan sampai anak-anak dapat ibu tiri yang judes!”
“Yang penting anak-anak, Kim! Elu mah belakangan aja!” Akim tidak bilang apa-apa.

Tiga hari setelah pemberitahuan ingin kawin itu, Akim punya kabar baru. Perkawinan batal. Calon istri sama sekali tak berminat hidup bersama anak-anak dari babak sebelumnya. Kalau jadi kawin, semua anak ha¬rus tinggal bersama mertua yang lama. Akim bilang, “Ya susah kalo anak nggak bisa dibawa! Mending cari lagi. yang bisa sayang semua.” Teman-temannya bertepuk tangan. Akim hebat: ia tahu anak lebih utama ketimbang hasrat sendiri.

Lebih dari tiga bulan lewat, terdengar kabar baru tentang Akim yang dipaksa mengawini adik iparnya. Akim datang ke ruang kerja petugas keuangan, saya.
“Pak, maaf ganggu. Mau minta nasehat.,” katanya sambil tangannya memelintir ujung bajunya yang kembali kedodoran.
“Saya bingung, Pak. Mertua pengen saya kawin sama adik almarhumah. Turun ranjang aja, ketimbang cari yang baru, belum tentu sayang anak lagi… Kalau sama yang ini kan udah kenal,” katanya lagi. Matanya memandang ke lantai. Saya bilang, usul itu bisa saja dipertimbangkan. Sudah kenal, terbukti sayang pada anak-anak, tinggal butuh waktu menumbuhkan perasaan lebih di hati.
“Tapi saya tidak cinta sama dia, Pak,” begitu kata Akim.
“Ya, tidak harus kawin sekarang. Nanti-nanti, kalau sudah cinta,” saya memberi usul.
“Tapi umurnya udah dualima. Tua, Bu!” katanya lagi.
“Ampun! Dua lima masih muda, tahu!”
“Ya, kalau buat Bapak yang umurnya udah lima puluhan, mah muda. Buat saya?”
“Gila kamu, Kim! Mau umur berapa? Dua belas? Yang kayak kemarin aja udah nggak mau urus anak. Gimana yang lebih muda lagi? Sengsara nanti anak-anakmu!” dalam sekejap mulut Akim langsung mencucu. Tak senang hati.
“Kim, kamu sudah jadi bapak. Pikirkan anak-anakmu. Sekarang ini, mereka yang harus kamu utamakan. Itu namanya tahu prioritas, Kim.” Akim tetap diam.
“Kamu boleh saja kurang senang hati sama omongan saya. Tapi kan tadi kamu yang minta. Kalau nggak cocok, ya nggak usah dijalanin.” Mulut Akim tetap mencucu. Ketika dirasanya saya telah cukup banyak bicara, dia berdiri. Menggumamkan ‘terima kasih’, pamit sambil menutup pintu di belakangnya.

Seminggu setelah acara ‘minta nasehat’ itu, Akim menyebar berita, ia sudah punya pacar baru. Lebih cantik dan lebih de¬wasa sedikit dari yang kemarin. Mahasiswi akademi komputer, umur 22. Teman-temannya, lagi-lagi, mengingatkan soal anak-anak padanya. Akim –yang sekarang rambutnya mirip vokalis Radja itu, bilang, semua sudah beres. Aman tenteram.

Bulan lalu, Akim datang lagi menghadap. Mukanya kusut. Motor RX King yang dulu dipakai sebagai pemikat pacar pertama, kini parkir di rumah temannya (dan pasti dipakai dengan senang hati). Akim menggadaikannya pada sang teman.
“Buat apa, Kim?”
“Butuh duit Pak.”
“Banyak?”
“Dua juta, Pak.”
“Oh, buat apa?”
“Itu si Nengsih (nama pacarnya), minta dibeliin henpon pake kamera, kayak punya temannya.”
“Terus, sekarang apa masalahnya, Kim?”
“Saya mau pinjam duit sama Bapak, buat nebus motor. Soalnya kalo nggak pake motor, saya telat
terus ke kantor. Naik kendaraan tiga kali, macet. Mana berat di ongkos, Pak.”
“Kenapa nggak pinjam langsung sama Ibu Bos saja?”
“Nggak bisa Pak. Nanti saya diomelin lagi. Pusing!” Lalu ia bercerita, ketika hendak beli RX King itu, Bos sudah menawari membelikannya motor bebek 4 tak. Gratis. Tapi Akim menolak mentah-mentah. Ia ingin RX King saja. Ditampik begitu, Ibu Bos tersinggung. Sekarang, untuk pinjam uang pada Bos, ia malu hati.
“Maaf Kim, saya tidak bisa kasih kamu pinjaman. Hutang kamu sama kantor sudah banyak. Sudah berapa kali ini kamu kas bon melulu. Kalau potong gaji terus, bisa-bisa kamu nggak punya duit buat dibawa pulang.”
“Saya pinjam sama Bapak saja. Tolong sedikit deh, Pak? Uang saya habis buat nyicil pinjaman motor sama gadaian, Pak.” Saya menggeleng, menolak permintaan Akim. Ia bangkit dari kursinya. Tanpa menoleh meninggalkan ruangan.

Ya, ya, dua minggu lalu Akim kawin. Ibu Bos cuma diberi tahu kalau supirnya akan kawin pada hari Sabtu itu. Ia tak mengundang, tak meminta kami datang. Hari Senin, office boy yang rajin menemani Akim, datang membawa cerita. Bahwa pada hari besarnya itu, Akim menanggap orkes dangdut. Sayang, office boy bilang tak seorang pun sempat goyang diiringi orkes yang penyanyinya perempuan semua dan semok sungguhan. Karena begitu perangkat orkes diturunkan dari truk, satuan keamanan kampung datang. Semua harus dinaikkan kembali, orkes tak boleh berlangsung. Akim lupa mengurus ijin keramaian di kampung istrinya. Tapi acara perkawinan dan makan-makan tetap boleh digelar. Lagu-lagu mengalun lewat tape dan speaker pinjaman tetangga.

Hari Kamis, Akim tak masuk kantor dengan alasan menemani istri yang tak enak badan. Keesokan harinya, Akim tetap tak muncul. Sekretaris ibu Bos menelepon ke telepon genggam Akim. Yang menjawab, kakak istrinya. Katanya, harap maklum kiranya, Akim harus tinggal di rumah lebih rumah karena dilarang istri tercinta yang masih kangen. Masih mau bulan madu. Sekretaris naik pitam, sebagai supir bos yang sudah setuju kalau libur perkawinan keduanya cuma tiga hari, ia harus masuk pada tanggal yang telah disepakati. Kakak istri barunya, terkejut: Akim bekerja sebagai supir? Bagaimana bisa?
“Dia orang seles (sales) perusahaan ekspor impor, Bu!” sekretaris menirukan ucapan sang kakak ipar tentang Akim yang mengaku duda mati tanpa anak itu. Sekretaris ibu bos yang memang seumur hidupnya tak pernah kenal rem dalam melansir riwayat hidup siapa pun, langsung berkisah panjang lebar pada pemegang telepon genggam di ujung sana, bahwa Akim, yang baru mengawini adiknya itu, sesungguhnya pu¬nya tiga anak. Satu di antaranya masih bayi. Di mana mereka sekarang, sang sekretaris tak tahu. Telepon terputus.

Hari ini Akim masuk kantor dengan rambut berminyak. Kembali pakai kemeja kedodoran dan celana kepanjangan. Mukanya kusut. Akim tak lagi tinggal serumah dengan istri baru. Dengar-dengar diusir jauh-jauh oleh istri yang minta cerai mendadak. Kembali ke rumah mertua lama, tak diterima. Akim telah melepaskan hak atas tiga anaknya, ketika pacarnya minta dikawin. Malam ini, dan untuk beberapa malam selanjutnya –sampai entah kapan— Akim akan tidur di kantor.

Tuesday 23 December 2008

semir sepatu

Hari ini ada meeting. Tetapi begitu melirik sepatu, kau sendiri kaget: kotornya bukan main. Tenang, mampir saja ke kedai soto mi di pojok jalan Irian. Ada Tigor di sana dengan kotak semir sepatunya, siap membantu.

Ia bekerja sangat cepat. Tak sampai lima menit, sepatumu telah mengkilat. Bersih! Sambil menyerahkan sepatumu, ia akan menyebutkan ongkos yang harus kau bayarkan, dua ribu rupiah. Nah, berikanlah jumlah yang dimintanya itu.
Kau tak punya uang kecil? Tigor akan berusaha mencari kembalian sesegera mungkin. Kalau kau merasa puas dengan layanannya, cukup katakan terima kasih. Tigor --yang sarjana teknik komputer dan sudah tiga bulan tak kerja karena kena PHK itu-- akan tersenyum lebar dan berlalu dari hadapanmu sambil bersiul-siul ringan.
Kau iba padanya dan ingin memberi uang persenan? Lupakan! Karena Tigor akan menjawab begini, “Jangan beri lebih. Bayar sesuai yang aku minta. Cukup.”

Kau menyinggung perasaannya.

warung jalan Tanjung

Kalau sempat ke jalan Tanjung, dan terlalu pagi untuk jajan di kedai kopi berpendingin, coba mampir ke warung kopi/nasi si Mbah. Satu-satunya warung di jalan itu yang buka sejak habis subuh.

Warung itu terletak di sebuah halaman luas. Seluruh bangunannya berada di dalam halaman. Jendelanya saja yang memecah pagar. Di tepi jendela itu terletak kotak kaca bertingkat, dipenuhi aneka makanan. Srundeng, bihun goreng, opor, tumis buncis, kembung goreng, tahu tempe goreng. Oya, juga sambel. Di belakang kotak kaca itu, Mbah biasa duduk melayani pembeli.

Dulu, katanya, ia paling tak suka melayani pembeli sambil duduk. Rasanya kurang sopan, tamu disambut dengan posisi ongkang-ongkang begitu. Tapi belakangan ini kakinya sering gemetar kalau terlalu lama berdiri. Kalau sedang sepi, Mbah mengisi teka teki silang yang ada di koran langganannya pakai pensil berpenghapus sambil bersenandung, mengikuti alunan langgam yang tersiar dari radio, di rak kopi/gula/teh yang menempel di dinding.

Di halaman yang sangat luas itu, selain warung, ada sebuah rumah kecil. Mbah bilang itu sisa paviliun rumah tua. Nah, di situlah Mbah tinggal. Tak usah bertanya siapa pemilik rumah dan tanah luas itu, karena Mbah akan selalu menjawab dengan senyum lebar dan gelengan kepala. Selama 11 bulan, ia bisa ditemui di warung itu. Yang sebulan lagi, warung tutup karena Mbah pulang kampung, ke Yogya.

Kalau iseng ke jalan Tanjung, coba mampir ke warung kopi/nasi Si Mbah. Dia buka sejak subuh. Oh, hampir lupa: jangan datang untuk berbuka puasa. Karena selama sebulan itu ia punya kegiatan lain: membagikan 500 bungkus nasi untuk anak yatim. Kalau perlu teh manis atau kopi untuk berbuka, silakan cari tempat lain.

(Berita terakhir tentang warung ini: Mbah sudah tak kembali ke Jakarta lagi. Tanah tempat warungnya dibeli dibeli orang. Siapa? Entah. Saya tak ingin mencari tahu).

Monday 22 December 2008

pulang

Kami tidak tahu namanya. Pada suatu malam, tiba-tiba saja ia ada di sana, di perempatan jalan Pemuda. Jalan yang nyaris kami kenal semua penghuninya.
Ia tidak banyak beraksi, seperti kakek atau nenek pengemis lain. Ia hanya berjalan dari mobil ke mobil. Berdiri diam-diam, tidak berkata apa-apa. Bahkan telapak tangan yang seharusnya terbuka. Terus terkepal. Tidak ia julurkan. Kaca-kaca jendela yang ia hampiri, semua tertutup. Lalu lampu kuning menyala. Ia tetap berdiri di tengah jalan Sampai seorang pengamen muda berlari, menarik tangannya. Menepi. Mukanya bingung. Benar-benar baru, dia.

Esok malamnya, mobil kami yang jendelanya selalu terbuka lebar itu, berhenti tepat di garis depan. Dia datang mendekat. Tubuhnya mungil. Begitu ia berdiri di samping mobil kami, jendela seperti menjadi bingkai wajahnya.
Suamiku menyapanya, “Mbah…” Ia tersenyum. Lebar. Lalu kami dengar suaranya yang halus,
“Anak, dari mana malam-malam begini?” Lagu suaranya, gaya bicaranya: dari Indonesia Timur. Suami terdiam. Terkejut.
“Dari kantor. Kami dari kantor,” aku menyambar.
“Oh, di Jakarta orang kerja sampai malam…” katanya, “Lain dengan di Ambon.” Jadi Mbah dari Ambon. Tapi belum sempat kami bertanya banyak, lampu terlanjur kuning. Kami buru-buru menyelipkan beberapa keping uang logam ke dalam kepalan tangannya, sebelum ia kembali di seret ke tepi oleh pengamen lain.

Dua malam kemudian, kami kembali bertemu dengannya. Kali ini, ia langsung menghampiri kami. Tangannya: tetap terkepal. Tidak terbuka, tidak menengadah. Ia bersandar saja di tepi jendela mobil kami. Tanpa ditanya, ia langsung bercerita dengan bahasa Indonesia yang rapi berlogat Ambon yang kental, sementara wajahnya mengingatkan pada seorang nenek Jawa (sehingga suamiku merasa lebih pas memanggil Mbah, ketimbang nenek, apalagi oma).Katanya, ia baru dua minggu di Jakarta.
Naik kapal dari Ambon.
Lari dari perang.
Di mana-mana api.
Di setiap sudut berlari manusia membawa parang. Suaminya, mati.
Anaknya, tewas tak lama kemudian. Ia ingin ikut mati saja. Buat apa hidup sendiri, terancam di tanah yang selama ini ramah padanya. Tetapi tetangganya bilang tak baik berharap mati. Selama masih diberi nyawa, jaga dan peliharalah. Ia diajak pergi, menyelamatkan diri.
Bagaimana?
Lari.
Ke mana?
Entah. Yang penting ke luar dari Ambon.
Tentang pelarian itu, tetangganya bilang bahwa tanah yang selama ini ditinggali, memang bukan mereka punya. Mereka cuma menumpang di sini. Dan sekarang, sudah saatnya mereka pulang.
Ke mana?
Ke Jawa, tanah asal mereka.
Begitulah yang ia dengar. Lalu semua orang berbondong-bondong menuju pelabuhan. Menanti kapal yang mungkin berani mendekati ceruk. Tanpa perlu merapat, semua sudah siap mengejar, melompat ke dalamnya. Tak bawa apa-apa. Ah, apa yang bisa dibawa? Cuma badan dan nyawa. Cukup.
Ia ikut. Ia tak ingin tahu ke mana kapal yang ditumpanginya akan menuju.Tidak penting.
Di kapal, makanan sangat sedikit. Tiga hari sebelum merapat, tak ada makanan sedikit pun. Cuma air. Tak apa. Yang penting jauh dari Ambon.

Di Makassar, kapal singgah. Banyak teman-teman seperjalanannya memilih turun di sini. Mereka bilang, biar gampang kembali ke Ambon, kalau keadaan sudah aman. Ia sendiri dan masih banyak lagi yang lain, memilih tetap berdiri di dek. Hatinya berkata sebaiknya tetap tinggal di kapal. Belum aman. Meski telah berada di kapal, mengapung di laut, panas lidah api masih terlihat dan terasa membakar.

Perhentian berikutnya, Surabaya. Tetangganya, memaksa turun di situ. Tetapi ia tetap merasa belum waktunya. Semalam ia bermimpi, di pintu keluar pelabuhan, berpuluh-puluh lelaki telanjang dada, dengan muka beringas, membawa parang dan obor. Ia tidak bisa turun sekarang. Belum saatnya. Hingga akhirnya kapal tiba di Tanjung Priok. Ia terpaksa turun. Kalau tidak, kapal akan membawanya kembali ke Ambon. Teman sekapalnya, banyak yang memutuskan tetap tinggal di sekitar pelabuhan. Ia memilih masuk kota. “Harus cari uang buat makan. Sudah di Jakarta, jangan sampai mati kelaparan!” katanya. Maka ia memberanikan diri naik bis.
Ke mana? Ia tak peduli. Yang penting keluar dari wilayah pelabuhan.
Yang penting menuju pusat kota.
Ia yakin, di salah satu tikungan jalan, ia harus berhenti. Pasti. Dan ketika bis kota tiba di perempatan jalan Pemuda, ia merasa harus turun bersama penumpang bis yang lain.

“Jalan ini ramai sekali. Siapa tahu di sini saya bisa cari uang. Buat makan,” katanya.

Di Ambon, dia membuat sagu. Di sini? Ia disarankan jadi pengemis. Pasti dapat banyak, karena mukanya mengundang rasa kasihan orang, begitu kata perempuan yang menyediakan dipan di depan gubuknya sebagai tempat tidurnya. Sambil bercerita, ia tetap tersenyum. Bahkan sempat tertawa kecil ketika bercerita bahwa mengemis itu sulit. Sangat sulit.

Setelah malam itu dan malam-malam lainnya, kami berdua seperti menunggu-nunggu lampu merah menyala di perempatan jalan Pramuka – Pemuda. Berharap Mbah sempat mampir ke tepi jendela mobil kami. Bercerita lagi. Sampai akhirnya entah pada malam ke berapa, ia datang tanpa senyum.
“Saya mau pulang,” katanya.
“Ke mana, Mbah? Ambon?” saya mencoba menduga.
Dia menggeleng, “Ke Jawa. Wonogiri,” katanya menjawab pertanyaan suamiku. Mungkin wajah kami yang tampak amat tolol membuatnya terpaksa menerangkan, “Itu kampung saya. Dulu, sebelum ke Ambon. Waktu masih nona.” Terhenti begitu saja. Lampu sudah hijau. Besoknya, kami masih melihatnya. Tetapi lampu yang terus hijau membuat Mbah tak sempat mendekat. Ia hanya melambai dari pagar pembatas jalur. Tanpa senyum.

Beberapa malam kami tak bertemu Mbah. Dari tukang rokok asongan langganan suami, kami tahu kalau gubuk liar yang ada di balik warung cha- dut*), terbakar. Katanya, Mbah yang menumpang di salah satu gubuk, pindah.
Ke mana? Dia tidak tahu.
Entah malam ke berapa, ia muncul. Lengkap dengan senyumnya.
“Jadi kapan ke Wonogiri, Mbah?” tanya suamiku.
“Minggu,” katanya.
“Sama siapa?”
“Sendiri saja. Dari Ambon bisa sendiri, ke Wonogiri juga bisa,” katanya.Khawatir tak sempat bertemu lagi, kami berdua mengucapkan selamat jalan.
“Siapa nama Anak?” ia bertanya sambil menunjuk suamiku.
“Eddie.”
“Sampai bertemu, Anak Eddie,” katanya. Lalu ia menyeberang. Melambaikan tangan. Senyumnya tak hilang.

Seminggu setelah malam itu, kami dihampiri tukang rokok langganan. Mbah titip pesan padanya, untuk mengabari kami, bahwa ia berhasil pulang.
Ke Ambon.
Bukan ke Wonogiri.
Mbah –menurut tukang rokok pembawa pesan—tak yakin apakah ia masih ingat tanah asalnya. Tak tahu akan bertemu siapa. Tak punya bayangan harus bekerja apa. Maka ia memutuskan pulang ke Ambon. Bukan Wonogiri, tanah lahirnya. Tetapi yang lebih penting dari itu, ia ingin mati di kampung yang sangat dikenalnya, yang menyimpan tubuh anak dan suaminya.
Ambon.
Bukan Wonogiri.

Mengumpulkan Catatan

Ada banyak yang tercecer.
Sayang bila dibiarkan begitu saja, terlupa, tak tercatat.
Mungkin bila saya kumpulkan di sini, bisa lebih berguna.
Semoga.

Begitulah harapan untuk halaman ini.

r