Saturday 28 March 2009

Bukti Cinta

a shorty-short-story of the day


Suaminya bilang, itu tanda cinta:
Pipi biru legam, hidung retak, bibir sobek.
Suaminya bilang, itu harus dilakukan:
supaya ia tahu diri, tidak besar kepala, sombong.
Malam ini, di tangannya ada sebilah pisau,
berkilat terkena sinar televisi.
Kepada suaminya, yang lelap tidur,
ia ingin menunjukkan cintanya. Yang amat sangat.

Sembadra

(a shorty-short-story of the day


Senyumnya mengembang selebar mungkin.
Matanya menatap selembut mungkin.
Suaranya terdengar sehalus mungkin,
bicara pada perempuan muda di depannya :
kekasih baru suaminya, ibu anak tirinya.
Perempuan itu bilang ia ingin jadi istri utama,
dan anaknya mendapatkan warisan terbesar.
Ia mengangguk dan berjanji menjadikan keinginan itu tercapai segera.
Ketika perempuan muda itu berlalu, ia terkejut :
rerumputan tempat ia berpijak telah menjadi abu.
Hangus terbakar.

JUWITA

(serial catatan kemarin)

Aku dan Mak melangkah masuk. Ternyata di dalam sudah menunggu seorang perempuan, setinggi Mak. Mungkin seumur Mak juga. Bajunya mirip Mak, rok lebar bunga-bunga. Hanya saja yang ini rambutnya agak lain, diikat ke belakang. Begitu melihat kami berdua, dia tersenyum lebar. Tangannya maju, bersalaman dengan Mak. Denganku juga. Dia menyebut namanya, “Juwita!” Oh! Aku dan Mak berpandangan lagi.

Perempuan itu melihat kami berdua, lalu ia tertawa, “Betul Bu, taman kanak-kanaknya mengambil nama saya,” lalu katanya, “Bisa saya bantu, Bu?” sambil menyilakan Mak duduk di kursi tamu. Di depan kami ada meja pendek, meja tamu. Taplaknya terbuat dari kertas yang digunting-gunting, dibuat lubang-lubang kecil, jadi seperti renda. Di sudut-sudutnya diberi gambar bunga, daun. Aku belum pernah lihat taplak seperti ini. Bagus sekali. Barangkali Mak perlu satu seperti ini di rumah.

Aku duduk di sebelah Mak. Saat itu aku melihat rambut Bu Juwita dengan lebih jelas. Dibuat konde kecil yang ditusuk dengan semacam hiasan rambut, bulat, berwarna hitam, berlubang-lubang berbentuk bunga. Baru sekali ini aku lihat rambut dihias seperti itu. Kalau rambut Mak agak panjang, barangkali bisa dibuat seperti itu.

Mak mulai bicara dengan Ibu Juwita, tentang aku yang sudah waktunya masuk sekolah. Bu Juwita mengangguk-angguk, lalu tersenyum padaku.
“Siapa namamu?” ia bertanya memakai bahasa Indonesia. Aku memandang Mak yang juga sedang memandangi aku. Mak memberi isyarat agar aku menjawab.
“Na Willa,” kataku sambil memperhatikan mulut Bu Juwita: apakah ia akan tertawa seperti Bu Tini? Aku tunggu. Tunggu. Ternyata dia tidak tertawa. Matanya terbuka lebar, lalu dia senyum, manis sekali. Dia bilang begini, “Na Willa? Wah, saya belum pernah dengar nama itu. Bagus sekali!” Badanku langsung lurus: Bu Juwita bilang namaku bagus! Aku dan Mak saling memandang. Mak tersenyum lebar. Aku juga. Rasanya aku akan senang bersekolah di sini.

Mak lalu bicara soal uang sekolah, kapan harus bayar, kapan boleh masuk dan mulai belajar. Bu Juwita menjawab semua dengan suaranya yang seperti ... nyanyian. Dari semua jawabannya, cuma satu yang aku ingat: Na Willa boleh mulai sekolah kapan saja. Bagaimana kalau besok? Aku mau mulai besok saja. Atau bagaimana kalau…. Aku cepat mendekat ke telinga Mak, “Saiki?” aku bertanya dengan suara pelan. Tapi tidak cukup pelan, sehingga Bu Juwita bisa mendengar dengan jelas.
“Sekarang,” katanya, “pelajaran sudah selesai. Tetapi kalau mau, kamu boleh lihat-lihat ke dalam kelas. Boleh mencoba duduk di bangku yang ada. Atau memeriksa mainan yang ada di kotak besar, di samping lemari.”

Aku sesak napas! Mak tahu aku ingin melakukan itu semua. Dia menepuk telapak tanganku, “Ya, boleh. Lihatlah...” katanya. Aku melompat. Masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk oleh Bu Juwita.

Rasanya….
Aku mau di sini saja, ah!

MENCARI (serial catatan kemarin)

Kami bersepeda melewati beberapa sekolah. Semua berhalaman luas, ada banyak anak berlari-lari ke sana ke mari. Ramai. Setiap kali sepeda mendekati pintu gerbangnya, aku menoleh, melihat Mak. Dia tidak menoleh ke sekolah itu. Mukanya tetap lurus ke depan. Dan ia tetap bernyanyi-nyanyi. Aku ikut menyanyi juga. Lebih keras dari Mak. Sepeda melaju kencang. Angin menepuk-nepuk mukaku. Beberapa kali, aku menyanyi lebih keras, mengalahkan angin yang berusaha masuk mulutku.

Aku tak ingat berapa lama kami bersepeda di jalan besar itu. Ada mobil, becak, sepeda dan trem. Mak lalu membelokkan sepeda, masuk ke jalan-jalan yang lebih sepi. Sepeda tak lagi kencang. Kami melewati satu sekolah. Sepeda jadi sangat lambat.

“Sekolah apa ini?” kata Mak.
Aku baca tulisan yang ada di papannya, “Taman Kanak-Kanak Putra Sejati.”
Mak bergumam, aku tak tahu apa. Sepeda tak jadi berhenti. Mak kembali mengayuh sepeda.
“Kenapa tidak di situ, Mak?” aku bertanya. Sebetulnya, aku cukup senang kalau Mak berhenti di situ. Di halamannya ada jungkat-jungkit selain ayunan (aku sudah punya di rumah, ingat kan?).
“Kita lihat yang lain dulu. Aku kurang suka namanya.”
“Kenapa, Mak?”
“Putra Sejati.”
“Apa artinya, Mak?”
“Putra sama dengan anak laki-laki. Sejati, sesungguhnya.”
“Anak perempuan?”
“Itulah! Mana putrinya, anak perempuannya? Jangan-jangan sekolah itu tidak punya murid perempuan.”

Setelah Putra Sejati itu, kami tak menemukan sekolah lagi. Sampai entah di belokan yang keberapa dan di jalan apa, sepeda kembali melambat. Mak pasti melihat sesuatu. Aku memutar kepala. Dan ya, di sebelah kanan jalan, di balik tanaman tinggi kurus dan berbunga jambon, ada papan kecil. TK JUWITA.

“Juwita... apa artinya, Mak?”
“Cantik,” kata Mak. Aku merasakan dagunya menyentuh kepalaku. Mak selalu berbuat begitu setiap kali bilang ‘cantik’.
“Kita berhenti di sini, Mak?” tanyaku waktu sepeda membelok ke gerbang yang terbuka. Mak mengangguk. Ia turun dari sepeda. Aku tetap duduk di kursi keranjang, di stang sepeda. Mak mendorong sepeda. Kami berdua, bertiga dengan sepeda, masuk halaman TK Juwita.

Ternyata halamannya tidak besar. Tapi tetap ada jungkat-jungkit dan ayunan juga! Tidak ada banyak kelas. Cuma ada satu ruang dengan kaca-kaca yang lebar. Dan di kaca-kaca itu tertempel banyak kertas warna, gambar ikan, burung, bunga, kupu-kupu, kucing, anjing, kapal, sepeda, bulan, bintang.... Aku tunjukkan gambar-gambar itu pada Mak. Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, “Bagus ya?”
“Siapa yang buat itu semua, Mak?”
“Aku rasa Bu Guru di sini dan teman-teman barumu.”
“Kalau aku sekolah di sini, aku juga buat semua itu?”
“Mak rasa begitu,” katanya sambil mengunci sepeda. Mak lalu menggandeng tanganku. Kami menuju pintu kayu berwarna kuning, merah dan biru. Aku ingin punya pintu seperti ini. Nanti aku bilang pada Mak. Siapa tahu dia suka juga (semua pintu rumah kami berwarna putih diberi garis tepi biru tua).

Lalu terdengar dari dalam, “Mari, mari... Silakan masuk, Bu! Ayo, Nak! Ayo, masuk!” Mak dan aku saling berpandangan. Mak tersenyum. Lebar. Alisnya naik tinggi-tinggi. Aku senang mendengar suara dari dalam itu. Aku tahu Mak pasti senang juga. Orang yang bersuara itu, rasanya baik hati. Aku yakin itu.

BERHENTI SEKOLAH (serial catatan kemarin)

Aku sampai di rumah. Mak tak ada. Barangkali ke pasar. Tapi ada Mbok. Dia sedang berdiri di pagar. Habis menyapu halaman. Melihat aku pulang, dia berteriak-teriak, keras! “Biyung! Biyuuuuuuung! Ngopo kowe, Willa?” aku cepat lari, menghindar dari tangkapan tangannya. Sambil menuju kamar mandi, aku menendang ke sana ke mari: sepatu lepas satu satu. Kaus kaki, baju, rok. Lalu aku masuk kamar, melompat ke tempat tidur. Mbok mengikuti, dia berdiri di pintu kamar, berpegangan pada tirai. Matanya membelalak, “Rambutmu, bajumu... Apa kata Mak nanti kalau dia lihat kamu seperti ini?” katanya. Mak! Iya, apa kata Mak nanti? Berarti aku harus ganti baju segera.

Aku cepat turun dari tempat tidur, menuju lemari pakaianku yang ada di ruang tengah, tempat ayunan bergantung. Tapi terlambat: Mak sudah ada di rumah. Suaranya menunjukkan kalau ia sudah sampai di ruang tamu! “Ada apa, Mbok? Pagi-pagi kok teriak-teriak!” begitu katanya. Dan aku cepat melompat ke balik lemari. Dari situ aku dengar suara sepatu Mak yang tak-tik-tok itu.

Lalu Mbok bersuara! Dasar pembilang!
Aku dengar dia bilang begini, “Nyah, Noni! Noni!”
“Kenapa Noni? Jatuh? Sakit?”
“Mboten, mboten, Nyah!”
“Lha, terus kenapa teriak-teriak?”
“Ketok e bar tarung! Kelambi ne... rambut e...!”
“Apa? Tarung? Dengan siapa? Luka? Di mana dia” aku dengar suara Mak.
Makin keras. Makin naik. Makin dekat!
“Di kamar, Nyah!” waktu Mbok bilang itu, aku sudah hampir mencapai lemari pakaian. Ternyata Mak sudah ada di depanku. Kami bertabrakan. Aku jatuh terduduk. Mak berdiri tegak. Matanya membelalak, melihat aku yang hanya memakai singlet dan pakaian dalam. Aku buru-buru berdiri.

Dari matanya, aku tahu Mak tak senang hati. Mungkin sebentar lagi aku akan kena cubit lagi.
“Cepat ambil baju ganti. Lalu ceritakan, apa yang terjadi di sekolah,” kata Mak.
Suaranya tidak keras. Tapi lurus, seperti talang air. Tidak berkelok-kelok seperti waktu membacakan cerita untukku. Lututku dingin. Telapak tanganku berkeringat.
Baju yang kuambil terlepas, jatuh. Aduh.

“Willa, cepat!” Aduh. Mak menepuk-nepuk kursi rotan, waktu aku muncul dari balik pintu. Aduh.
“Bagaimana kamu bisa sampai di rumah begitu cepat?” Aku melihat mata Mak. Tenggorokanku kering.
“Mbok bilang kamu seperti habis berkelahi. Dengan siapa?” Sekarang tangan Mak terlipat di dadanya. Mukanya dekat sekali dengan mukaku. Tidak ada senyum.
“Willa, ayo bicara,” katanya lagi. Suaranya membuat aku ingin melompat dari kursi dan berlari ke jalan. Tapi tidak bisa. Aku harus bicara. Harus cerita. Dan aku pun katakan saja apa yang terjadi di sekolah tadi. Aku bisa pastikan sebentar lagi tangan Mak sudah ada di pangkal pahaku. Mencubit, memelintir. Aduh. Aku menunggu sambil menutup mata.
“Willa, betul itu yang terjadi?” aku membuka mata waktu Mak bertanya. Tangannya masih terlipat di dada. Aku mengangguk, “Betul. Bu Tini menjewer telingaku.”
“Tapi kau injak kakinya!”
“Dia tidak percaya aku bisa baca, Mak!”
“Dan kau jambak rambut temanmu.”
“Karena mereka jambak lebih dahulu.”
“Jangan membalas, Willa! Tidak akan selesai! Adukan pada Bu Tini apa yang dilakukan temanmu itu.”
“Aku tidak suka Ibu Tini. Aku rasa dia juga tidak suka aku.”
“Ah, Willa! Guru itu baik.”
“Tidak Mak. Bu Tini jahat!”
“Dan kau tendang kaki temanmu.”
“Karena dia melihatku sambil tertawa-tawa.”
“Mungkin dia mau mengajakmu tertawa?”
“Tidak! Mukanya.... aku tidak suka lihat mukanya!” lalu aku tirukan muka Bayu. Tiba-tiba Mak tertawa. Keras sekali! Aku jadi ikut tertawa juga.
“Kenapa, Mak?” aku akhirnya bertanya waktu Mak tidak berhenti tertawa.
“Kalau mukanya seperti itu, mungkin Mak juga akan tendang kakinya juga!” katanya sambil setengah mati menghentikan tawanya.

“Willa, menendang, memukul, menjambak teman itu salah. Dan menginjak kaki Bu Guru.... Aduh, Mak harus memberi hukuman,” kata Mak setelah berhenti tertawa. Hukuman? Aku sudah sudah diganggu, dijambak, dijewer... masih dihukum juga? Aku tidak suka! Aku tidak mau dihukum! Aku menangis saja ah! “Willa!” Mak berteriak, “Diam!” aku menjerit keras. Mbok tiba-tiba muncul di balik tirai. Memeriksa apa yang terjadi. Sebentar saja. Lalu kembali ke dapur. Aku meraung. Lebih keras.
“Willa, satu!” Mak mulai menghitung. Aku masih menangis.
“Willa, dua!” Aku terus menangis.
“Willa, kalau kamu tidak berhenti menangis, Mak akan cubit kamu!” Apa? Kalau tidak berhenti malah dicubit? Kalau begitu aku harus segera berhenti mengeluarkan suara dan air mata. Berhenti! Berhenti!
Dan aku berhenti menangis. Mak menarik napas panjang.
“Willa, dengar... semua yang kamu lakukan itu salah. Tapi Mak harus bicara dengan Ibu Tini di sekolah. Kamu tunggu di rumah. Setelah Mak pulang, Mak akan tentukan hukuman apa yang harus di berikan padamu.” Mak bangkit dan mencari sepatunya. Setengah berlari, ia menyambar sepeda yang tersandar di pohon cemara. Mbok mengejar, mungkin ingin bertanya sesuatu. Terlambat. Mak sudah melaju.

Aku menunggu di rumah. Lama sekali rasanya. Aku mencari buku cerita yang sudah lama tidak kubaca.

Mak kembali waktu aku sedang makan siang di dapur, bersama Mbok.

Rambut Mak dipotong pendek, sebatas telinga. Tadi waktu ia berangkat, rambutnya yang berombak tersisir rapi, dijepit dengan jepit hitam di samping telinga kiri dan kanan. Sekarang, waktu ia berdiri di pintu, rambut Mak mekar seperti bunga. Tidak terjepit lagi. Mukanya berkeringat. Alisnya.... alisnya menyambung menjadi satu dan bagian tengahnya menukik dalam, sementara ujung-ujungnya naik sekali. Mak marah!

Aku langsung berdiri tegak. Aku pasti kena cubit! Bagaimana ini: baiknya aku langsung menangis atau menunggu sampai Mak mencubit saja? Aku bingung. Mak lalu memberi isyarat agar aku mendekat. Aku pasti dicubit! Aku rasa, baiknya langsung menangis saja. Yang keras... Atau, tunggu sampai dicubit? Supaya Mak tahu kalau aku kesakitan? Atau...

Mak menyuruh aku duduk di kursi rotan. Apa kubilang! Aku harusnya menangis saja dari tadi. Terlambat! Terlambat! Mak menarik napas, lalu ia berjongkok di depanku. Memegang lututku. Ia menarik napas sekali lagi. Sebelum bilang begini, “Mulai besok, kamu tidak usah kembali ke sekolah itu lagi. Kita akan cari sekolah baru.” Aku terlompat dari kursi. Ah, betulkah? Senang! Senang!

“Jadi aku tidak ketemu Bu Tini lagi?”
“Tidak usah. Kecuali kalau kamu memang senang padanya. Apa boleh buat, Mak harus ijinkan,” katanya sambil tersenyum. Muka kami hampir menempel. Aku lihat hidungnya yang penuh dengan titik-titik keringat.
“Sekolah di mana, Mak?”
“Kita cari.”
“Kapan, Mak?”
“Hari ini. Kamu ikut!” kata Mak.

Aku cepat berganti pakaian, lalu kami berangkat mencari sekolah. Naik sepeda. Aku duduk di kursi kecil di depan, dekat stang. Sepeda laju ke jalan besar. Aku dengar Mak menyanyi-nyanyi. Aku tahu lagunya,

Kelap kelip lampu di kapal
Anak kapal main sekoci...

Aku lupa menanyakan pada Mak, apa yang terjadi dengan Ibu Tini. Mungkin nanti malam, sebelum kami tidur.

DI KELAS (serial catatan kemarin)


Ibu Tini berjalan sangat cepat. Aku berlari-lari di belakangnya. Satu kelas, dua, tiga, empat kelas dilewati. Aku mencoba melirik ke dalam kelas-kelas yang kami lewati. Tidak bisa melihat banyak karena aku harus berlari, mengejar Ibu Tini yang sudah jauh di depan. Hampir di ujung, kami berhenti di sebuah kelas. Dari dalam terdengar suara yang keras, ramai. Aku ingin masuk, tetapi Bu Tini berdiri, diam di depan pintu kelas yang tertutup. Aku jadi ikut berdiri di sampingnya. Lalu ia menoleh ke arahku, mulutnya jadi kecil karena semua bibirnya berkumpul di tengah. Aku betul-betul ingin pulang. Bagaimana caranya, ya?

Lalu kudengar Bu Tini bicara, “Ayo masuk! Jangan nakal, saya tidak suka anak nakal!” aku mengangguk-angguk. Aku tahu anak nakal itu seperti apa. Aku bukan anak nakal. Bukan.

Ibu Tini mendorong aku masuk. Kelas yang ramai langsung diam. Semua yang ada di kelas memandangi Bu Tini. Bukan, bukan…aku! Mereka semua melihat aku dengan muka heran. Malah ada yang sampai membuka mulutnya lebar-lebar. Kenapa harus begitu? Aku melihat bajuku, sepatu, tas, tempat makanan dan minum. Ada yang salah? Pita masih terikat di kedua kuncirku. Tapi mereka terus saja memandang heran. Aku tidak suka. Aku pelototi mereka satu-satu. Lalu mereka mulai menunduk, buang muka. Nah, begitu lebih bagus.

Bu Tini lalu bilang namaku Na Willa. Tiba-tiba satu kelas tertawa. Keras sekali! Ibu Tini juga ikut tertawa. Apa yang lucu? Apa yang lucu? Kenapa kalian tertawa? Aku tak suka. Kaki kubanting keras-keras. Ibu Tini kaget. Dia langsung berhenti tertawa. Alisnya berkumpul di tengah, menjadi garis lurus. Bibirnya kembali mengumpul di tengah. Aku melihat lurus ke matanya. Aku tak suka dia menertawakan namaku. Kami berpandangan, lalu ia pura-pura melihat ke pintu kelas. Setelah itu ia berteriak, “Semua diam!” Anak-anak itu berhenti terbahak-bahak, perlahan-lahan. “Mulai hari ini, temanmu ini akan belajar bersama kalian. Dia akan duduk di ....” Bu Tini melihat ke seluruh kelas. Lalu matanya berhenti di sebuah bangku di tengah. Di situ duduk seorang anak laki-laki. Rambutnya berdiri seperti sikat kamar mandi. Matanya mengantuk. Dia sedang ingusan, “Sebelah Bayu.” Si ingusan itu Bayu namanya. Ibu Tini mendorong aku, bergerak ke bangku di deretan ketiga dari depan, kedua dari pintu. Di depannya duduk seorang anak laki-laki berbadan kecil, berambut keriting. Di belakang Bayu, duduk sepasang anak perempuan. Yang satu berponi, satu lagi rambutnya diikat di tengah kepala. Bersama-sama mereka menjulurkan lidah. Aku juga: weee! Semua anak menoleh ke tempat dudukku. Ada apa? Aku memeriksa baju dan sepatuku. Semua masih seperti tadi. Tidak ada yang berubah.

“Na Willa, duduk!” aku dengar Ibu Tini memberi perintah. Aku menurut. Bangku kayu ternyata tinggi. Kakiku berjuntai. Tas berisi makanan, minum, pensil, aku gantungkan di sandaran. Ibu Tini bilang hari ini kami akan belajar menulis. Ia mengeluarkan setumpuk buku, menyebut nama, lalu satu-satu teman baruku maju, mengambil buku. Aku menunggu. Buku habis dibagikan. Namaku belum dipanggil. Semua menge-luarkan pensil. Siap menulis, tapi mata mereka melihat ke arahku. Di meja Bu Tini sudah tak tersisa buku. Aku mengambil tas, siapa tahu Mak membawakan buku untukku. Tak ada. Hanya pensil, penghapus, kotak kue saja yang ada. Ah, ya aku ingat: semalam Mak bilang kalau buku akan aku dapat dari sekolah. Aku harus minta buku dari Bu Tini. Aku turun dari bangku dan menghampiri Bu Tini.

“Ada apa?” ia bertanya dengan suara keras. Alisnya masih menyambung. Aku bilang, aku tak dapat buku. Dia mendengus, bulu hidungnya sampai keluar lubang, lalu dia bilang, “Kamu kan anak baru! Bukumu belum ada. Duduk saja dulu di sana. Perhatikan bagaimana temanmu menulis. Kamu toh belum bisa menulis, kan?”
“Bisa, aku bisa menulis, Bu,” kataku. Ibu Tini tertawa, “Ya, ya, ya... kamu bisa menulis tapi tidak bisa dibaca kan?” Ia lalu memberi isyarat agar aku kembali ke bangku. Aku tetap berdiri saja di samping mejanya. Aku bilang, “Aku betul-betul bisa menulis, Bu!”
“Tidak ada anak yang bisa menulis sebelum dia sekolah. Kamu juga tidak bisa. Sana duduk,” katanya dengan suara yang lebih keras dari tadi.
Aku tetap berdiri, memegang ujung mejanya, “Tapi aku bisa!” kataku.
“Kamu melawan, ya?” Ibu Tini tiba-tiba berdiri, tangannya terpasang di pinggang. Matanya tiba-tiba berubah jadi bola hitam yang besar! Mulutnya yang tadi membulat, sekarang menganga lebar. Giginya kelihatan semua! Ada tambalan hitam, di belakang!

Aku dengar teman-temanku menarik napas. Aku juga. Ibu Tini marah. Tapi kenapa? Aku kan hanya bilang kalau aku bisa menulis. Aku juga bisa membaca, tapi itu belum aku sampaikan. Apa aku harus bilang tidak bisa apa-apa? Tapi aku bisa! Ibu Tini menunjuk bangkuku, “Kembali duduk di sana. Kamu saya hukum karena melawan!” Dihukum! Dihukum? Aku menghentakkan kaki. Aku tidak mau dihukum. Tidak bisa dihukum. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku cuma bilang aku bisa menulis. Aku tetap berdiri di samping mejanya. Ibu Tini, keluar dari mejanya, mendorong aku menuju bangku. Aku tetap ingin berdiri di situ. Tapi dorongan Ibu Tini lebih kuat. Kakiku bergerak maju. Lalu dengan sekali rengkuh, dia mengangkat aku, mendudukkan di bangku kayu itu.

Aku kesal sekali. Aku duduk bersandar. Tanganku terlipat. Aku tak mau melakukan apa-apa hari ini. Bayu, dengan ingusnya yang mengalir sampai ke tepi bibirnya, melihat ke arahku. Kenapa melihatku terus? Apa yang aneh? Aku sepak kakinya. Aku tidak suka dipandangi seperti itu. Bayu balas menyepak. Sakit. Aku sepak lagi. Lebih keras. Dia ingin membalas, tapi kaki kuangkat tinggi-tinggi. Kakinya kena bangku kayu. Ia menjerit kesakitan. Ingusnya meluncur ke mulutnya. Mukanya jadi jelek sekali. Aku tak tahan melihatnya, aku tertawa keras-keras.

Tiba-tiba kepang rambutku di tarik dari belakang. Dua anak perempuan penjulur lidah yang melakukannya. Aku berbalik. Menghadap mereka. Tanganku menjulur, yang satu menangkap kuncir rambut yang terletak tepat di tengah kepala, yang satu menarik poni. Aku tarik kuat-kuat. Mereka menjerit keras-keras. Aku tertawa. Tiba-tiba kurasakan telingaku perih. Ibu Tini sedang memutar daun telingaku. Aku terangkat. Tangannya kutepis. Ia kaget dan pelintirannya terlepas. Aku hampir terbanting di bangku kayu. Tapi kakiku sempat menjejak lantai. Cepat aku berdiri, kuhentakkan kaki, dan sepatu Bu Tini yang lancip ujungnya itu berada di bawa telapak kakiku. Ia menjerit. Tangannya melayang, mencari aku. Cepat aku bergerak ke luar bangku. Tangan Bu Tini terhempas ke sandaran bangku. Ia menjerit lagi, lalu berteriak memanggil namaku. Keras sekali.

“Na Willa! Sini! Kurang ajar sekali kamu! Saya hukum kamu! Sini! Sini!” Lalu ia bergerak ke depan kelas, cepat-cepat membuka lemarinya. Aku menunggu di dekat papan tulis. Apa yang akan keluar dari lemari coklatnya itu? Sekejap saja ia sudah berbalik dengan sebatang rotan di tangan. Ah, rotan! Rotan!

Aku melompat. Menuju pintu. Aku keluar. Aku lari. Ibu Tini berteriak, keras sekali. Aku dengar suara langkahnya di belakangku. Mengejar. Aku lari sekencang mungkin. Melewati kelas-kelas yang berderet, pintu gerbang... aku terus berlari. Terus sampai ke jalan raya. Aku menoleh ke belakang. Ibu Tini sudah hilang. Aku berhenti berlari. Aku lihat penanda jalan. Ah, sudah dekat rumah. Aku teruskan berjalan. Pulang.

IBU TINI (serial catatan kemarin)

Paginya, aku bangun lebih dahulu dari Mak. Ia terkejut melihat aku sudah duduk tegak di ujung tempat tidur. “Willa, ini masih pagi sekali!” katanya sambil melihat jam di dinding. Mak cepat turun dari tempat tidur, lalu bergerak ke dapur. Mbok sudah bangun. Sudah masak air dan membuat teh. Sekarang ia sedang menyiapkan nasi semalam. Mau dibuat nasi goreng. “Buat aku?” Mak mengangguk.
Mbok menjerang air lagi. Buat aku mandi.
“Ambil bajumu, siapkan di kamar mandi. Anak sekolah harus belajar mengatur semuanya sendiri,” kata Mak. Aku menurut. Air cepat sekali matang. Mbok menuangkannya di ember, mencampurnya dengan air dingin. Aku mandi pakai sabun coklat cap kumbang. Wangi.

Habis mandi, berpakaian, sisir rambut, minum susu cap sapi tertawa, pakai bedak, pakai kaus kaki dan sepatu, memeriksa botol minum dan tromol isi nasi goreng ditaburi telur dadar, ambil karet buat mengikat sendok di tromol: aku berangkat. Naik sepeda bersama Mak, duduk di depan, di keranjang yang dipasang di stang depan. Mukaku dingin, kena angin.
“Sekolahmu dekat, cuma lima gang dari sini. Hari ini kita naik sepeda, supaya cepat sampai. Siapa tahu Mak harus ketemu dengan kepala sekolah atau guru kelasmu. Besok jalan kaki saja.” Tentu! Tentu!

Mak menghentikan sepedanya di depan gerbang besi karatan yang terbuka lebar. Aku turun. Kami melewati gerbang dan anak-anak berbadan besar –berteriak-teriak, lari-lari, tertawa-tawa, menuju rumah besar dengan banyak pintu, jendela, di seberang halaman. Ini sekolahku. Yang mana kelasku?

Mak mendorong sepedanya ke tempat penitipan sepeda di sudut halaman. Lalu kami bergerak lagi menuju rumah besar itu. Mak menarik tanganku ke arah ruangan paling ujung, paling kecil. Pintunya terbuka. Kami masuk. Di dalam duduk seorang perempuan agak tua –tapi lebih muda dari Nyonya Chang dan Mbok—duduk di belakang sebuah meja yang ditutup taplak batik. Di atas mejanya ada banyak kertas dan buku ditumpuk jadi satu.

Mak bilang selamat pagi, perempuan itu menyilakan kami duduk, ia bertanya apa aku anak yang akan sekolah hari itu, Mak menjawab ya, aku tersenyum lebar, duduk manis dengan tangan terlipat. Perempuan itu lalu bilang, “Saya Ibu Hermin. Kepala sekolah di sini. Mulai hari ini kamu sudah bisa sekolah di sini. Sebentar lagi gurumu, Ibu Tini akan datang. Kamu bisa ikut dia ke kelas.” aku cepat-cepat mengangguk. Jantungku berdebar-debar. Aku dengar Mak masih bicara-bicara dengan Ibu kepala sekolah hari itu pakai kebaya hijau dan kain coklat. Kacamatanya tebal, berbentuk segitiga terbalik.

Aku terus memandangi pintu sampai masuk seorang perempuan kurus, tinggi, memakai rok span bunga-bunga. Blusnya biru tua. Rambutnya di ekor kuda. Ia berjalan ke arah kami. Lalu Ibu kepala sekolah mengangkat kepala, dia bilang, “Nah, ini Bu Tini! Willa, beri salam pada Bu Tini.” Ini dia Bu Tini. Ia mengangguk ke arah Bu kepala sekolah dan Ibu. Lalu melihat ke arahku. Aku ingat, waktu itu aku tersenyum lebaaaaar sekali. Tetapi Ibu Tini tidak ikut tersenyum. Ia hanya melihatku. Terus. Aku berhenti tersenyum. Tiba-tiba aku ingin pulang! “Willa, Mak pulang ya. Sampai nanti!” Mak berdiri, mencium pipiku, bersalaman dengan Ibu kepala sekolah dan Ibu Tini, lalu keluar dari pintu kantor. Aku tidak ingin ikut Ibu Tini Tidak Senyum ini. Aku mau pulang bersama Mak saja! Tapi Mak sudah jauh dengan sepedanya.