Sunday 28 June 2009

n a m a

Lagi.

Hari ini, pagi-pagi begini, seperti kemarin, juga seperti seminggu lalu, mereka menyebut namaku dengan suara rendah, berbisik. Lagi dan lagi. Ada berita kurang menyenangkan yang harus mereka sampaikan. Aku yakin itu. Tetapi tampaknya mereka tak tahu bagaimana menyampaikannya padaku. Mungkin mereka khawatir aku bakal sulit menerimanya. Tepatnya, mereka takut aku mengamuk, menerjang, menjerit histeris… Mungkin. Mereka tak bisa disalahkan, karena memang itu yang terjadi selama ini. Aku sendiri tak bisa mengerti mengapa aku selalu menerima kabar-kabar buruk itu dengan reaksi sangat berlebih (aku bisa mengatakannya begitu, sekarang). Mengapa aku tak bisa seperti Ibu atau Asia yang begitu tenang: memperlakukan kabar buruk sama seperti kabar-kabar lainnya. Biasa saja. Rata. Tanpa ledakan, gejolak. Ibu pun tak bisa mengerti mengapa aku begitu mudah mengamuk.

“Mengapa kau begitu berbeda dari Asia?” katanya pada suatu hari.
“Mungkin aku seperti Bapak?” kataku. Atas jawabanku itu, Ibu cuma berkata, “Mungkin.”
Selain Ibu, kami semua tak kenal Bapak. Tak sempat. Ibu bilang ia pergi begitu saja setelah aku dan Asia lahir.

Dengar, dengar: namaku kembali disebut. Agak terlalu sering dan itu membuatku kesal. Ada apa ini? Kapan mereka akan menyampaikannya padaku? Malam ini? Besok? Lusa? Minggu depan? Aku tak suka dibiarkan menunggu seperti ini. Aku ingin segera tahu apa yang akan mereka sampaikan padaku. Menduga segala kemungkinan yang bisa datang itu sangat melelahkan. Seperti gelembung udara yang bermunculan ketika air mendidih, begitulah letupan berita yang mungkin akan datang nanti. Pecah satu disusul oleh yang lain. Terus. Tidak berhenti. Kepalaku berdenyut sekarang. Menyiksa sekali.

Jun, ketika kami masih bersama, pernah bilang, “Jangan ambil pusing. Terima saja keputusan mereka dengan hati terbuka. Itu akan membuatmu lebih tenang, awet muda.” Aku ingat, saat itu kusepak kakinya, “Aku tidak perlu jadi awet muda. Aku cuma ingin jantungku bekerja dengan tenang. Tidak berdebar-debar, menduga yang tidak-tidak, lalu marah-marah setiap kali mereka datang dengan keputusan sepihak,” kataku, “Apa susahnya bicara jujur, terus terang? Itu membuat hidupku lebih tenang, umur –mungkin—bisa lebih panjang.”

“Mereka tidak akan pernah berterus terang padamu, padaku atau ibumu. Tidak perlu. Kenapa? Karena kita bukan siapa-siapa. Bisa berada di sini, bersama mereka adalah suatu keberuntungan. Harus disyukuri. Kau harus mengerti itu.” Aku tak suka mendengar omongannya.

Jun memandangku, lalu mencium kelopak mataku, “Tak usah menggeram. Itu hanya membuatmu lelah, tegang. Kau tahu, sekarang ini banyak perempuan muda terkena darah tinggi, lalu mati muda karenanya. Aku tak mau kau menjadi salah satu dari mereka.”
Aku? Mati muda? Kalau ingat ucapannya, aku ingin tertawa keras-keras: lihat siapa yang mati muda? Kau, Jun! Bukan aku! Ya, ya, Jun pergi begitu cepat bahkan sebelum Juna, Juni dan Juno cukup besar untuk mengenalnya, bapak mereka.

Aku ingat saat Jun tiba di rumah kami. Berdiri tegak di depan pintu, memandangi aku dan Asia. Ibu mendehem berkali-kali, memberi kode kepada kami untuk tidak terlalu menunjukkan minat padanya. Percuma. Ia terlalu tampan untuk diabaikan. Hari itu, hingga malam tiba, aku dan Asia terus berada di samping Jun.

Aku jatuh cinta pada Jun. Asia juga. Ibu tak senang ketika tahu soal ini. Ia minta aku membiarkan Asia memiliki Jun, “Dia kakakmu! Berikan laki-laki itu padanya!” kata Ibu. Ah, Ibu tahu apa? Asia boleh tertarik dan jatuh cinta pada Jun tetapi cintanya hanya untukku. Aku tahu betul: ia suka perempuan bersuara lantang, meledak-ledak, dan mengguncang tempat tidurnya setiap malam. Hangat. Tidak beku dan bisu seperti Asia.

Ketika aku kawin, Ibu menangis. Bukan untukku, tetapi untuk Asia yang memutuskan pergi. Ke mana? Tak usah dibahas. Tak penting lagi.

Anak-anak kami lahir tak lama setelah itu. Mereka memberi nama Juna, Juni dan Juno pada anak-anakku yang kembar tiga itu. Ketika aku masih sangat lemah, kudengar ada yang berkata, “Hei ibu muda, biar anak-anakmu kami beri nama seperti ayahnya. Kelihatannya kau begitu mencintainya.” Aku diam saja. Pertama, karena terlalu lelah. Kedua karena aku memang sangat mencintai Jun. Tetapi, cintaku terputus begitu saja: Belum seminggu anak-anak itu berada di dekat ayahnya, Jun tewas di jalan. Sebuah mobil melaju kencang, tak sempat berhenti ketika Jun menyeberang. Arjuna: suamiku, ayah anak-anakku, selesai begitu saja hidupnya. Aku menerimanya dengan kegeraman yang luarbiasa. Aku membanting diri, berteriak, menjerit, melolong. Mengamuk. Ibu tak berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mengalir. Matahari padam hari itu.

Berhari-hari aku tidak makan. Aku ingin ikut mati saja. Lalu kudengar bisik-bisik. Namaku disebut berkali-kali. Ada nama lelaki terselip. Ibu juga mendengar semua itu. “Berhenti berduka. Bangun dan urus anak-anakmu. Kalau tidak, mereka akan mengawinkanmu! Mau kau?” kata Ibu setelah bisik-bisik itu tak terdengar lagi. Aku tak percaya pada telingaku. Mereka akan mencarikan lelaki baru untukku? Kawin? Sesegera itu? Belum selesai masa berkabungku!

Hari itu, aku memutuskan menurut pada Ibu. Berhenti menangis dan sibuk mengurusi anak-anakku. Lelaki yang entah siapa, dan kabarnya akan datang untuk menjadikan aku istrinya, tak pernah tiba. Aku tak kawin lagi sampai hari ini.

Kami: aku, tiga anakku dan ibu, terus tinggal bersama mereka -orang-orang itu- bertahun-tahun. Hidup menumpang, makan minum ditanggung, kami berlima mencoba melakukan yang terbaik untuk orang-orang ini. Apa pun yang mereka berikan, kami terima. Apa yang mereka minta, kami berikan. Tak ada pertanyaan, tak berminat menolak. Kami tahu diri. Hingga pada suatu hari, tanpa pemberitahuan dan permisi, mereka mengambil Juna. Anak lelakiku itu dikawinkan tanpa persetujuanku. Tanpa sempat bicara denganku, Juna berangkat dan tinggal bersama istrinya. Aku kembali mengamuk. Mereka tertawa. Mereka bilang aku bodoh. Ibu hanya menarik napas panjang, menggelengkan kepala. Malam harinya, ketika aku sudah amat kelelahan, ia datang dan berbisik, “Belajarlah untuk menerima segala sesuatu dengan hati lapang.” Aku menangis. Bukan karena ia berkata benar, tetapi karena aku tak bisa menerima kepergian anakkudengan hati lapang . Tidak akan bisa.

Setelah Juna, dua anakku yang lain mengalami nasib sama. Aku mengamuk lagi. Mereka kembali tertawa. Dan ibu berkata, “Kapan kau bisa belajar menerima, Anakku?” Tak akan.
Tahun lalu, Ibu mendadak tak bisa bangun. Mereka bilang, sakit tua. Aku setuju tetapi tetap tak bisa menerima ketika akhirnya ia benar-benar berhenti bernapas. Dia pergi begitu saja. Tak memberi pesan. Tak menatap mataku. Aku melolong, menjerit. Mereka menyuruhku diam. Mereka bilang aku tolol dan terlalu emosional untuk hal yang tak penting. Tak penting? Aku melompat dan menerjang salah satu dari mereka. Sebuah pukulan keras di rahang kananku menghentikan semua itu. Aku jatuh. Mereka bilang aku gila dan berbahaya. Dokter datang –memenuhi panggilan mereka. Ia bilang pukulan itu membuat kepalaku tak bisa tegak lurus lagi. Agak miring ke kanan. Mereka diam, memandang iba padaku.

Bisik-bisik itu kembali terdengar.

Namaku kembali disebut-sebut. Ada juga nama lain. Lelaki? Keterlaluan kalau mereka memikirkan suami untukku. Di usia setua ini, dengan tingkah laku yang semakin mengerikan, lelaki mana yang mau jadi pendampingku. Aku lelah menduga-duga. Mataku berat sekali. Mungkin terlalu banyak makan malam tadi.

Aku terbangun. Pintu terbuka. Jam berapa ini? Masih gelap, tetapi mereka sudah berdiri di hadapanku. Aku mencoba bangkit. Kepalaku yang tak bisa lurus ini terasa berat dan menyulitkan gerak. Seketika itu juga sebuah kain hitam melayang di atasku. Gelap. Apa ini? Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan diri. Menggigit apa saja yang bisa kucapai. Mengeluarkan suara sekeras mungkin. Tak ada yang mendengar. Terjangan kakiku tak memberi hasil. Tubuhku terangkat, naik, tinggi di atas tanah. Lalu kain hitam itu semakin ketat membungkus. Napasku sesak. Kurasakan tubuhku mengarah turun, lalu menyentuh bidang datar. Mobil. Mereka membawaku pergi.

Dalam gelap dan pengap, aku terus meronta, berupaya lepas dari bekapan kain. Tidak mudah. Kakiku yang menendang ke sana ke mari, tak memberi hasil. Ruang gerak semakin sempit dan pengap. Napasku sesak. Keringatku mengalir, tapi tubuhku menggigil. Sudut bibirku robek, kepalaku terbentur lantai berkali-kali, lalu segalanya berputar dalam gelap. Kupejamkan mata rapat-rapat.

Ketika mataku terbuka, kain hitam yang tadi menyelubung berada di bawah tubuhku. Langit masih gelap, tetapi bulan telah pucat. Aku berada di sebuah tanah lapang. Tanpa perlu mencari, aku tahu di setiap sudutnya ada banyak pasang mata, memandangi aku. Aku ingin berlari, meninggalkan tempat ini secepat mungkin sebelum berpasang-pasang mata itu bergerak mendekat. Tetapi kakiku menolak digerakkan. Tubuhku menggigil. Mereka, pemilik mata yang menyala dalam gelap itu, bergerak. Langkah mereka mendekat, ringan, cepat. Nyanyi tenggoret terhenti.

Saatnya tiba, hidupku selesai di sini: pada tanah lapang tak bertuan. Kusimpan kepalaku di antara lipatan kakiku. Mataku basah.

Tiba-tiba sunyi.
Kaki-kaki itu berhenti melangkah. Aku menunggu. Jantungku berdebar.
“Jangan berlama-lama di sini. Dingin.” Aku mengangkat kepala. Di hadapanku duduk lelaki setengah baya, sepuluh langkah dariku. Suara itu miliknya. Rendah. Seperti gumaman. Di belakangnya berbaris belasan lelaki dan perempuan dengan mata menyala, bibir mereka membentuk garis lengkung yang naik di sudut.

Aku mencoba bangkit. Tubuhku oleng. Ia dan satu perempuan, bergerak cepat. Menopangku. “Tak perlu tergesa-gesa. Mereka sudah pergi. Kau aman,” lelaki itu kembali menggumam.
“Tegakkan badanmu. Cobalah berjalan. Pelan-pelan saja,” bisik perempuan penolongku,
“Usahakan kita sudah mencapai deretan pohon di tepi tanah lapang ini sebelum terang. Setelah itu, kau bisa beristirahat. Di sana lebih hangat.” Aku menurut. Mengherankan. Kami: aku, lelaki setengah baya dan perempuan itu bergerak lambat. Yang lain berada di depan. Kami berjalan dalam diam.

Bulan telah putih, sementara langit masih biru gelap ketika kami hampir tiba di deretan pepohonan itu. Perempuan yang menolongku menoleh, “Aku Kim. Siapa namamu?” Ia menanyakan namaku. Namaku? Siapa namaku? Siapa? Gila! Aku tak bisa mengingat namaku! Aku meraung. Bagaimana bisa aku lupa pada nama sendiri? Nama yang selama berminggu-minggu terus disebut, siang malam!

“Berhenti menangis! Diam!” lelaki itu tiba-tiba menyalak. Suaranya memekakkan telinga. Tubuhku gemetar. Semua yang ada di sekitar, memandangi kami dengan diam. Sekuat tenaga kuhentikan tangisku. Kim memeluk bahuku, “Diamlah. Apa yang kau tangisi? Nama yang hilang dari ingatanmu? Tak perlu. Itu pemberian mereka yang membuangmu tadi. Biarkan saja terlupa,” katanya. Aku menarik napas dalam. Sekuat tenaga kuhentikan tangis. Lelaki setengah baya itu berada jauh di depan, meninggalkan kami berdua. “Dengar kataku, mereka tak pernah mencintaimu. Mereka memegang hidupmu, hingga kau lupa bahwa itu milikmu. Hari ini, kau mendapatkannya kembali. Rayakan dengan menciptakan namamu sendiri,” bisik Kim di telingaku. Air mataku kering. Tiba-tiba saja.

Di depan deretan semak dan barisan pohon angsana, aku berhenti. Kim mendorong tubuhku, “Masuklah,” katanya. Kami menyelinap di antara pohon, alang-alang yang meninggi, dan perdu. Daun-daun kering menggelitik telapak kaki. Lalu suara-suara tinggi rendah berebut masuk telinga. Ramai meneriakkan selamat datang. Hari ini mereka menerimaku sebagai anggota baru anjing jalanan. Mungkin hari ini memang harus dirayakan.

Namaku, siapa namaku?

TANTE

cerita minggu siang


“Tante meninggal.”
“Aduh, kapan?”
“Semalam.”
“Kasihan dia. Hidup sendiri, tidak ada yang menemani.”
“Dia tidak sendirian. Dia punya banyak teman di rumah jompo. Dokter ada di sampingnya waktu dia meninggal. Bayangkan kalau dia masih tinggal sendirian di apartemennya yang besar itu.”
“Tapi selama sakit kita tidak sempat menengok.”
“Sudah, sudah.... Jangan memberati langkahnya. Aku yakin, dia paham betul kondisi kita. Waktu harus masuk rumah sakit bulan lalu, dia malah melarang aku menengok. Katanya, lebih baik biaya yang dipakai buat terbang ke sana, ditabung buat anak-anak.”
“Jantung?”
“Hmm. Aku berangkat nanti siang. Go show saja.”
“Aku perlu ikut?”
“Tidak usah. Kau di sini saja, sama anak-anak.”
“Dia begitu baik. Setiap ulang tahunmu, dia kirim hadiah.”
“Ulang tahunmu dan anak-anak juga.”
“Ya, ya.... Hadiahnya bagus-bagus! Sedih aku.”
“Sudah, sudah. Aku yakin lebih baik begini. Dia sudah tua. Mulai pikun. Ingat waktu kita ke sana? Sebelum dia masuk rumah jompo? Selama bersama Tante, kamu terus mengomel. Malah sering sekali aku dengar dia kena bentakanmu. Kamu tidak sabar menghadapi ke’tua’annya itu.”
“Habis bagaimana lagi? Dia cerewet sekali, bertanya hal yang sama berkali-kali. Sudah dijawab, bertanya lagi, lagi.... Tidak tahan aku! Tapi Sayang, aku sungguh tak bermaksud kasar padanya. Aku memang orang yang tak punya urat sabar. Ah, semoga saja dia tahu aku tidak bermaksud apa-apa.”
“Aku yakin dia mengerti.”
“Kakakmu sudah tahu?”
“Dia yang ajak aku berangkat siang ini. Kau baik-baik di rumah, ya. Jaga anak-anak.”
“Ya. Aku siapkan tasmu. Salam buat keluarga di sana.”
“Oke.”


***


“Hai.”
“Bagaimana?”
“Semua sudah beres. Sudah diurus rumah sakit.”
“Lalu, sekarang bagaimana?”
“Setelah kremasi, semua kumpul di kantor notaris.”
“Untuk?”
“Baca warisan.”
“Oh, cepat sekali”
“Biasa, namanya juga negara maju. Semua serba cepat. Tidak bertele-tele.”
“Hmmm....”
“Kenapa?”
“Jadi siapa dapat apa, akan dibacakan nanti sore?”
“Ya.”
“Sayang….”
“Ya?”
“Nanti malam kau sms aku. Kasih tahu aku, kamu dapat berapa. Terus, sebelum pulang, coba mampir ke apartemennya. Kumpulkan semua gelas-gelas kristalnya, ya! Aku mau itu. Lalu, buka lemari pakaiannya. Di situ ada baju-baju vintage Chanel, bawa pulang. Kalau kamu buka laci meja riasnya, cari kotak biru dari kulit kerang. Buka. Di dalamnya ada giwang mutiara hitam, gelang giok, cincin dengan mata batu mirah, bros yang dia beli di Amsterdam, bentuknya seperti cheetah. Oya, tusuk konde. Ada tusuk konde dari emas. Jangan lupa bawa tas plastik. Ambil sepatu stiletto-nya. Aku perlu buat ke pesta, kapan-kapan. Aku sebetulnya juga mau piring-piring antik dan perangkat minum tehnya. They’re real china! Di ruang tamu, buka lemari bukunya. Di laci paling bawah, ada foto Clark Gable dengan tanda tangan asli… Itu dibaw…”
“Hei, hei, hei…”
“Tidak usah malu-malu dan sok tidak butuh. Itu semua hakmu sebagai keponakannya yang terkecil. Ambil saja. Buat aku, istrimu.”
“Tapi….”
“Jangan bilang kamu tidak sampai hati. Semua setuju kalau kau yang ambil. Toh nanti tidak ke mana-mana. Buat kita, buat anak-anak! Hitung-hitung warisan dari Eyangnya.”
“Aku…”
“Sayaaaang, dengar aku: lebih baik kamu yang ambil dari pada dibiarkan membusuk atau malah dibuang oleh negara. Ya, kan?”
“Bukan, bukan begitu.”
“Terus apa? Malu? Sini biar aku yang ke sana, ambil sendiri.”
“Bukan, bukan begitu.”
“Lalu apa?”
“Semua yang kau mau itu sudah lama lenyap. Diambil oleh istri abangku. Semuanya.”
“Ah, kapan?”
“Begitu tante masuk rumah jompo. Setahun lalu.”
“…”