Thursday 29 January 2009

DUL (serial catatan kemarin)


Mbok bilang, bapaknya Dul dan Ida bersaudara. Mbok juga bilang, waktu Dul lahir, ibunya langsung meninggal. “Dulu, Pak Karno tinggal di Sidoarjo. Tetapi sejak istrinya meninggal, ia pindah ke sini, dekat rumah Ida. Supaya ibunya Ida bisa menjaga Dul dan Ahmad, abangnya,” itu cerita dari Mak.

Dul bisa main apa saja. Tapi dia paling tidak suka diajak main sembunyian. Katanya itu bukan permainan. Ini yang Dul suka:

1. main kelereng
Dul selalu menang setiap kali main. Kalau aku, Ida dan Bud main lalu Dul datang, kami lebih baik berhenti saja. Daripada semua kelereng pindah ke kantong Dul. Setiap kali main, Dul cuma bawa satu gundu. Tapi pulangnya, kantongnya pasti penuh, sampai celananya harus diikat, supaya tidak melorot. Tidak kuat menahan gundu yang banyak di kantong itu. Paling enak, kalau main beregu. Aku dan Dul paling sering main bersama, melawan Yono dan Tri. Waktu mulai main, Yono pasti omong yang tidak-tidak. Dia selalu bilang pasti menang, pasti bisa membawa pulang semua gundu kami. Tetapi setengah main, gundunya sudah berkurang banyak. Dan kalau hampir habis, dia teriak-teriak, bilang kami semua curang.

Pernah satu kali, waktu kelerengnya betul-betul habis, Yono mengamuk. Semua disepaknya. Juga kelereng kami hingga tersebar ke mana-mana. Dul marah sekali. Dia merenggut leher baju Yono. Lalu dengan tangan yang lain muka Yono ditinjunya. Yang dipukul mengaduh-aduh. Menangis, berkaok-kaok. Memanggil-manggil bapaknya. Ribut sekali! Sebentar saja, bapaknya Warno, pak Wardiman, ke luar. Aku pikir, Dul pasti akan dihajarnya. Tetapi semakin dekat, semakin laju jalan pak Wardiman. Dia lewat begitu saja. Menoleh pun tidak. Yono, melihat bapaknya tidak berhenti menolongnya, langsung diam. Dul melepaskan cengkramannya. Yono jatuh. Dul menyuruhnya membereskan kembali susunan kelereng di pasir. Yono menurut.

2. main layangan
Kalau musim layangan datang, Dul pasti ada di pinggir rel kereta. Main. Layangan Dul macam-macam. Ada yang besar, warna-warni dan berbuntut panjang. Bentuknya macam-macam. Ada kupu-kupu, ikan, ular naga. Aku paling suka layangannya yang berbentuk orang: tangannya berkacak pinggang, roknya merah, rambutnya mencuat ke luar, bibirnya merah, matanya besar. Dul bilang, layangan yang aku suka itu paling sulit diterbangkan karena terlalu besar dan berat. Dia sendiri suka yang ular naga. Mak juga. Kalau Dul sudah menaikkan layangannya yang berbuntut panjang itu, Mak pasti keluar, menengok. Mak senang melihat ekornya yang meliuk-liuk ke sana ke mari. Jangan-jangan Mak ingin main layangan bersama Dul. Dulu, waktu kecil, Mak sangat pandai main layangan. Main kelereng juga.

Tetapi semua layangan yang bagus itu jarang sekali dimainkan. Dul lebih suka menaikkan layangannya yang kecil, yang biasa. Dengan layangan kecil ini, Dul selalu menang setiap kali beradu dengan layangan lain. Kata Mak, itu karena benang yang dipakai sangat bagus. Dul bilang, itu buatan bapaknya. Pakai pecahan botol dan gelas. Diuleg. Mak bilang, selain pakai gelas uleg, ada lagi obat yang ditambahkan. Mak lupa apa namanya.

Aku dan Ida bergantian bertugas memegangi layangan sebelum ditarik dan diterbangkan. Kalau sudah naik, aku bertugas memegang kaleng yang diubet benang gelasan. Berdiri di dekatnya, mendengarkan perintah yang diberikan: Ulur! Gulung! Tariiiiiik! Layangan Dul terbang tinggi, menyambar-nyambar ke sana ke mari, mengejar layangan lain. Begitu dekat, layangannya memotong jalur terbang lawan dan... tess! Layangan lawan putus. Kalau sudah begitu, aku dan Dul lompat-lompat. Dul selalu membiarkan layangan lawan yang putus. “Buat apa mengejar layangan jelek seperti itu. Aku bisa buat lebih bagus,” katanya. Ya, Dul tidak pernah beli layangan. Dia bisa bikin sendiri. Pakai lidi sapu, pakai kertas tipis. Setelah selesai di tempel dengan nasi, Dul menghias layangannya dengan cat berwarna. Seeet, seeet! Biasanya dia menggambar tengkorak atau tumpukan lingkaran yang disusun seperti sasaran tembak.

3. mengejar kereta api
Dul suka mengejar kereta api. Setiap sore, pasti dia lakukan. Kalau sedang main layangan, ia akan menyuruh siapa saja yang lewat didekatnya untuk memegangi layangannya sebentar. Dia akan lari ke ujung gang, menunggu kereta lewat yang memang jalannya melambat kalau sampai di situ, lalu dia mulai lari, mengiringi... mengejar dan hop! Melompat. Biasanya Dul mengincar bagian sambungan kereta api karena ada pegangannya.

Aku tidak pernah kebagian memegangi layangan Dul kalau dia mengejar kereta api. Bukan tidak bisa, tetapi aku ikut lari bersama Dul, meski selalu ketinggalan. Begitu dia ada di atas kereta, Dul akan tertawa-tawa, menari-nari dan melambai padaku. Dia juga berteriak-teriak, memanggil siapa saja yang lewat dan tampak oleh matanya. Oiiii, Lik! Lik! Aku iri pada Dul.

Suatu hari, waktu membantunya memegangi benang layangan, di atap rumahnya, aku bilang pada Dul, kalau aku ingin ikut dia, berlari dan menangkap kereta. Dia cuma berbunyi, “Hmm...” Aku ulangi permintaanku, “Boleh ya, Dul?” Dia bilang, “Hmm,” lagi. Artinya, boleh. Pasti. Waktu kami sudah selesai main, menggulung benang dan membereskan layangan, dia menarik tanganku, “Kamu jangan ikut naik kereta. Mak mu nanti marah sama aku. Lagi pula, mana ada anak perempuan yang naik kereta begitu,” katanya. Aku hampir menangis saat itu juga. Dul tidak mengijinkan aku menikmati permainannya.

Sampai malam, aku masih memikirkan omongan Dul. Aku tidak berminat makan, padahal di meja ada ikan bandeng dengan mata yang masih lengkap. Mak bertanya, mengapa. Aku bilang, aku kesal sama Dul karena dia tak mau mengajak aku naik kereta bersamanya. Tiba-tiba tangan Mak mencengkeram lenganku, “Willa, dengar! Jangan pernah mencoba-coba ikut naik kereta api bersama Dul. Itu berbahaya, tahu?” Aduh! Aduh! “Dul betul, Mak akan marah. Dan Mak akan sangat-sangat-sangaaat marah kalau kamu sampai mencoba melakukannya! Dengar, Willa?” Aku cepat-cepat mengangguk. Aduh! Aduh! Harusnya aku tak ceritakan semua ini pada Mak!

Wednesday 28 January 2009

GUS SALIM (serial catatan kemarin)


Di rumah Farida ada ruang besar dan lebar. Letaknya di sisi kiri (kalau aku menghadap rumahnya).
Setiap pagi, ruangan itu selalu penuh orang. Duduk menunggu giliran bisa bertemu dengan Salim. Farida bilang, setiap pagi, Salim –yang sering dipanggil Gus Salim—sibuk dengan orang yang mengantri itu. Mereka semua sakit dan minta disembuhkan.

“Kenapa tidak ke dokter saja?” aku pernah tanya Farida. Dia bilang, orang-orang itu tidak punya uang untuk bayar dokter dan rumah sakit. Tapi kadang-kadang mereka bawa makanan, atau kalau ada uang sedikit, mereka masukkan ke dalam kotak kayu yang ada di depan pintu ruang besar itu. Farida bilang, setiap hari Jum’at kotak itu dibuka dan isinya dimasukkan ke dalam kantong kain yang dibawa ke mesjid. Isinya dituangkan ke dalam kotak besar yang ada di pintu depan mesjid. Mbok bilang, Gus Salim orang sakti. Kalau ketemu Gus Salim, jangan lihat matanya. Nanti bisa sakit mata. Waktu aku tanya Farida, dia tertawa keras-keras. Katanya, Mbok bohong.

Aku percaya Ida.

Aku sudah ketemu Gus Salim. Sudah lihat matanya dan aku tidak sakit mata.

FARIDA (serial catatan kemarin)


Sepanjang yang aku ingat, Farida sudah tinggal di seberang rumah kami.
Rumahnya besar. Satu rumah Farida sama dengan empat rumah dibariskan jadi satu.
Dia punya banyak kakak. Ada Ahmadi, Salim, Martini, Maryati, Suryani, Fadli , Rahman. Tak punya adik. Ibunya selalu memakai kain dan selendang yang disampirkan di kepala. Bapaknya selalu memakai sarung, berikat pinggang lebar. Kopiah tak pernah lupa, tetapi dipakai melebar di kepala. Bajunya selalu kemeja hitam atau kaus garis-garis. Bapaknya Farida tidak pernah tertawa. Alisnya selalu bergabung jadi satu. Mukanya selalu seperti orang marah. Farida sendiri bilang bapaknya selalu galak. Suka marah, suka teriak-teriak, suka memukul anak yang nakal, begitu kata Farida. Itu sebabnya, biar rumah Farida besar, ada halaman yang luas, aku lebih suka main di rumah sendiri. Farida juga: lebih suka main di rumahku.

Farida sudah sekolah. Setiap hari, dia berangkat bersama Fadli dan Rahman. Naik sepeda, Farida selalu dibonceng Fadli. Rahman punya sepeda sendiri, tapi tak ada boncengannya. Bertiga mereka sekolah di sekolah negeri dekat rumah sakit kelamin. Agak jauh dari rumah.

Setiap pulang sekolah, Farida selalu mampir ke rumahku. Mak selalu memberinya minum. Kadang-kadang, semangka, kueh mangkok, atau getuk. Kami makan bersama, sebelum ia kembali ke rumahnya. Farida bisa ke mana saja. Main di rumah siapa saja. Karena ia tak pernah dicari oleh Ibunya. Pasti senang sekali jadi Farida.

Farida tidak bisa bilang ‘r’. Kalau Dul memanggilnya, “Falidaaaaa.... Falidaaa!” ia selalu mengamuk, mengumpat, lalu mengejar Dul. Berniat memukulnya, tapi tidak pernah berhasil.

Farida lebih suka dipanggil Ida saja. Aku memanggilnya begitu.

Seperti Mak (serial catatan kemarin)


Kalau aku besar nanti, aku ingin bisa setinggi Pak. Jadi kalau harus ambil mainan di rak paling tinggi, tidak perlu naik kursi. Kalau mau pasang gambar, tidak harus pakai tangga. Tapi aku mau rambutku bisa seperti Mak. Berombak, berbelok-belok. Tidak seperti rambut Pak yang lurus dan kaku. Waktu aku bilang ini pada Mbok, dia tertawa terbahak-bahak. Katanya, kalau sudah besar nanti aku akan berkulit putih, bermata sipit dan rambutku tumbuh kaku-lurus. Aku tak suka dengan omongan Mbok. Aku bilang, aku anak Mak. Jadi aku pasti seperti Mak: kulit coklat, rambut berombak, belok-belok. Tapi Mbok bilang, dari jaman Februari (Mbok selalu bilang ‘jaman Februari’ untuk semua yang serba jaman dahulu kala), semua anak perempuan pasti akan jadi seperti bapaknya. Yang bisa mirip Ibu itu anak laki-laki.

“Kalau aku jadi anak laki-laki, aku bisa bisa seperti Mak?”
“Ya, bisa,” kata Mbok.
“Kalau begitu aku mau jadi anak laki-laki saja,” kataku.
“Bagaimana? Kamu anak perempuan. Sampai kapan juga anak perempuan!”
“Nanti aku pakai celana terus.”
“Tidak bisa, Noni! Kamu perempuan. Perempuan!”
“Tapi aku mau seperti Mak!” aku mulai kesal.
“Ora iso! Ora iso! Wedhok, yo wedhok!” kata Mbok. Lalu ia bergerak ke dapur. Aku langsung berteriak, dan... menangis keras-keras. Mbok langsung berbalik, mendekat, dan menyuruhku diam. Aku tidak mau diam. Aku sedang kesal! Kesal sekali!

Aku menangis lama sekali. Waktu Mak pulang dari pasar, aku masih menangis. Keras. Kaki, tangan, baju, muka: kotor. Aku menangis sambil berguling-guling. Mak langsung meletakkan belanjaannya. Ia mendekat, jongkok di depanku, “Ada apa, Willa?”
“Mbooooooooook!” kataku di tengah tangis yang makin keras. Mak bangun dan memanggil Mbok yang sudah sejak tadi berdiri di dekat kami.
“Kamu apakan dia?” tanya Mak sambil menunjuk aku. Mbok langsung duduk bersimpuh, dan dia ceritakan apa yang telah terjadi. Mak bertanya-tanya, Mbok menjawab-jawab. Mak lalu berhenti bertanya-tanya. Mbok berhenti menjawab. Aku masih menangis.

Mak lalu mendekat. Ia memeluk bahuku, “Willa, berhenti menangis. Dengar, kamu anak Mak dan Bapak. Nanti kamu tumbuh tinggi seperti Pak, dan rambutmu akan bergelombang seperti Mak.”
“Kata Mbok...”
“Mbok tidak mengerti. Sudah, diamlah,” kata Mak. Mbok sudah berdiri di pintu, menunggu Mak dan aku menuju kamar. “Maaf ya Non,” katanya. Aku mengangguk-angguk. Tangisku sudah selesai. Aku mulai menyanyi-nyanyi. Mak menghela napas. Panjang dan dalam. Menemani Mak menuju dapur, dari tas belanja dari plastik yang berlubang-lubang itu, ada sawo menyembul. Itu pasti untukku.

Thursday 22 January 2009

lelaki dengan tas kertas

Seorang teman memperkenalkan kami, pada suatu ketikaSelang beberapa mingu setelah perkenalan itu, saya melihatnya di sebuah pusat perbelanjaan, berjalan santai dengan beberapa tas kertas bertuliskan merek baju ternama. Mata kami saling tatap. Saya menganggukan kepala. Tersenyum. Tapi ia tak bereaksi. Matanya seperti tak melihat saya. Dia lupa? Sangat mungkin. Orang sibuk macam dia mudah lupa.

Lalu kami bertemu lagi. Di pusat perbelanjaan lain lagi. Kali ini, teman yang dulu mengenalkan kami berada di sebelahnya. Teman ini datang mendekat. Tentu saja lelaki dengan tangan yang digelantungi tas-tas kertas dari toko baju terkenal itu ikut bergerak ke arah saya juga. Setelah cium pipi kiri dan kanan dengan teman itu, saya ulurkan tangan padanya. Menyebutkan nama. Ia melakukan hal yang sama, “Kamal,” katanya. Teman saya langsung menyambar, “Lho, kok kenalan lagi? Waktu itu kan sudah saya kenalkan kalian berdua! Bukan begitu, Bu?” Saya tersenyum-senyum saja. Agak kecut. Kamal tersenyum lebar dan menepuk-nepuk bahu saya, katanya, “Ah, kami kan cuma ingin menguji daya ingatmu saja. Ini drama! Bukan begitu, Bu?” Saya –tak punya pilihan lain—segera mengangguk-angguk. Drama, katanya. Baiklah. Kami berpisah, kali ini setelah saling tukar kartu nama.

Dan pada satu hari Minggu, saya terpaksa ke mal baru yang baru buka dan penuh sesak. Seorang klien ngotot ingin meeting di sana sambil sarapan. Setelah selesai, saya berkeliling. Ah, kembali saya melihat Kamal di sana lengkap dengan tas-tas kertas ukuran besar lagi. Mengingat kejadian sebelumnya, saya mencoba menahan senyum dan anggukan kepala meski jarak antara kami sudah begitu dekat dan mata kami saling tatap. Ternyata, seperti pertemuan tempo hari, ia kembali tak bereaksi. Matanya kembali lurus, seakan menembus saya. Lupa? Tentu saja mungkin. Ia kan orang sibuk. Banyak pikiran, banyak urusan.

Sejak saat itu, setiap kali saling berpapasan di mal, saya memilih untuk tidak berada di jalurnya. Belok, masuk toko atau langsung berputar. Malas. Kecuali, ya kecuali bila ia berjalan bersama orang lain yang kebetulan saya kenal. Apa boleh buat…. Dan kami pun –pasti—berkenalan lagi.

Saya tak lagi memikirkannya sampai dua malam yang lalu. Tepatnya lewat tengah malam. Telepon genggam saya berbunyi nyaring. Nomor yang tertera tak saya kenal, tetapi kebiasaan menerima kabar buruk dari keluarga dan teman yang tersebar di mana-mana, membuat saya selalu menjawab telepon di waktu-waktu aneh begitu. Di ujung sana terdengar suara seorang pria. “Bu, ini aku. Kamal.” Kamal? Kamal yang selalu lupa nama dan mukaku setiap kali kami bertemu tapi bisa langsung ingat kalau ada orang lain bersama kami? Kamal: menelepon di jam begini? Sungguh luarbiasa mengherankan! Jangan-jangan bukan Kamal yang itu....

“Maaf, ini Pak Kamal....”
“Ya, Bu! Kamal! Saya kenalannya teman Ibu yang waktu itu....” Betul, ini Kamal yang itu!
“Ya, Pak Kamal. Ada apa?”
“Saya punya masalah kecil, Bu. Menyangkut media yang Ibu tangani.” Aduh! Jangan sampai ada yang mendadak kurang ajar padanya....
“Ada masalah apa kiranya, Pak Kamal?” saya sudah duduk tegak di tempat tidur. Siap berdiri dan lari bila diperlukan.
“Begini, Bu.... Tiga minggu lalu, wartawan dari tempat Ibu mewawancarai saya.”
“Oh, ya, ya, saya tahu itu. Ada yang salah?”
“Ya, begitulah... Begini, keadaan sudah makin sulit dikendalikan. Bisa bantu saya, Bu?”
“Bantu bagaimana? Soal apa sebenarnya ini? Ada hubungan dengan wartawan kami atau...”
“Saya tidak bisa jelaskan sekarang, Bu. Nantilah, kalau waktunya pas, sambil ngopi-ngopi.”
“Pak, sebetulnya ini soal apa sih? Kalau telepon jam segini, ya mustinya penting. Masak nunggu ngopi-ngopi...”
“Ya, ya, saya mengerti. Maaf Bu, maaf. Begini, singkat kata, tolong bantu saya supaya hasil wawancara itu jangan disiarkan dulu. Tunda saja.Nanti kalau sudah oke, boleh dimuat.”
“Pak Kamal, kebetulan saya hanya mensupervisi tampilannya saja. Sementara soal isi, itu sepenuhnya hak pemimpin redaksi majalah bersangkutan. Saya tidak bisa janji apa-apa kecuali membantu mengecek. Itu pun baru bisa saya lakukan sekitar tujuh jam dari sekarang.”
“Begitu ya, Bu.... Apa pemimpin redaksinya tidak bisa diajak kerja sama, Bu? Kira-kira berapa ....”
“Pak Kamal, ini tidak ada hubungan dengan ‘berapa’.”
“Tolonglah, Bu. Tolong....” di ujung sana, sepertinya ada yang siap menangis. Bahaya!
“Pak, yang bisa saya janjikan adalah mengecek status tulisan itu. Kalau belum naik cetak, berarti masih terbuka kesempatan negosiasi. Tapi kalau sudah sampai percetakan.... Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Pak.”
“Aduh, saya betul-betul kepepet sekarang, Bu. Nanti kalau berhasil saya atasi, akan saya jelaskan sambil ngopi-ngopi.” Halaah, ngopi-ngopi lagi! Kapankah itu? Sedangkan saat saling papasan saja ia bisa tak melihat saya. Bagaimana pakai ngopi segala?

Paginya, sambil menunggu teman yang menulis profil Kamal tiba di kantor, saya mengetik namanya di halaman web portal berita. Dan di baris teratas, namanya muncul: Kamal terjerat perkara penggelapan uang. Jumlahnya amat sangat besar. Yang terkait para pembesar negeri ini dan beberapa selebriti ternama.

Kepada teman yang akan memuat profilnya, saya ceritakan soal telepon semalam. “Tidak bisalah. Sudah naik cetak sejak tiga hari lalu,” katanya sambil mengangkat bahu.

“Apa sih isi tulisannya?”
“Dia kami muat di rubrik gaya hidup pengusaha ternama. Di situ secara khusus dia bicara soal hobi belanjanya, brand favorit, soal tiga rumah baru, liburan yang harus di New York, Paris, Bahama… Ya, gitu-gitulah. Biasa, soal gaya hidup. Tak ada yang berbahaya.” Saya mengangguk-angguk, dan teman itu menganggap saya sependapat dengannya. Soal tulisan yang tak berbahaya itu.

tanggal penting


Tanggal berapa sekarang? Berapa? Dua puluh tujuh? Sudah dua puluh tujuh lagi? Ampun, aku lupa lagi!
Kenapa dengan tanggal 27?
Ini hari ulang bulan....
Ulang bulan? Ulang bulan apa?
Ulang bulan kami jadian.
Astaga! Jadian pacaran, maksudmu?
Ya.
Ada perayaannya?
Ada. Kami jadian tanggal 27 bulan September, maka di setiap bulan tanggal itu kami rayakan.
Waduh, jangan-jangan ada ulang minggu, ulang hari, di samping ulang tahun tentu.
Hmmm....ulang hari belum ada. Tapi ulang minggu sudah.
Astaga!
Di minggu ke-13, ke-26....
Astaga!
Kamu kok mau-maunya merayakan yang bukan-bukan begitu, sih? Kalau ulang tahun perkawinan, aku bisa mengerti. Nah, ini baru jadian saja sudah heboh. Berapa lama pacaran dengannya?
Sebelas bulan.
Belum setahun pun? Wah seperti apa hebohnya kalau pas setahun nanti.
Oh, jangan ditanya lah. Karena sudah dia rencanakan sejak bulan kedua kami pacaran. Aku merasa itu tidak ada salahnya.
Memang tidak salah. Tapi mengingat kamu sangat pelupa, sangat tidak bisa mengingat tanggal apa pun, termasuk ulang tahun diri sendiri, ngapain cari penyakit dengan mengingat tanggal lain.
Ya, tapi aku sudah pasang alarm di ha-pe.
Semua janji dan tanggal penting juga kau pasang di ha-pe. Tapi buktinya: kau lupa juga tanggal ini!
Iya, sih.
Nah! Dan kalau kau sampai lupa....
Dia mengamuk!
Mengamuk?
Ya, karena di setiap ulang bulan atau ulang hari, ia buat sesuatu. Entah itu makan malam bersama, nonton...
Serius....
Sangat serius.
Sekarang sudah hampir jam 11 malam, tanggal 27.
Besok dan seminggu ke depan, aku tidak akan bisa bicara dengannya.
Kok tahu?
Karena setiap bulan juga begitu!

Thursday 15 January 2009

ni mas

Ni Mas itu cantik. Sungguh!
Banyak pria yang jatuh cinta padanya. Tapi tak satu pun berhasil membawanya ke pelaminan. Ni Mas tak suka lelaki? Bukan, bukan itu alasannya. Ni Mas selalu bilang, mereka yang datang tak cukup baik untuknya. Ada yang tampan saja, tapi kantongnya tipis. Ada yang kantongnya agak tebal, tapi wajahnya sungguh jauh dari harapan. Ada yang keturunan bangsawan, tapi rupa tiada, kantong pas-pasan.

“Kalau sampai aku memilih nanti, maka dia haruslah berwajah tampan, berkantong cukup tebal dan keturunannya jelas,” begitu kata Ni Mas pada suatu hari ketika ditanya mengapa ia tak juga menjatuhkan pilihan.

Lalu, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba tetangga menyadari bahwa sudah beberapa minggu Ni Mas keluar rumah dengan seorang pria yang itu-itu juga. Melihat wajahnya, bisa jadi ia terpilih. Melihat mobilnya yang selalu ganti-ganti setiap kali datang, tetangga semakin yakin. Dan setelah dua puluh kali malam Minggu, terdengar kabar: Ni Mas akan menikah. Dengan lelaki tampan dan berganti-ganti mobil itu? Tentu! Siapa lagi?

Pesta tiga hari tiga malam dilangsungkan ketika Ni Mas kawin. Lelaki itu --di samping kaya dan tampan-- ternyata masih keturunan bangsawan Jawa entah dari jalur sebelah mana. Yang pasti, bangsawan.

Pesta tiga hari tiga malam dilangsungkan buat Ni Mas dan lelaki pilihannya. Dengar-dengar kabar burung, ibu Ni Mas sebetulnya kurang suka pada lelaki ini. Banyak omong, banyak lagak. Tapi Ni Mas tak mau pisah, tak ingin yang lain. Lalu keluarga lelaki itu pun sayang padanya --begitu kata Ni Mas. Ya sudah, kawinlah.

Pasangan serasi? Sangat! Yang perempuan cantik, berkulit bening, berhidung mancung. Yang lelaki bertubuh tinggi, berwajah tegas. Tak sampai empat puluh hari setelah pesta, terdengar kabar Ni Mas hamil. Tetangga lantas berangan-angan: kalau mereka punya anak, entah seperti apa tampan dan jelitanya nanti.

Pada suatu hari suami Ni Mas tak pulang dari kantor. Keesokan harinya, tak juga sampai di rumah. Terus begitu. Ni Mas bingung. Mencari ke segala penjuru, melapor pada polisi, bertanya pada kerabat, sahabat hingga dukun yang konon kabarnya hebat. Tak ada hasil. Suami Ni Mas menghilang. Menguap begitu saja. Ketika itu Ni Mas tengah hamil tiga bulan. Memasuki bulan ke-empat kehamilan, tiba-tiba rumah Ni Mas jadi sering didatangi polisi. Pagi, siang, sore, silih berganti. Ni Mas sempat ikut mereka beberapa kali. Ayah, Ibu dan adik Ni Mas juga sempat ikut polisi. Ada apa, Ni Mas?

Tetangga kiri kanan mulai berbisik: jangan-jangan lelaki itu terlibat kasus pembunuhan. Kalau tidak dibunuh, ya membunuh. Ah, mana mungkin! Wajahnya terlalu baik untuk membunuh. Tidak juga cukup bajingan untuk dibunuh. Lalu apa? Keluarga Ni Mas diam saja. Sampai akhirnya seorang tetangga yang punya saudara di kejaksaan melepas cerita.

Suami Ni Mas ditangkap mafia. Ia mengakali kelompok itu dalam sebuah usaha jual beli mobil mewah. Ketika tiba waktu untuk menyetor, uang tak kunjung diberikan sementara mobil sudah berpindah tangan. Melihat situasi tak lagi menguntungkan, suami Ni Mas langsung melarikan diri. Sayang ia keburu dicari polisi karena laporan sang istri yang merasa kehilangan suami. Dan berhasil ditemukan. Sekarang ia mendekam di tahanan. Buat berapa lama? Entah. Tak ada yang berniat menanyakannya pada Ni Mas perihal lelaki pilihannya itu. Buat apa?

Tuesday 6 January 2009

CIK GIOK

Jangan lupa kirim tiket buat Cik Giok biar bisa ke Jakarta.
Jangan lupa jemput Cik Giok di pelabuhan.
Jangan lupa baju buat Cik Giok

Di rapat persiapan perkawinanku, mengapa Pa justru sibuk mengurusi Cik Giok? Mengapa dia jadi begitu penting, mengalahkan aku, anak tunggal yang bakal jadi pengantin. Lebih hebat lagi, setiap kali Pa bersuara, Ma yang biasanya tidak pernah rela menerima usul apa pun dari Pa, diam. Emak, yang selalu mendukung semua kehendak Ma, bisu.

***

Cik Giok sudah lama tinggal bersama kami. Malah sejak aku belum lahir. Kalau me
ngikuti urutan keluarga, aku harus memanggilnya A’i Giok. Karena menurut Pa, Cik Giok itu anak angkat Emak –nenekku. Tetapi karena semua orang memanggilnya Cik Giok, maka aku pun mengikut saja. Lagi pula, tak seorang pun merasa keberatan dan punya niat memperbaiki kesalahan itu.

Emak dan orang tua Cik Giok tinggal sekampung, di Pontianak. Pa bilang, orang tua Cik Giok kurang mampu. Hidup mereka susah, apalagi dengan jumlah anak yang banyak. Waktu Cik Giok lahir –ia anak terakhir dari 11 bersaudara— hingga umur setahun, ibunya sakit-sakitan. Supaya anak dan ibu selamat, Cik Giok ditawarkan kepada Emak untuk diambil anak. Emak mau.

Di rumah kami, Cik Giok menempati kamar belakang, dekat dapur, di sebelah gudang. Kalau tak boleh dibilang paling jelek, kamar itu memang paling sederhana. Sempit. Separuh dindingnya dari tembok. Separuh lagi dari kawat ayam yang dilapis kawat nyamuk, bertirai kain belacu yang selalu dicuci setiap Sabtu pagi.
Mengapa Sabtu, aku pernah bertanya.
Itu hari yang paling tepat, katanya. Supaya di hari Minggu, saat bisa sedikit bersantai di kamar, ia bisa berbaring dengan tenang tanpa perlu merasa jengkel memandangi tirai yang kotor, berdebu.

Emak –ibu Ma —melarang aku main ke kamar Cik Giok. Katanya kamar itu sumpek dan lembab. Tidak bagus untuk aku yang punya asma. Sayangnya aku malah tergila-gila memasuki kamar itu, menemuinya. Terutama siang hari, ketika kamarku terasa begitu panas: tirai jendela kamar Cik Giok yang menari-nari ditiup angin, seakan memanggil, mengajak aku merasakan kesejukan di sana. Kalau sedang tak banyak tugas (ia membantu Ma memasak, mencuci, menggosok, membereskan rumah dan mengurusi segala keperluan Emak), Cik Giok pasti menemaniku membuat pe-er. Tetapi yang paling sering kami lakukan adalah bertukar cerita. Aku paling sering mengeluhkan pelajaran –terutama berhitung, dia melepas cerita tentang kampungnya yang jauh atau mengulang cerita tentang aku waktu masih bayi. Katanya, aku bayi yang cengeng, yang cuma diam kalau digendong Cik Giok. Sering di tengah cerita, aku mengantuk. Kalau sudah begitu, Cik Giok langsung menyodorkan bantalnya yang tipis dan lembek itu. Lalu jarinya mengelus-elus alis mataku, hingga aku terlelap. Sore hari, sebelum Emak bangun, Cik Giok sudah mengusir aku keluar kamarnya

Aku baru menyadari kedekatanku dengan Cik Giok ketika ia mendadak pergi dari rumah. Aku kelas enam SD, waktu itu. Sudah dekat ujian. Sehari sebelumnya, Cik Giok menangis seharian. Emak dan Ma melarang aku masuk kamarnya. Ketika aku ingin mencari tahu sebabnya, dia cuma menggeleng sambil mengusap-usap kepalaku. Tidak apa-apa, katanya, berusaha mengeluarkan senyum. Esok harinya, ketika pulang sekolah, kudapati kamar itu sudah kosong. Emak bilang Cik Giok pulang kampung. Ma bilang, orang tua asli Cik Giok sedang sakit keras. Malam itu aku tak bisa tidur. Juga beberapa malam setelah itu. Aku bahkan sempat menangis di kamarnya. Emak, yang kebetulan siang itu tidak tidur siang, menarik aku keluar dari kamar Cik Giok.

Katanya, buat apa menangisi Cik Giok? Percuma! Dia juga tidak ingat kamu. Buktinya sampai sekarang tidak balik-balik,. Aku makin sedih. Tetapi kutahan air mata agar tak menetes lagi. Takut Emak tambah marah.

Lewat setahun, aku tak lagi mengharap Cik Giok kembali. Bahkan kemudian lupa kalau di ujung rumah kami, ada kamar yang pernah amat sering kukunjungi. Cik Giok seakan terhapus dari catatan keluarga kami. Hingga seminggu lalu, ketika mendadak namanya disebut-sebut dalam rapat persiapan perkawinanku. Cik Giok harus dipanggil, dibuatkan baju… Jadi Cik Giok akan datang. Setelah empat belas tahun pergi, ia kembali ke rumah ini lagi. Kembali ke kamar dekat gudang itu. Ma memerintahkan pembantu membersihkannya. Ia akan tinggal terus bersama kita, aku bertanya pada Ma.
Tidak, habis pesta kawinmu dia balik ke kampung lagi, kata Ma.

Dan Cik Giok benar-benar datang. Pa menjemputnya di Tanjung Priok. Aku sedang menyirami pot bunga kamboja Jepang milik Ma ketika Cik Giok dan Pa turun dari bajaj. Aku berlari menyambutnya. Kami berpelukan erat.
Mau kawin kamu, Lin? katanya sambil mengusap dahiku. Aku menyeringai seperti anak kecil yang kedapatan mencuri mangga milik tetangga. Wajahnya masih seperti dulu: serius, agak sedih. Aku lihat pipinya yang dulu agak berisi, kini cekung. Beruban. Kurebut tas kain dari tangannya. Ia kutarik masuk. Di ruang tamu, dengan dahi berkerut, Ma menanyakan kabar Cik Giok.
Baik. Semua baik, selamat, kata Cik Giok. Emak yang tak beranjak dari meja makan, mendengus. Keras. Cik Giok menangkupkan tangannya, memberi hormat pada Emak, lalu mendahului aku menuju kamarnya yang lama. Aku mengikutinya dari belakang. Persis seperti dulu.

***

Pagi-pagi, Cik Giok sudah sibuk di dapur. Menyiapkan sarapan untuk seisi rumah: aku, Pa, Ma, juga Emak. Bubur encer dengan tung cai, suwiran ikan asin bakar, acar ketimun dan telur asin yang berminyak bagian kuningnya. Semua dari kampung. Kami menyantapnya dengan lahap. Cik Giok mengawasi saja dari pintu dapur.
Makan, Cik, kataku.
Sudah, katanya. Ketika Emak mengangkat mukanya dari mangkuk bubur, Cik Giok bergegas pergi ke belakang. Aku sudah berdiri, siap menyusulnya. Tetapi melihat wajah Emak, aku putuskan kembali duduk. Menghabiskan bubur di mangkukku.
Siangnya, aku harus mengepas baju pengantin. Aku bilang, mau mengajak Cik Giok. Ma kelihatan kurang senang, tetapi suaranya nyaring memanggil Cik Giok.
Ayo ikut, Cik, kata Ma. Cik Giok tampak bingung.
Antar Alin mengepas baju pengantinnya, Ma menjelaskan. Kulihat wajah Cik Giok bersemu merah. Senyum mencuat dari sudut-sudut bibirnya. Tetapi langsung hilang ketika aku menggodanya. Aku bilang mungkin ia ingin beli baju pengantin juga. Ma mencubit lenganku. Sakit. Ma menggeret Cik Giok keluar. Kami berjalan beriring, menuju jalan besar. Mencari bajaj Sepanjang perjalanan kami tak saling bicara.

Baju sudah hampir selesai. Meski masih agak longgar di pinggang, rasanya gaun satin putih penuh payet serta sulaman bunga. ini sudah sangat sempurna. Aku berputar-putar di depan cermin. Cik Giok tetap diam. Tak berkomentar, tak tersenyum. Lalu kami mampir ke tempat tukang kue basah untuk upacara minum teh dan tempat memesan undangan. Menuju pulang, kami masih singgah ke tukang jahit khusus untuk baju keluarga. Model baju untuk Cik Giok sudah ditentukan. Sama persis dengan Ma, hanya beda warna. Sedikit lebih gelap. Cik Giok tetap diam sampai kami tiba di rumah.

***

Sudah tiga malam aku tak bisa tidur. Ma bilang itu biasa. Apalagi kalau hari perkawinan makin dekat. Katanya lagi, setiap calon pengantin selalu begitu. Itu karena terlalu senang. Mungkin. Tubuhku lelah. Mataku berat. Aku keluar kamar, mencari makanan di dapur. Tetapi begitu melihat lemari es penuh sesak dengan makanan, perutku terasa sangat penuh. Kulihat kamar lampu di kamar Cik Giok masih menyala. Dia belum tidur. Aku masuk tanpa mengetuk pintu. Kudapati ia sedang menulis sesuatu. Terkejut dia melihatku.

Ada apa? Ia bertanya.
Tidak bisa tidur, Cik, kataku. Ia membereskan kertas suratnya.
Apa tidak mengantuk? Ia bertanya lagi.
Aku hanya mengangkat bahu. Lalu aku naik ke tempat tidurnya. Kakiku menjuntai tak tertampung lagi oleh tempat tidurnya yang dulu terasa begitu lapang untukku.
Tulis surat buat siapa, Cik?
Keluarga di kampung. Mereka khawatir. Aku sudah tua, sudah lama tidak jalan jauh. Aku harus kasih kabar, kalau sudah sampai Jakarta. Sehat dan selamat.
Oh. Hanya itu yang kuingat dari percakapan kami. Aku tertidur. Entah untuk berapa lama. Lalu aku terbangun oleh suara Cik.
Cepat bangun. Dicari Emak, katanya. Aku melompat, menuju kamar mandi. Terlambat, Emak sudah berdiri di depan pintu kamar Cik Giok. Ia marah besar! Sampai sore Emak mendiamkan aku. Ma ikut bersungut-sungut. Malamnya, Kuku –kakak perempuan Papa—datang. Di ruang tamu kami membahas acara minum teh bersama keluarga calon suamiku, dua belas hari lagi.

Entah dari mana, tiba-tiba Cik Giok sudah berdiri di ambang pintu ruang makan. Di tangannya ada kursi plastik. Wajahnya tegang. Kuku menyuruhnya masuk. Tetapi ajakan itu justru membuat gusar Ma dan Emak. Dengan suara keras, Mama menyuruh Cik Giok tak perlu ikut duduk bersama kami. Emak, menangis. Pa, tiba-tiba menghilang. Padahal tadi duduk manis di samping Emak. Aku berlari ke kamar tidurnya. Kosong. Ketika aku kembali ke ruang tamu, Cik Giok sudah pergi. Ma sibuk mendiamkan Emak yang menangis makin keras. Aku bersiap menyusul Cik Giok, tetapi Kuku menahanku. Urus Emak, katanya.
Ada apa ini? Aku bertanya pada Kuku. Dia cuma bilang, nanti aku akan mengerti. Nanti semua akan jelas. Nanti. Kapan? Dia ikut-ikutan memeluk Emak. Meninggalkanku. Ada apa dengan mereka? Ada apa dengan perkawinanku? Ada apa dengan Cik Giok? Dengan kepala pening dan hati gusar, aku masuk kamar. Menguncinya dari dalam.

Keesokan harinya aku bangun terlambat. Cik Giok sudah pergi. Ma bilang Cik Giok ada keperluan mendadak di Bandung. Dia akan segera kembali menjelang pesta. Terserah apa kata Ma, aku yakin Cik Giok tak akan kembali ke rumah kami. Tidak juga untuk pesta perkawinanku.

***

Sebulan lewat pesta perkawinanku yang berlangsung meriah itu, Ma minta aku pulang. Penting, katanya. Ketika aku tiba Emak, Pa, Ma dan Kuku telah menunggu di ruang makan.

Kau harus berangkat ke Pontianak, temani Pa, kata Ma. Cik Giok kena stroke.
Aku tak ingin pergi. Tetapi suami malah mendesak aku pergi saja. Katanya, siapa tahu ini kesempatan terakhir aku menemuinya.
Pa dan aku berangkat dua hari kemudian. Ketika itu Cik Giok sudah masuk ICU. Perutku mulas.

***

Cik Giok tak menunggu aku tiba. Ia pergi satu jam sebelum pesawat yang membawa Pa dan aku mendarat. Kakak perempuannya, yang wajahnya amat sangat mirip dengannya, menjemput kami. Ia memelukku. Tangisnya membasahi wajah dan rambutku. Pa, diam-diam, membuang muka, menyeka matanya.

Di rumah duka, perempuan-perempuan tukang menangis sudah membanting-banting badan, genta-genta kecil bertalu-talu. Cik Giok tampak cantik dibalut baju cheong sam-nya. Aku menangis. Pa menangis lebih keras lagi. Tangannya mencoba memeluk tubuh Cik Giok yang kaku. Maafkan aku, katanya berulang-ulang. Semua yang ada di sana, menangis, menjerit sambil berebut mendekati aku, memelukku. Erat, hingga aku sulit bernapas. Dengan muka basah, kakak Cik Giok mencium pipiku.

Beri hormat pada Mamamu., ia berbisik.

Catatan: cerita pendek ini pernah dimuat di Harian Kompas. Diterjemahkan oleh John McGlynn ke dalama bahasa Inggris untuk www.wordswithoutborders.com

Saturday 3 January 2009

bini baru

Pagi itu, tiba surat undangan. Rumah sebelah akan punya hajatan. Kawinan.
“Siapa?” suami bertanya dari balik koran.
“Tak ada namanya,” kataku setelah membalik-balik undangan itu.
“Bagaimana bisa?” suami jadi tertarik, dan kemudian menurunkan koran.
Kusodori undangan itu. Lalu ia membaca dengan suara rendah, “Dengan ini kami mengundang bapak ibu saudara untuk hadir di pesta perkawinan saudara kami, pada tanggal besok, jam sepuluh.... Turut mengundang keluarga besar Hidayat Syafii almarhum dan Ibu Masyitoh.”
Ia juga tak menemukan nama pengantinnya.
“Kita harus datang, kan?”
“Tentu. Tetangga sebelah rumah, kebangetan kalau tak datang,” kataku lagi. Dalam hati terus menerka, siapa yang akan kawin? Anak pak Dayat almarhum ada tujuh orang. Enam di antaranya sudah menikah. Yang tersisa si Neng Inih saja. Itu pun masih lama karena umurnya belum genap 11 tahun. Jadi.... Yang mana?

Sejak sore, rumah sebelah sibuk. Suami menawarkan jasa membuatkan janur yang langsung disambut dengan riang. Aku mengirim dua ketel berisi kopi dan teh, dan termos berisi air panas.

Sekitar lewat tengah malam, suami kembali.
Aku langsung menanyainya, “Jadi siapa yang akan jadi penganten besok?”
Suami tersenyum-senyum, “Tunggu besok saja....” Lalu dia melompat ke tempat tidur. Terlalu.

Paginya, tepat jam 10 pagi kamii telah sap datang ke hajatan di rumah Bu Musiroh.
Ternyata yang jadi penganten adalah Pak Jali, anak sulung Pak Hidayat dan Bu Musiroh. Pak Jali, yang bekerja sebagai penjaga sekolah di gang sebelah, tak muda lagi. Waktu kami berkenalan tempo hari, dia mengaku sudah tua, umur sudah di atas 50, katanya. Duda ditinggal istri yang pergi bersama lelaki lain, tinggal di rumah sebelah bersama anak perempuannya yang juga sudah menikah dan memberinya cucu.
Rambutnya yang kemarin berwarna abu-abu, kini sudah hitam legam. Memakai destar warna merah, dia tersipu-sipu ketika kami salami.
“Selamat Pak Jali,” kata suami.
“Makasih, ah! Disuruh anak, nih begini.... Biar ada yang ngurusin katanya.” Pak Jali menyahut, sekarang badannya melintir ke kiri dan ke kanan. Persis seperti bocah yang ketahuan mengambil permen tanpa ijin emaknya.
“Ya, ya, Pak. Bagus itu. Biar tetap sehat, segar ya,” suami membalas sambil menepuk-nepuk bahu pak Jali. Saya mengikuti dari belakang, dan memberi salam kepada Pak Jali dan istrinya yang memakai baju Betawi lengkap dengan cadar. Dari celah-celah cadar yang agak rapat dan dalam waktu sangat singkat, saya sempat mencuri pandang, menangkap wajah sang pengantin. Muda. Sangat muda. Paling banter baru 20 tahunan. Pesta berlangsung hingga larut malam. Suami bilang, itu pasti karena Pak Jali dan istri barunya harus ganti baju tujuh rupa.

Besoknya, rumah sebelah sudah sepi. Dan kami tak melihat Pak Jali sejak saat itu. Ya, ya, pasti sudah jadi bagian dari keluarga mertua.
Tetapi setelah lewat sepuluh hari dari pesta perkawinannya, Pak Jali kembali mondar-mandir di gang kami.
“Apa kabar, Pak?” saya iseng bertanya.
Dia langsung berhenti dan merapatkan badan ke pagar rumah kami, “Ah, kurang baek, Bu.”
“Lho, kok bisa? Istri sakit?”
“Istri? Bukan! Sayah yang sakit, Bu!”
“Pak Jali sakit? Sakit apa? Ke dokter atuh Pak!”
“Yang sakit yang belah ini!” katanya sambil memukul-mukul dadanya. Aduh, aduh: ada apa ini?

Tanpa ditanya, pak Jali bercerita. Katanya, istri baru yang ternyata berumur 17 tahun jalan itu, tak mau diajak tidur seranjang. Dikiranya kalau sudah sampai di kampung sendiri, ia pasti mau. Ternyata tidak juga. Ketika dipaksa, ia malah minta cerai. Semula pak Jali berpikir, istrinya masih malu, takut. Namanya juga baru 17 tahun! Tetapi setelah lewat seminggu, penolakan makin hebat. Bahkan mengancam akan bunuh diri kalau Pak Jali tak berhenti merayu.

Pak Jali lantas menemui mertua yang tidur di kamar sebelah. Malam itu juga semua duduk berkumpul, dan istri baru berterus terang: sebetulnya ia sudah punya pacar. Bahkan sudah berniat untuk kawin pula. Tapi keburu dijodohkan oleh Emak dan Bapaknya. Mau kawin lari, tak sempat. Pak Jali bingung. Mau diteruskan, istrinya jelas-jelas menolak tidur seranjang. Mau diceraikan, ia malu pada keluarga dan tetangga. Sakit kepala, patah hati, Pak Jali pulang ke rumah. Kembali menempati loteng rumah sebelah.
“Mau apa lagi kita? Udah dah yang tua ngalah!”
“Ngalah? Maksudnya, Pak?”
“Ya, kita diemin aja dulu....”
“Sampai kapan, Pak?”
“Sampai sadar aja, kalau dia sebenernya udah jadi bini orang. Bini kita.”
“Kalau tetap nggak sadar, gimana Pak?”
“Ya, kita minta pengertian deh sama keluarganyah. Dibujukin apah diapain gitu. Masak diem ajah....”

Hari ini, sudah lebih dari tiga bulan perkawinan Pak Jali berlangsung. Dan sampai hari ini, ia masih tinggal di rumah sebelah. Rumah keluarganya.
“Pak, malam minggu nih! Nggak nengokin bini?” aku iseng bertanya ketika ia lewat di depan rumah. Suami mendehem. Tak suka dia pada pertanyaan yang aku lontarkan tanpa dipikir dulu itu.

Pak Jali langsung menghentikan langkah, membuka kacamatanya, mengusap keringat, kemudian berkata, “Apa yang mau ditengokin, Bu? Bini udah kawin sama pacarnyah!” Lalu ia menggeleng-gelengkan kepala, “Tahu gini, nggak usah kawin aja kita. Ngabisin duit! Capek ati, dompet rata. Ampun, dah!” Saya dan suami saling berpandangan. Pak Jali menghela napas, menganggukkan kepala, pamit. Pak Jali meneruskan langkahnya, menuju mulut gang. Cari rokok. Mulut asem, katanya.