Sunday 29 August 2010

Not Ours To Know

Di Taman Sejuta Keindahan

“Masih sedih?”
“Rasanya begitu.”
“Biasanya… nanti kau juga bisa melupakan semua dan kemudian menikmati kehidupan di sini.”
“Rasanya tidak mungkin. Begitu banyak yang kutinggalkan. Aku tak bisa melupakan semua dengan begitu saja! Aku kan punya perasaan!”
“Aku tahu itu… Tetapi nanti semua akan berubah. Lihat teman-temanmu yang ada di situ. Mereka sama sekali tidak muram, padahal mereka punya perasaan juga”
            Didit merasa tak ada gunanya menjelaskan lebih jauh tentang yang ia rasakan saat itu. Pemilik tubuh besar terbalut warna putih, yang sejak kedatangannya di sini terus saja mengawalnya itu, pasti terus ngotot. Dan dari lubuk hati paling dalam, ia tahu bahwa si besar ini berkata benar. Sesungguhnya, ia sendiri paham: Kalau sampai sekarang masih sulit melupakan ke adaan di bawah sana, maka itu problemnya sendiri.
            “Ya, semoga nanti aku bisa seperti teman-teman lain itu…” Didit merasa suaranya lebih mirip keluhan ketimbang harapan. Dan tubuh besar itu bergerak menjauh setelah menyentuh bahunya dengan lembut. Didit mencoba tersenyum.


Di Taman Keindahan, 2 bulan kemudian

            Didit sedang duduk di tepi kolam penuh taburan bunga. “Kamu masih sedih juga. Padahal sudah hampir dua bulan kamu di sini.”
            “Jangan bilang aku tidak usaha. Segala macam cara kugunakan untuk menghilangkan rasa sedih yang berlebih ini. Tapi lihat hasilnya…”
            “Apa sih istimewanya ikeadaan di sana itu sampai kamu terus memikirkannya?”
            “Kamu tidak akan mengerti. Ini soal ambisi. Soal masa depan. Semuanya sudah sipa kupetik hasilnya ketika… Ah!”
            “Seindah apa pun keadaan id sana, sebagus apa pun buah yang akan kau petik, aku yakin tak ada yang bisa mengalahkan tempat ini. Tempat kau berpijak sekarang!”
            “Ya, ya, ya… itu yang dikatakan semua orang padaku. Aku juga pasti berpendapat sama kalau saja aku datang pada saat yang tepat. Seandainya saja saat itu bisa ditunda, aku yakin hati ini tidak bakalan gundah gulana berkepanjangan seperti ini….”
            “Ditunda katamu? Mana bisa! Itu sudah jadi keputusan Dia!”
            “Aku tahu… Tetapi justru itu yang membingungkan.”
            “Maksudmu, kau bingung karena Dia seperti tak punya perasaan dalam menghadapi kasusmu. Begitukah?”
            “Ya! Tidak adil rasanya. Seandainya saja aku bisa mengubah kenyataan yang ada sekarang…”
            “Dan itu tidak mungkin!”
            “Aku tak percaya!”
            “Terserah. Kalau masih ingin bukti, tanyakan saja langsung pada boss kecil.” Didit menurut. Ia berangkat menemui sosok yang disebut bos kecil.


Di ruang kerja Bos Kecil

            “Jadi kau ingin kembali ke sana?” tanya bos kecil sambil membelalakkan mata.
            “Ya, aku ingin dapat kelonggaran waktu sedikit saja. Aku bisa pastikan, kalau diijinkan menengok ke sana, rasa dukaku pasti lenyap!”
            “Sudah sering aku menerima permintaan macam begini. Tapi sangat jarang yang dikabulkan. Kau tahu, untuk membeir waktu longgar padamu, walau cuma sedetik, aku harus konsultasi dulu dengan Dia. Itu bukan hal mudah, Didit!”
            “Aku tahu! Aku tahu! Tapi Dia kan Maha Kuasa. Maha Tahu dan Maha Bijaksana, masak dia tidak bisa memahami perasaanku, ciptaannNya sendiri?”
            “Duhai Didit anakku… segala yang sudah Dia putuskan selalu paling adil di antara yang adil. Keadaan yang kau alami sekarang adalah yang terbaik untukmu! Bermilyar manusia merindukannya dan cuma segelintir yang obleh merasakannya. Kau sudah terpilih, tapi malah ingin pulang. Aku tak habis pikir…”
            “Tolonglah!”
            “Aku tidak suka pada anak muda yang merengek. Tapi aku juga tahu bahwa selama ini kau sungguh tak kerasan diam di sini. Mungkin aku harus memberi sedikit kelonggaran untumu…”
            “Horeee!”
            “Husy! Aku belum selesai bicara! Aku tidak akan mengembalikanmu kepada keadaan semula.”
            “Oh! Kenapa?”
            “Karena itu bukan wewenangku dan pasti tak disetujui oleh Dia.” Mendengar itu bahu Didit langsung melengkung ke bawah. Kecewa. Bos kecil tertawa melihatnya.
            “Tapi aku bisa memberi rekomendasi untukmu agar Dia mengijinkan engkau melihat ke masa kau hampir tiba di sini, saat yang kau impikan, yang kau yakini itu bakal jadi masa keemasanmu. Mungkin setelah melihat itu pikiranmu akan berubah,” kata bos kecil sambil tersenyum.
            “Aku tahu, setelah meloihat semua itu, aku pasti kian tergila-gila…Ah!”
            “Kita lihat sajalah, Dit.”


Setelah menemui Bos Kecil

            “Ayo!”
            “Ke mana?”
            “Antar aku ke … Bos kecil bilang, aku harus ditemani! Ayolah!”
            “Sst… Lihat! Itu kamu, kan?”
            “Ya, ya… itu aku dengan teman-teman yang paling kusayang. Hmmm, kami mau rekaman. Betul, rekaman album pertama. Kami jadi penyanyi!”
            “Tapi kamu kan sebetulnya pengarang.”
            “Memang. Buku-buku yang kutulis laku keras. Begitu muncul iklan ada karyaku yang paling baru, langsung saja toko buku penuh sesak. Orang berlomba membeli. Luar biasa.”
            “Hebat ya kamu: masih muda sudah jadi penulis best seller.”
            “Hehehe, begitulah! Padahal pada mulanya aku tak kelewat berharap banyak dari dunia tulis-menulis itu. Aku mulai belajar menulis dari seorang wartawan senior di sebuah majalah remaja. Aku cuma kirim puisi satu dua biji, terus meningkat jadi kirim cerpen, terus bikin tulisan lain, dan kemudian bikin serial yang ternyata amat disukai banyak orang.”
            “Sejak itu kau terkenal.”
            “Ya, jadi amaaaaat terkenal! Enak juga jadi orang top. Dikejar-kejar orang. Di suruh bicara di aneka forum. Aku pernah jenuh jgua. Tapi mau bagaimana lagi: itulah yang kuhadapi.”
            “Aku dengar, ketika kian terkenal, ulahmu pun makin menjengkelkan. Sering kamu tak muncul di tempat yang sudah bikin kontrak dengan kamu. Kalau pun datang, kamu tiba sangat terlambat. Betul begitu?”
            “Hmmm…. Kau tahu juga soal itu, ya? Begitulah. Tapi ya, mau bagaimana lagi, ulah orang top di Indonesia sana memang begitu kok. Sudah biasa. Makin lama ia terlambat, makin terkenalah dia. Trade mark, begitu.”
            “Aneh sekali.”
            “Boleh jadi. Tapi memang begitu keadannya. Sudah jangan tanya-tanya dulu. Aku ingin lihat apa yang dilakukan teman-teman saat kami rekaman…”
            “Suara kamu biasa saja. Tidak istimewa, ternyata.”
            “Begitu pendapatmu?”
             “Masih lebih bagus suara kelinci.”
            “Menghina sekali!”
            “Tersinggung ya? Hahahaha!”
            “Tentu! Tidak tahu kamu, itu hasil maksimal.”
            “Ya, ya, lumayan deh. Setidaknya pada bagian tertentu suaramu bisa berjalan lurus. Tidak terlalu fals.”
            “Diam! Lihat itu! Astaganagaaa!”
            “Tak perlu sekaget itu, Dit. Memang begitulah jalan yang membawamu ke dunia baru. Kabel mike yang kau pegang itu, terbuka. Kamu iseng menyentuh –perbuatan paling bodoh yang pernah kulihat selama ini. Dalam sekejap kau terlempar, terkena serangan listrik bertegangan tinggi. Seketika itu juga Jibril terbang dan membawamu ke tempat boss kecil yang kemudian mengantarmu menemui Dia.”
            “Mengapa aku bisa begitu ceroboh?”
            “Kok malah bertanya? Mustinya kau tahu sendiri: kau ini manusia ceroboh atau bodoh?”
            “Bukan ceroboh, apalagi bodoh. Aku hanya ingin tahu.”
            “Ingin tahu? Itu ingin tahu yang salah tempat! Keingintahuanmu itu membawa maut. “
            “Sikap ingin tahu kan sebetulnya bagus.”
            “Memang. Tapi aku sudah bilang tadi. Kalau salah tempat, malah bahaya. Tuh, orang macam kamu suka begitu. Belagu! Sok tahu! Sok bisa. Lihat hasilnya: habis tidak karuan. Sekarang cuma bisa menyesal. Payah, kamu!”
            “Sayang betul.”
            “Sayang? Maksud kamu apa, Dit?”
            “Maksudku, kalau saja aku tidak iseng begitu, pasti aku sudah jadi penulis muda terkenal yang merangkap penyanyi top dunia, ya. Tiket undangan show ke segala penjuru dunia pasti sudah kupegang. Apa pun yang kukatakan nanti dan apa pun yang kulagukan, pasti jadi panutan anak muda. Terkenal... Hahahaha!”
            “Astaga, masih belum mau terima nasib juga kamu, Dit”
            “Terima? Gila apa? Aku bakal meraih sukses banget ketika maut memawaku pergi dan menempatkan diriku di dunia lain di atas langit dan itu berarti aku kehilangan semua penggemarku, semua pecinta tlisanku, semua calon pecinta suaraku. Keadaan yang begitu memelas kuterima begitu saja? Tidak bisa. Seandainya kamu pernah jadi manusia, dan punya rasa atau merasakan apa ambisi itu, kamu bakal setuju dengaku. Pasti!”
            “Belum tentu, Dit. Masalahnya aku tahu pasti bahwa apa pun yang Dia putuskan selalu baik dan tepat buat siapa saja. Buat kamu dan juga buatku, mahluk putih besar bersayap, begitu kau memanggilku.”
            “Dia boleh benar untuk kasusmu. Juga kasus lain. Tetapi untuk masalah yang kini kuhadapi, aku yakin Dia keliru.”
            “Didit! Jaga mulutmu!”
            “Tenang, tenang… Kau harus lihat masalahnya. Aku mati. Berjuta remaja menangisi kepergianku. Beratus penulis senior menuliskan kesan dan pesan tentang aku. Koran dan majalah memuat riwayatku. Majalah yang selalu memuat serialku bikin artikel khusus tentang aku dan bersiap menerbitkan semua tulisanku. Lama dan baru. Bahkan yang dulu ditolak pun dicari dan dimuat juga. Lihat itu… Kamu tahu, wahai malaikatku, kalau saja saat kepergianku diundur sampai albumku melejit dan namaku sudah sampai ke luar negeri, sungguh tak terbayang seperti apa upacara pemakamanku.”
            “Didit, behati-hatilah bicara. Kau gila sukses. Itu berbahaya.”
            “Aku tidak gila. Aku cuma ingin menikmati rasanya jadi orang bernama besar di saat usia belum menginjak 20 tahun. Itu saja, kok.”
            “Dit….” Malaikat yang sedari tadi menemani Didit, kini mulai menunjukkan wajah lelah dan bosan. Sayapnya yang besar menyentuh pundak Didit. Ia berkata, “Lanjutan dari upacara pemakaman ini sudah kau hafal betul, kan? Ayo kita pulang.”
            “Tapi…”
            “Sudahlah. Kita pulang. Aku yakin kamu hafal siapa saja yang mengucurkan air mata buat kepergianmu. Ayo!”
            Didit kesal sekali. Sebetulnya dia ingin mengenang kembali masa sendu yang memberi rasa senang di dadanya. Tapi si sayap lebar mendesak. Apa boleh buat.
            “Kamu masih peasaran ya? Masih ingin tahu, seperti apa rasanya kalau  rekaman yang dibuat berdasarkan serialmu itu  laris? Kalau ya, kita bisa tanya lagi sama bos kecil. Siapa tahu dia mau beri intipan masa depan seksi KA-LAU. Mau?” sungguh kesalahan besar menawarkan hal itu pada Didit. Sic eking gondron ini mendadak jadi sangat bersemangat. Ia langsung melompat dan bergelayut di sayap makhluk putih besar itu sambil berteriak-teriak, “Hayooo! Hayoo! Hayooo!”

Di ruang kerja Boss Kecil

            “Kamu lagi, Anak muda?” Boss kecil kembali membelalakkan matanya. Didit merasakan bulu tengkuknya berdiri. Hatinya ciut. Rasanya kali ini Bos kecil sudah tak murah hati seperti tadi.
            “Menurut laporan, kamuingin melihat masa depan seksi KA LAU. Untuk apa? Masih tak puas juga hatimu, Anak muda?” Suara Bos kecil sungguh tak sedap di telinga. Didit sangat ingin berlalu, tapi terlanjur berada di situ. Dan rasa penasaran ternyata sulit dibunuh.
            “Apakah itu terlarang?” tanya Didit dengan suara takut-takut. Bos kecil menggeleng. Dia tak berkata apa-apa, cuma matanya menatap Didit lekat- Kemudian ia bangkt dan membeir isyarat agar Didit mengikutinya. Didit bingung.
            “Cepat, ikuti dia!” Didit merasakan pantatnya didorong sayap si makhluk putih besar. Ia menurut.

Perjalanan bersama Bos Kecil
            Seksi KA-LAU sungguh ajaib. Melebihi khayalan Steven Spielberg digabung denga George Lucas sekali pun. Bintang-bintang terpecah di atas kepala. Tanah merekah, mengeluarkan tanaman. Burung aneka rupa beterbangan seakan siap menyambar siap apun yang lewat. Belum lagi aneka bentuk benda yang belum jelas kegunaannya, bertebaran di mana-mana. Didit tertegun. 
            “Didit…” suara Bos kecil membuat mulutnya segera terkatup. Lelaki tua berjenggot itu membei isyarat agar Didit mendekat. Di hadapannya terhampar sebuah alat mirip televisi gede-gedean yang diletakkan mendatar, pada sebuah meja besar. Ribuan tombol ada di sekelioling layar. Gambar di layar menunjukkan suasana kota yang hiruk pikuk, berdebu, serba tergesa, panas, tak menarik.
            “Itu kotamu. Di situ kamu tinggal.”
            “Aku?”
            “Sabar, biar kucari sebentar…” Bos Kecil memutar tombol hijau ke kiri dan kanan, mementara itu gambar di layar berubah cepat, menampilkan potongan sekuen aneka tempat, aneka wajah, aneka perisitwa dan…
            “Itu aku!” Didit menjerit melihat wajahnya muncul di layar.
            “Ya, itu kamu.”
            “Kok kurus banget? Kayak orang nggak makan aja!”
            “Ya, kamu memang nggak makan. Nggak doyan makan. Kamu frustrasi berat.”
            “Frustrasi, Bos? Kok bisa?”
            “Hahahaha, kok malah tanya? Itu kan bikinanmu sendiri!”
            “Bagaimana mungkin? Aku selalu teriak-teriak sama remaja untuk menjaga semangat hidup,  untuk tetap bertahan dalam segala keadaan. Bahkan yang sesulit apa pun kudu dihadapi dengan berani, dengan makan teratur, dengan mandi sering. Kok sekarang aku sendiri yang berulah aneh? Tidak mungkin!”
            “Kamu sulit percaya ya, Dit. Tapi itulah kenyataan. Lihatlah lantarannya. Lihat. Semoga bisa bikin jelas semuanya.” Didit berdiri kian rapat dengan layar besar, dan menanti keaadan apa yang bakal ditampilkan di situ.
            “Itu aku. Lagi ngapain, ya? Oh, habis rekaman. Wah sibuk ngurusin jadwal rekaman gambar buat video klip dan acara televisi. Hihihi, musikusnya amit-amit deh! Cabutan dari tempat yang nggak jelas.! Waduh, norak banget deh, masak aku grogi begitu, sih? Hihihihi…”
            “Lihat terus, Dit!”
            “Asyiiik, aku bikin show di mana-mana. Yang nguber, alamakjaaaan! Sedunia jadi fans si Didit, nih! Aow, aku diuber-uber penggemar, eh kejepit lagi! Tunggu! Tunggu! Aku, aku mati di situ?”
            “Tidak Dit, belum. Lihat saja terus,” Bos kecil bicara dengan suara tenang.  Didit menurut. Di matanya tampak gambar yang menyenangkan hati: ia sukses luarbiasa. Selama tiga sebulan penuh ia meninggalkan bangku kuliah untuk show ke daerah dan negara tetangga. Tapi… tiba-tiba Didit mundur selangkah. Matanya membelalak. Mulutnya kembali terbuka.
            “Kenapa, Dit?”
            “Itu!”
            “Kenapa?”
            “Show-ku…”
            “Kenapa? Gagal?”
            “Kelihatannya begitu.”
            “Memang begitu. Gagal total. Kamu memang disambut habis-habisan di awal pertunjukkan. Sialnya begitu kamu buka suara, penonton mulai kecewa. Di rekaman, suaramu cukup lumayan. Begitu giliran live show, kau langsung rontok. Habis. Tak terkendali.”
“Biasanya pakai playback, kan?” si mahluk besar bersayap lebar itu bertanya.
“Didit tidak mau. Dia ingin menyanyi dengan suaranya sendiri. Katanya ia sudah bosan menipu penonton dengan suara hasil rekaan teknologi rekaman. Tapi ternyata akibatnya malah fatal. Lihat itu kamu malah kena timpuk batu lantaran suaramu yang terlalu melenceng jauh!” kata Bos Kecil.
“Kok bisa begitu, ya…”
“Ya, dan ini berakibat buruk. Pembuatan album kedua dibatalkan. Duitnya ditarik kembali. Sialnya tidak bisa kamu berikan karena terlanjur dipakai buat beli macam-macam. Sialnya lagi, lantaran penampilan kamu di dunia nyanyi begitu jelek, prestasi bagus di dunia menulis jadi ikut-ikutan dicela. Fans kamu kabur semua, sambil mencaci-maki. Kami sedih. Kamu kehilangan gairah buat menulis lagi. Kamu putus asa. Kamu bingung harus ngapain.”
“Kalau begitu jadinya…”
“Ya, kalau kamu tahu bakal begitu jadinya, kamu pasti nggak bakal gegabah menerima tawaran menyanyi. Kamu nggak bakal tergiur menjajal dunia yang memang bukan bagianmu. Kamu pasti memilih setiap pada kavling tulis-menulis. Tapi ketika kamu sadar akan hal itu, semua sudah terlambat. Tak ada yang minta cerpen atau serial kamu, tak ada yang minta kamu jadi penceramah, soalnya resiko kamu nggak datang,  juga besar –mengingat kamu sering begitu waktu lagi ngetop-ngetopnya jadi penyanyi lipsync. Mereka sudah benci kamu…”
“Dan itu bikin aku ogah makan.”
“Ya, kamu nggak bisa menghadapi keadaan itu. Dari yang penuh sanjungan sampai sarat cacian. Kamu tidak sanggup…”
“Kenapa nggak ada yang memperingatkan aku sebelumnya?”
“Kamu kan punya hati nurani, Dit. Kenapa nggak dengar suaranya?”
“Aku…”
“Didit anakku, kamu terlalu besar kepala. Kamu yakin bahwa kamu bisa segala. Multi talented. Dit, di balik segala kebisaan yang kita punya, kita harus punya kesadaran untuk tahu diri dan tahu batas kemampuan. Kamu tidak punya itu. Lupa memikirkan itu. Kamu tak mau mengukur kehebatan dan kelemahan kamu. Sekarang ya, begitulah jadinya. Kenyataan terbentan dan kamu tak kuat menerimanya…”
“Seandainya saja…”
“Ya, seandainya saja kamu mau mendengar kata hatimu yang suaranya kian lemah itu, kamu pasti selamat. Kamu akan melenggang dengan karier besar sebagai penulis, masuk ke dunia yang lebih luas lagi. Kalau tak salah, seandainya kamu setia pada dunia tulis menulis, kamu bakal dapat beasiswa ke Amerika dan Jepang.Tapi lantaran kamu malang melintang tidak karuan, gila popularitas, maka semua itu tinggal dalam rencana orang saja. Malah belakangan tawaran itu diberikan pada penulis muda, yang selama ini kau anggap tak terlalu berbakat.”
“Aduh! Aduh!”
“K karena tahu keadaan yang menghadangmu bakal sangat jelek, Dia Yang Maha Tahu memberi jalan lain yang lebih baik. Kamu dipanggil sebelum jadi gila. Apa dampaknya? Ternyata kepergianmu di usia muda justru membuat namamu kembali disebut. Kau disanjung habis-habisan sebagai penulis muda yang luarbiasa. Sungguh mengherankan, karena kamu yang sudah mati menjadi lebih hebat dan lebih mashyur ketimbang masih hidup. Puja puji hebat yang tak akan kamu nikmati bila hidup sampai usia tua. Seharusnya kamu pahami itu, setuju dan bersyukur atas keputusan yang Dia berikan. Kamu mustinya berterima kasih. Dia sudah memberi yang terbaik buat kamu.”
Mata Didit tiba-tiba tampak berbinar. Ia melompat dan memeluk malaikat muda dan Bos Kecil. Selagi keduanya terperangah, Didit sudah berjalan keluar sambil sesekali melompat-lompat kegirangan.
“Hei! Hei! Mau ke mana, kau?” malaikat muda yang bertugas menemani Didit, mengejarnya.
“Thanks berat malaikat dan Bos Kecil! Thanks banget!” teriak Didit riang.
“Kamu mau ke mana?” tanya makhluk bersayap lebar itu ketika berhasil menyamai langkah Didit.
“Aku? Aku mau bikin puisi paling keren buat Dia yang paten. Aku mau bilang, aku senang tinggal di sini. Aku senang. Dia memberi aku jalan begini. Aku mengerti sekarang maksudNya…Hei, hei, tunggu! Apa tidak lebih baik aku buat majalah saja? Bagaimana? Setuju? Isinya tentang Dia! Dia saja. Biar semua tahu bahwa Dia hebat! Aduh, aku tergila-gila sekali padanya!”
Bos Kecil, dari kejauhan, menggeleng-gelengkan kepala, “Tergila-gila, katanya?” ia lalu tertawa. Malaikat kecil mendengar ucapan Bos Kecil. Ia tersenyum lebar. Sayapnya mengepak-kepak. Senang.


not ours to know the reason why from loved ones we must part
not ours to know the reason why the anguish, strife and pain
but ours to wait for God’s own time
God’s own plan
be still my heart and murmur not.

Pernah dimuat di majalah Mode, Mei 1989

DUHAI

Sudah lewat tengah malam. Sebentar lagi langit akan benderang. Tetapi saya belum juga bisa memejamkan mata. Entah ke mana larinya rasa kantuk yang biasanya muncul buru-buru. Tempat tidur yang sore tadi spreinya masih licin, sekarang kusut. Dan kasur sempat mengintip ke luar. Jelek sekali.
Saya tidak mengerti mengapa bisa begini. Padahal tadi pagi, ketika mengusung barang masuk, saya sudah merencanakan untuk tidur lebih awal. Badan terasa lelah sekali.
Hari ini, gejolak gembira dalam hati sungguh tak terkira  Bayangkan! Setelah bertahun-tahun berbagi kamar dengan dua adik, baru sekarang inilah saya bisa merasakan punya kamar sendiri. Kamar yang bisa saya tempeli gambar idola tanpa ada yang protes. Kamar boleh disapu seminggu sekali, atau sesempatnya, atau seingatnya, tanpa harus diomeli penghuni yang lain. Tempat tidur boleh menghadap arah mana saja. Rasanya begitu sempurna. Kalau pun ada yang mengganggu, itu hanya karena saya harus bayaran sewa kamar.
Membayar? Betul, saya kos. Dan ini berarti untuk pertama kalinya saya tinggal terpisah dari orang tua. Saya mengikuti jejak Kakak. Sebenarnya dia yang mengusulkan agar saya mencoba mandiri (aduh!). Dia bilang, “Sudah waktunya Ade belajar hidup sendiri.”           
Usul ini langsung mendapat tentangan berat dari Ibu. “Hidup sendiri? Ah, yang benar saja! Dia kan masih kecil. Kalau ada apa-apa, bagaimana? Mau minta tolong sama siapa? Lagi pula dia kan baru masuk universitas. Kalau mau kos nanti saja, pas bikin skripsi,” begitu kata Ibu.
Tetapi Kakak malah kian gencar mempertahankan usul itu. Saya? Meski iba melihat Ibu terdesak, dalam hati saya setuju sekali pada usul Kakak.
“Bu, jangan selalu menganggap dia kecil. Nanti malah tidak besar-besar, lho.Kalau tidak diberi kesempatan belajar, kapan bisa dewasa dan mandiri? Lagipula kita kan sudah pernah mencoba dengan Ika (kakak saya). Semua lancar-lancar saja. Kenapa Ade tidak diperkenalkan juga dengan hidup terpisah?” itu ucapan Ayah. Saya amat sangat senang ia mendukung Kakak. Tetapi terus terang alasan yang menyala dalam hati saya bukan itu. Bukan!
Saya setuju sepenuhnya lantaran otak saya terlanjur membayangkan kamar yang bakal saya huni kelak. Kamar pribadi! Ah, alangkah indahnya kata-kata itu berdengung di telinga. Bukan main… Saya sedang siap-siap  melamunkan kegiatan di tempat kos, di kamar pribadi itu, ketika Kakak menepuk bahu saya dengan keras.
“Dari tadi kami ribut soal kamu. Bagaimana kalau kamu saja yang menentukan. Apa yang kamu mau? Kos atau tetap tinggal di rumah? Begitu saja, ya Bu?” katanya. 
Tak perlu ditanya dua kali, saya langsung berteriak, “Mau kos dong!”
Kakak tertawa senang. Ayah senyum-senyum. Ibu tampak masam. Sudut bibirnya agak melorot sedikit. Maaf, Bu. Tetapi sungguh saya ingin sekali punya kamar sendiri. Ingin sekali!
Seminggu lamanya saya berburu kamar kos. Maunya yang nyaman dengan tarif lumayan murah. Saya berkunjung ke tempat kos teman-teman, melihat kamar mereka. Aduh, mendadak saya merasa iri. Kamar mereka begitu terang, luas dan yang paling penting cuma diisi sendiri. Tak ada yang mengganggu (adik kembar saya yang lelaki itu luarbiasa nakal: setiap malam, saat mereka bertemu di kamar, pasti berkelahi, membuat kamar selalu tampak seperti kapal pecah). Tidak ada rebutan tempat menempel poster atau hiasan dinding. Kita punya hak untuk menentukannya sendiri! Luarbiasa! Luarbiasa!
Akhirnya, kamar ideal itu pun ditemukan: sebuah kamar mungil dengan pintu menghadap taman berumput. Jendelanya besar-besar dengan tirai kuning berbintik-bintik biru. Tempat tidurnya rendah dari kayu ramin. Ada lampu duduk untuk belajar. Saya ajak ibu juga ayah untuk melihatnya (kakak sudah terlanjur kembali ke Yogya, tempat ia kuliah sambil bekerja). Ibu diam saja tetapi bibirnya sudah membentuk huruf U. Ia senang dengan pilihan saya. Ayah? Tanpa banyak bicara, ia menyelipkan amplop. Uang kos untuk dua bulan sekaligus.
Sepulang dari Depok, ayah bilang begini, “Sebentar lagi, kau akan meninggalkan rumah ini, ya. Jangan-jangan, baru sebentar di sana, kamu sudah kangen. Maunya pulang terus!” Ayah menggoda. Kangen? Buru-buru saya menggeleng. Tidak mungkin.
Malam itu, mungkin karena terlalu senang, saya tak bisa tidur. Mata terus terbuka lebar. Dan karena lampu padam, yang bisa saya lakukan hanya menangkap bayang-bayang kamar yang saya diami selama ini.
Malam itu, saya baru benar-benar memperhatikan kamar yang saya diami selama beberapa tahun belakangan ini. Sebetulnya, ia tak pantas disebut kamar. Tiga sisi tripleks membentuk kubus dengan sisi keempatnya menempel di dinding rumah: itulah kamar kami bertiga. Pintunya –menurut ayah—memakai sistem pintu rumah Jepang yang digeser-geser itu. Tetapi prakteknya jauh dari teori sistem yang dimaksud. Dia selalu macet setiap kali saya terburu-buru membuka. Dan suara yang ditimbulkan ketika dibuka maupun ditutup: cukup bising. Jendela? Tak ada. Cukup lubang menganga yang diberi kawat nyamuk antara langit-langit dan tiga sisi tripleks tadi.  Bila hari baik, udara segar berhembus dari lubang itu. Kalau tidak, ya seperti sekarang ini: panas. Ingin rasanya membuka pintu sedikit. Tetapi saya tahu pasti apa yang bakal terjadi setelah itu: adik-adik saya akan berteriak, “Nyamuuuuk!” Dan salah satu dari mereka akan bergegas menutup –tepatnya membanting—pintu.
Kamar Ayah dan Ibu tak juga lebih baik. Yang berbeda hanya konstruksi pintunya saja: gaya Eropa yang daun pintunya memutuskan untuk membuka ke arah luar (Ibu bilang, seharusnya ke dalam, biar rejeki bisa masuk dengan leluasa). Berisiknya? Lebih gawat lagi. Setiap pagi, bila Ibu bangun untuk menyiapkan sarapan buat kami semua, serta merta mata kami terbuka juga. Terusik oleh bunyi gesekan pintu dan lantai. Juga derit engselnya yang minta diminyaki. Tetapi sedetik kemudian, setelah bunyi luarbiasa itu berlalu, kami terlelap kembali.
Lalu terbayang rumah tempat kamar kos saya di Depok sana. Begitu bersih. Terang. Malah boleh dibilang sedikit lux. Dindingnya putih bersih, membuat rumput di halamanmya tampak kian hijau. Berbeda sekali dengan rumah kami yang lebih mirip gudang raksasa (Kakak bilang kubus raksasa yang jatuh dari langit).
Di bagian tengah – tempat kami berkumpul, makan bersama dan menonton televisi – ada lubang besar berbentuk persegi panjang yang ditutupi lembaran seng plastik dan genting kaca. Sinar matahari leluasa masuk dari sana, membuat rumah terang benderang hingga ke sudut-sudutnya. Ada jendela besar di tembok depan dan belakang. Siang hari, angin menerobos masuk, menyegarkan. Malam hari, meski telah diberi tirai tebal di belakang kawat nyamuk, udara malam tetap berhasil menyelinap, membuat ibu bersin-bersin.
Itu belum apa-apa. Ketika musim hujan tiba, kubus besar yang penuh cahaya dan angin itu dipenuhi air.  Bila air dari langit mengucur terlalu deras dan lama, maka air akan menggenang di segenap penjuru. Ketika pertama kali mengalaminya, kami bingung karena tak tahu apa yang harus diselamatkan lebih dahulu. Semua sama pentingnya: buku, pakaian, mesin tik, piring dan alat dapur, koper dokumen … Tetapi sekarang sudah biasa. Perabot rumah sudah disesuaikan dengan keadaan. Air menggenang di segala ruang, tak apa. Tak ada yang terendam.
Beberapa teman yang rajin berkunjung (mereka cinta betul pada pohon jambu yang tak pernah berhenti berbuah itu) sempat mengalami peristiwa berkala itu dan mereka terpesona. Heran melihat air yang mendadak muncul dari sela-sela lantai. Mereka bilang, kami punya perusahaan mata air.
Memang, air yang menggenang dalam rumah itu bukan lantaran selokan tersumbat sampah. Tetapi air hasil rembesan bawah tanah yang muncul dari sambungan ubin. Kata orang, tanahnya sudah jenuh air. Karena jenuh itulah, air lama sekali baru surut, membuat kaki basah terus. Kalau sudah begini, adik kembar saya paling cepat masuk angin.  Kalau ingin cepat kering, kami harus rajin menimba air ke pekarangan. Tapi itu pun bukan pekerjaan sebentar. Belakangan ayah membeli pompa kecil, khusus untuk membuang air lebih cepat. Tetapi karena bunyi pompa itu luarbiasa keras (Ibu bilang, seperti ada helicopter di dalam rumah) kami kembali pada metode ciduk-buang. 
Sungguh, tiba-tiba saya merasa betapa parahnya rumah kami ini. Mengapa kami harus bertahan tinggal di tempat yang tak layak huni ini? Saya merasa ayah telah salah ambil langkah. Mengapa rumah seperti ini dipertahankan, sementara ada berjuta rumah baru bisa dibeli dengan system tukar tambah dan cicilan?Apakah karena ini rumah pribadi yang berhasil dibeli sendiri setelah sebelumnya mengontrak terus? Saya tak mengerti dan kepala saya jadi pusing karena panas yang kian mengganggu saja. Mengesalkan!
Pagi harinya, saya bangun dengan kekesalan memuncak. Saya kehilangan semangat untuk melakukan apa pun. Rasanya ingin meledak-ledak saja. Tetapi siapa yang harus dimarahi? Dan dalam rangka apa? Pintu jepang itu berkali-kali kena sepak kaki saya yang mondar-mandir ke luar masuk kamar.
“Ada apa, De? Pagi-pagi sudah ngamuk begitu? Mimpi apa semalam?” tanya ibu seraya menjawil bahu saya.
Saya juga jadi kesal pada Ibu. Mengapa ia setuju saja dengan pilihan ayah atas rumah ini. Saya yakin Ibu punya selera yang baik.
Memang rumah ini sudah jauh lebih baik ketimbang kami pertama kali melihatnya. Ayah membelinya dari seorang teman yang pengusaha. Entah salah hitung di sebelah mana, pada suatu hari, pengusaha itu jatuh pailit. Satu persatu hartanya dijual. Termasuk yang satu ini. Harganya murah, begitu kata ayah waktu itu. Ketika pertama kali melihatnya, saya dan kakak langsung berpandang-pandagan dengan senyum sangat lebar. Rumah ini begitu berbeda dengan tempat tinggal kami saat itu (rumah kontrakan) yang sangat sempit (Kakak menyebutnya gua, karena lebarnya tak seberapa, tapi panjangnya bukan main dan langit-langitnya rendah sekali). Pagarnya rendah, dipadati rumpun melati. Di sudut halaman ada pohon jambu air yang buahnya bergelayutan  di setiap tangkainya. Ayah –waktu itu bilang—rumah ini tidak sempurna. Pembagian ruangannya tidak jelas. Butuh penataan. Sayangnya, meski sudah diupayakan siang malam oleh ayah dan ibu, rumah ini tak juga sempurna. Perubahan tak memberi hasil menyenangkan hati. Tetap saja seperti kubus besar. Ajaib. Harusnya dirobohkan saja. Lalu buat bangunan baru yang rancangannya pas, bagus. Dan yang paling penting, tak lagi menghasilkan seribu mata air di musim penghujan!
Aduh! Kaki saya menabrak pintu jepang itu lagi. Sekali ini ibu jari terasa meradang. Sial! Sayamengaduh. Mengumpat. Didengar ibu.
“Ada apa, De? Dari tadi ngomel terus. Makanya lihat jalan. Jangan nubruk-nubruk. Cari apa, sih?” tanyanya.

“Heran, rumah kok tidak karuan begini. Pintu susah dibuka. Panas. Banyak nyamuk. Mustinya dihancurkan saja.”
“Hus! Kamu ini bicara apa? Enak saja menghancurkan rumah. Kamu kira itu gampang? Bangun dan menghancurkan sama ruwetnya. Sudah bagus punya rumah. Jelek-jelek milik sendiri. Apa sudah lupa waktu kita masih kontrak? Setiap tahun Ayah dan Ibu deg-degan memikirkan rumah, uang sewa yang selalu naik,” suara ibu makin tinggi dank eras.
“Ya, Bu. Tapi masak sih ayah tidak bisa mendandani rumah ini jadi sedikit lumayan? Malu kan sama teman-teman! Dijual sajalah, Bu. Terus kita beli rumah real estate. Tipe kecil saja, Bu.”
Ibu mencubit lengan saya. Sakit juga. “Kamu ini kalau bicara sering tidak dipikir. Lupa ya, siapa yang dulu lompat-lompat waktu dibawa ke sini. Bilang ini rumah idaman. Indah. Seperti di buku-buku. Siapa coba?”  telinga saya terasa menghangat. “Kamu juga musti ingat, dari uang yang ada, cuma rumah ini yang bisa dibeli. Diperbaiki kan sudah. Tapi ya harus sedikit-sedikit. Uang ayah dan ibumu ini tidak banyak. Untung kakakmu itu sudah bisa kerja-kerja sambil kuliah. Jadi tidak perlu kirim uang ekstra ke Yogya. Tapi kan masih ada kamu, adik-adikmu… tabungan buat rumah, tentu harus dikalahkan kalau ada perlu untuk kalian…”            
Dari wajahnya saya tahu Ibu akan terus bicara. Sementara saya belum berhasil meredam kekesalan yang tak menentu ini. Maka saya putuskan untuk perlahan-lahan menyingkir. Sya bergegas masuk kamar lagi. Saya pandangi tempat tidur yang kini penuh tumpukan pakaian – yang akan saya angkut ke tempat kos. Tiba-tiba ingin saya lempar saja semuanya ke segala arah. Kamar ini berantakan sekali! Pengap! Bau apek! Bah!
“Adeeeee!” Ibu berteriak memanggil saya. Dia tahu saya telah melakukan hal yang tak terpuji. Braaak! Pintu jepang terbuka. Dan tampaklah wajahnya yang murka.
“Kamu kenapa, sih? Itu baju bersih! Kalau kotor, kamu cuci sendiri. Heran, tidak ada hujan angin, ngamuk tidak karuan. Coba saja lihat, kalau ayahmu pulang, ibu akan laporkan. Biar dia cabut ijin kos mu itu. Kamu ini memang aneh! Kadang-kadang, ibu betul-betul tidak bisa mengerti kamu! Kok ya….”
“Ah, sudahlah, Bu!” terus terang saya paling tidak suka mendengar ocehan Ibu. Dia sangat suka berpanjang-panjang. Sekali mulai, sulit berhenti. Mau masalah besar, kecil, pasti ia tak bisa sebentar bicara.
Saya beranjak pergi, meninggalkan Ibu yang masih mengoceh di kamar yang sudah kembali jadi kapal pecah itu. Ibu tampak jengkel sekali. Pasti. Malam harinya, saat makan bersama, ibu mulai berkisah tentang kejadian siang tadi pada ayah. Ingin sekali rasanya lenyap ditelan bumi. Saya benci rumah ini. Saya kiesal pada ibu yang gemar mengadu pada ayah. Saya kesal pada ayah yang tak pernah mendengar cerita saya. Selalu ibu jadi mahluk paling benar di rumah ini. Pun saya jengkel pada dua adik yang tertawa cekikikan melihat saya mati kutu. Saya ingin kakak saya ada di sini. Membela saya. Dia gemar tarik urat. Melawan arus ayah dan ibu. Dan ia sering menang.
Hari-hari berikutnya lewat tanpa kesan, kalau tak boleh dibilang menjengkelkan. Cuma satu hal yang membuat saya merasa agak gembira: hari keberangkatan saya menuju tempat kos kian dekat.  Koper kecil sudah berulang kali mengalami bongkar pasang. Pakaian silih berganti masuk dan keluar. Catatan di tangan yang berisi daftar barang bawaan setiap hari semakin panjang saja. Betapa banyak yang harus diboyong.
Hubungan saya dan ibu ternyata cepat membaik. Ia ikut semangat membantu saya. Cuma saya yang kurang suka. Maunya semua saya lakukan sendiri. Saya tak ingin ada yang ikut campur. Juga ibu. Buat saya, ia lebih banyak mencela ketimbang membantu. Sungguh, saya ingin segera pergi! Saya ingin menjelang hidup mandiri itu. Oh, segeralah tiba! Segeralah!
Dan hari itu pun tiba juga. Hari ini. Ayah dan ibu mengantar. Adik kembar saya tinggal di rumah. Menolak ikut, karena mereka yakin itu akan membuat saya makin besar kepala saja. Sial! Sambil menutup pintu gerbang, melepas saya, mereka tersenyum lebar, hingga seluruh deretan gigi terpampang lengkap!  Pasti karena bahagia bisa memiliki kamar itu untuk berdua saja.  Depok terasa begitu jauh. Bilakah tiba?
Dan inilah yang terjadi selanjutnya” tanpa buang-buang waktu, saya minta ayah dan ibu segera pulang. Saya tak ingin teman-teman kos melihat saya di antar ayah ibu. Oh, saya jamin mereka akan senyum-senyum penuh arti kalau sampai tahu. Saya akan dicap anak kecil yang takut memulai hidup sendiri. Ah, sembarangan! Mereka yang ingin mengantar, bukan saya yang meminta. Sumpah!
Ibu bilang, ia tak mau langsung pulang. Ia ingin mengatur sedikit-sedikit. Tetapi dengan gigih saya menolak. Cukuplah kedatangan yang dikawal orang tua jadi bahan senyum. Jangan ditambah lagi dengan atur-mengatur kamar. Saya bisa sendiri. Bisa! Aduh, percayalah!
Mereka, ayah dan ibu, akhirnya pulang setelah saya paksa. Setelah mereka tak lagi tampak, dengan sigap saya membuka koper dan mengeluarkan segala isinya. Ternyata pakaian yang saya bawa terlalu banyak untuk lemari plastik ukuran mini. Terpaksa saya tumpuk di sisi tempat tidur. Kelihatan jelek sekali. Berantakan. Saya pindahkan ke meja tulis, lebih buruk lagi hasilnya. Akhirnya saya tumpuk begitu saja di samping lemari, beralaskan Koran. Masih jelek, memang. Tetapi saya sudah kehabisan akal, tak tahu harus diletakkan di mana lagi. Dan saya kelelahan. Padahal lantai masih kotor, perlu disapu dan dipel. Aduh!
Meminjam perlengkapan milik teman di kamar sebelah, saya menyapu. Lalu mengepel. Kalau ada yang bilang dua pekerjaan ini mengasyikkan, ia pasti seorang penipu besar! Menyapu tidak menyenangkan. Pintu ditutup, debu tak bisa menerobos keluar kamar. Pintu dibuka, debu kembali menyebar tak terkendali. Terlalu banyak air, membuat kamar becek. Terlalu sedikit air, lantai terasa lengket. Mengepel dengan kaki sebagai tangkai, membuat kain terlipat dan bidang yang dibersihkan jadi tidak jelas. Mengepel sambil jongkok, membuat pinggang mau patah. Saya kehabisan napas. Sementara badan terasa lelah, mata berat. Memaksa untuk tidur.
Habis mandi, saya setujui isyarat badan dan mata: tidur. Tetapi –ya seperti saya bilang tadi—mata tetap saja membelalak. Tak mau terpejam. Ajaib!
Jam berapa sekarang? Ah, jam tangan tertinggal. Jam dinding apalagi. Yang pasti sudah sangat larut. Teman-teman sudah tak terdengar lagi suaranya. Saya membalik-balik badan di tempat tidur. Di luar, angin meniup agak kencang. Tirai jendela yang manis, bergerak-gerak. Seperti apa keadaan di luar, di halaman rumput yang terhampar persis di depan kamar saya? Entah. Ada suara binatang mengerik. Mungkin itu yang dimaksud oleh ayah dengan tenggoret. Saya tak ingin tahu.
Tiba-tiba saya ingin buang air kecil. Ah, mengapa saya tak memilih kamar yang ada toilet di dalam? Kamar kecil milik bersama letaknya jauh di belakang rumah. Rasa itu semakin mendesak saja. Tetapi saya sama sekali tak ingin keluar. Tidak bisa. Tiba-tiba saja kaki saya terasa dingin. Lantai lebih dingin lagi. Pintu kamar terasa begitu jauh dari tempat tidur. Tirai jendela menari kian hebat. Sedikit tersingkap. Angin menyelinap masuk. Saya menggigil kedinginan. Tetapi selimut ada di dalam lemari dan untuk mengambilnya, kaki terasa lemas. Tak bisa bergerak. Tirai yang terlanjur tersingkap tak mau kembali ke posisi semula. Saya ingin membetulkan letaknya, tetapi bagaimana kalau tiba-tiba wajah tak dikenal muncul di baliknya? Menyeringai pula? Aduh! Bantal yang keras dan besar ini tiba-tiba terlalu sempit untuk menutupi wajah saya. Lampu kamar terlalu suram untuk mengusir kegelapan.
Matahari, matahari, di mana kau? Terlambat datang hari ini? Saya ingin hari segera menjadi siang. Terang. Saya ingin pulang saja! Ya, pulang. Saya benci jantung saya: dia berdebar semakin keras saja. Saya  benci kaki saya: mereka menggigil kedinginan. Saya benci gigi saya: mereka menggigiti kuku hingga terasa perih. Saya benci pada rasa mendesak di bawah sana: jangan-jangan sudah membuat seprei lembab (atau sudah basah?). Saya benti mata saya: mereka mengeluarkan air mata.
Saya ingin keluar dari ruang ini. Dari lingkaran tirai kuning berbintik biru. Saya ingin ada Ibu di sini. Mengoceh dan mengomel tentang kamar yang terasa makin gelap saja. Saya ingin menjentik perut ayah yang gembul. Saya ingin mendengar cekikik iseng adik-adik saya itu. Saya ingin berada di kamar yang panas itu, yang pintu jepangnya selalu macet, yang bau apeknya menempel sampai ke dinding dan tripleks. Saya ingin dikejutkan oleh tendangan kaki ibu pada pintu Eropa, yang menandakan pagi sudah tiba. Air menderas. Seprei basah. Duhai!


Pernah dimuat di majalah GADIS, Agustus 1990

Saturday 28 August 2010

Minggu, Dini Hari...


            Sabtu malam. Atau mungkin tepatnya,Minggu pagi. Aku dalam perjalanan pulang setelah lebih setengah malam kuhabiskan dengan Iim, Pon, Suket memacu mobil di jalan raya, di wilayah kuningan. Masih terasa terpaan angin dingin seperti menyilet pipi, derung dengungan mesin yang kami pacu sekencang-kencangnya pun masih mengiang di telinga. Aku ingat tadi kami tertawa terbahak-bahak melihat beberapa waria terpaksa memeluk tiang lampu jalan dengan mulut terbuka dan tamborin yang bergoyang di lengannya yang gemetar. Iim bilang, kejutan seperti itu perlu untuk mereka.
            “Biar tahu kalau di dunia ini ada juga yang rame, yang bikin jantung rontok!” kami lalu tertawa terbahak. Seingatku, kami tadi tertawa cukup banyak dan lama. Mungkin banyak yang lucu terjadi. Aku tak ingat lagi.
            Suket usul, minggu depan kami pindah lokasi. Katanya, siapa tahu ada razia. Belakangan ini beberapa koran sibuk membahas acara adu cepat ini. Apakah berita Irak dan Amerika Serikat tak seru lagi sampai kegiatan sekecil ini jadi pokok bahasan koran?
            Kepalaku agak pening, sebenarnya. Mungkin terlalu banyak minum bir atau entah apa namanya yang dibawa Pon dalam botol plastik. Asyik memang teman yang satu ini. Urusan logistik tak pernah ia lupakan. Kami berempat selalu kecukupan. Setidaknya untuk yang satu itu.
            Mobilku berhenti di lampu merah, di bawah jalan laying. Sepi. Minggu lalu di tempat yang sama, aku selalu melihat seorang anak lelaki duduk sambil memutar-mutar lap kotor di tangan. Mungkin memang di sinilah tempat ia biasa mangkal. Aku ingat caranya menatapku. Tak berkedip. Aku ingin turun dari mobil dan menghajar kepalanya yang licin itu. Tapi terpaksa kuurungkan. Entah mengapa, tiba-tiba saja, saat itu –seingatku—aku merasa kedinginan.
            Malam ini, aku langsung menoleh ke tempat ia biasa duduk. Dia ada di sana. Bertelanjang dada, sementara tangannya masih juga memutar-mutar kain lap kotor. Kali ini aku ingin melihatnya lebih jelas lagi. Kulihat matanya yang kecil menatap lurus ke arahku. Dia tak semuda yang kukira. Mungkin sedikit lebih tua dariku. Tubuhnya agak pendek. Kerempeng. Tanpa alasan yang jelas, aku menggigil. Dingin. Aku menyesal memilih jalan ini. Lampu merah menyala terlalu lama, dan anak itu… ia telah berdiri tegak dan berjalan ke arahku. Cepat. Cepat sekali! Aku mencoba menjangkau tombol penutup pintu. Tapi ia lebih cepat lagi. Dalam sekejap bersama dengan bergantinya nyala lampu lalu lintas, ia telah duduk di sampingku. Aku, merusaha mendorongnya ke luar. Tapi anak itu kuat sekali. Terlalu kuat, bahkan. Tangannya yang kurus mencengeram pergelangan tanganku. Keras sekali. Sementara bau badannya begitu menusuk. Tubuhnya cepat bergerak menindih bahuku.
            “Jalan!” katanya setengah mendesis. Matanya seperti siap menerkamku. Ia melepaskan cengkraman tangannya dan memindahkan serbuan tangan kanannya ke leherku. Sementara tangan kirinya merogoh sesuatu. Aku merasa ada benda dingin dan tajam mendesak di wilayah ulu hati. Aku mencoba melirik. Dia berdecak, “Garpu. Karatan,”  ia mendesis lagi. Aku tahu, aku cuma punya satu pilihan:  mengikuti perintahnya, menjalankan mobil ini. Kemana? Aku tak tahu dan tak berani bertanya. Seperti ada bola besar yang menyangkut di saluran suaraku. Mulutku kering. Dari kaca spion kulihat jalan sepi. Di belakangku tak ada mobil lain. Kepalaku semakin pening. Aku mau muntah.
            “Jalan aja ke rumah situ…” ia berbisik. Cengkeraman tangannya terasa mengendur. Tapi garpu karatan itu masih menempel di tempat yang sama. Bahkan kian menekan.
            “Enak ya, naik mobil,” katanya sambil menyeringai. Mukanya tak menjadi lebih baik dengan seringainya itu. Giginya yang besar-besar menyeruak dari balik bibir tebal kehitaman.
            “Mobil bagus,” matanya melirik ke sana ke mari, menyelidik.
            “Hmmm…” aku mencoba menjawab. Tapi yang keluar hanya gumaman. Suaraku hilang tak berbekas.
            “Bisa lari nggak mobil ini? Kenceng?” ia menyorongkan wajahnya, dahi kami hampir bersentuhan. Mungkin beberapa tetes keringatku sempat menempel pada dahinya yang hitam penuh kerut…
            “Ini mobil kamu, he? He?”
            Aku buru-buru menggeleng.
            “Jangan cuma geleng-geleng! Ngomong! Kamu pikir aku apa? Garong? Aku bukan rampok! Aku cuma mau naik mobil! Aku mau naik mobil!” suaranya tiba-tiba memekakkan telinga. Ia berteriak kencang sekali.
            Aku terbatuk-batuk, mencoba mengeluarkan suara, “Bukan… bukan begitu… Ini mobil bapak saya…”
            “Bapak kamu kaya, ya...” suaranya kembali seperti desis. Aku tak tahu harus tersenyum, mengangguk, atau menggeleng…
            “Saya pengen kerja di pabrik mobil. Saya pernah sekolah. STM. Tapi cuma tiga bulan. Nggak ada duit buat bayar uang sekolah.”
            “Ooh…” hanya itu yang bisa kuucapkan.
            “Enak kalau bisa sekolah kayak kamu, ya! Bapak kaya, sekolah tinggi, dikasih mobil lagi…” rasanya air liurku terasa agak pahit saat tertelan.
            “Adik saya enam. Bapak jadi tukang abu. Dulu kerja di pabrik, jarinya kepotong. Nggak bisa kerja lagi. Susah.” Garpunya kini telah berpindah tempat ke atas dashboard. Ia memindahkannya sendiri.
            Susah cari kerja sekarang. Pengen antar koran, musti ada yang ‘njamin. Paling bisa begini, bersihin kaca mobil. Kalau nggak senang, kasih duit aja. Ntar juga berhenti… apalagi ikalau nggak pakai baju begini, banyak yang takut! Hehehehe…” Aku mengangguk-angguk, membenarkan apa katanya.
            “Kamu manggut-manggut kayak betet. Takut aku bunuh ya…” Ia tertawa kecil, tahu isi kepalaku.
            “Pernah lihat orang kelindas mobil?” Aku menggeleng.
            “Kasihan kalau belum mati. Muter-muter kayak ayam,” katanya, “Kamu pernah nabrak ayam?” Aku menggeleng lagi.
            Ia menggerakkan bahunya seperti orang kedinginan. Mungkin ia benar-benar kedinginan karena angin yang menerpa cukup keras dari jendela.
            “Kamu suka ngebut-ngebut kayak anak bandel-bandel itu?” aku tahu maksudnya. Aku memilih menggeleng sebagai jawaban pertanyaannya.
            “Saya bilangin ya… Jangan. Sudah banyak korban. Adik saya, mati satu. Ketabrak sama mobil yang adu balap di jalan gitu. Sial dia, nggak langsung mati. Muter-muter dulu kayak ayam. Darahnya ke mana-mana.” Aku betul-betul mau muntah! Aku tak tahan lagi. Tapi anak gila di sampingku ini terus saja bicara. Tak peduli. Kusorongkan kepalaku ke luar jendela. Ia tetap tak berhenti bicara.
            “Merah di mana-mana. Kasihan. Endang namanya. Sial bener…Padahal hari itu dia baru mulai dagang aqua. Eh, udah nabrak, orangnya kabur lagi! Mak jadi kayak orang gila. Seminggu kerjanya cuma lari-larian ke jalan, teriak-teriak,” suaranya merendah, “Kamu kayaknya orang baik. Moga-moga sampai tua jadi orang baik. Jadi orang kaya…” makin rendah dan melembut.
            Lalu sambil menarik napas panjang, ia mendekatkan kepalanya, “Kamu takut ya tadi?” Aku mengangguk. Aku memang ketakutan setengah mati. Sekarang memang sudah berkurang, tapi rasa ngeri masih menempel. Ia terkekeh, “Kalau kamu jahat, kalau kamu orang yang nabrak adik saya, ya kamu saya bunuh. Tapi saya tahu, kamu bukan orang yang nabrak si Endang. Kamu gampang takut. Cemen!” ia tertawa lagi. Lebih keras. Tampak barisan giginya sampai geraham yang paling tersembunyi sekali pun. Aku tersenyum kecut. Sial.
            “Siapa nama kamu?” tanyanya.
            “Aca,” suaraku seperti terjepit di tengah dua pipa besi berat.
            “Hahahaha… lucu! Kayak nama perempuan!” dia tertawa keras. Telunjuknya mengarah ke sebuah pohon di tepi jalan.
            “Berhenti deh di situ.” Mobil kuhentikan di tempat yang ia mau. Cepat ia membuka pintu dan melompat keluar.
            “Hati-hati. Jangan nabrak orang!” katanya sambil menyeringai. Lalu seperti ia naik ke mobilku, begitu pula ia menghilang di balik pohon. Secepat kilat.
            Aku menarik napas dalam-dalam. Sungguh aku berharap ini cuma sepotong mimpi yang muncul di saat kepalaku pening tadi, di lampu merah. Tapi semua begitu nyata.  Aku –ternyata—telah mencapai batas Timur kota Jakarta. Begitu jauh kami memicu mobil ini. Sekali lagi kutengok kegelapan di luar sana. Ia tak terlihat lagi. Hilang. Kututup jendela. Kukunci pintu dan kujalankan mobil. Aku mau pulang. Tak sengaja tanganku menyentuh tempat ia duduk tadi. Dingin. Tak mungkin. Seharusnya setipis apa pun badannya, pasti menyisakan sedikit rasa hangat di jok ini. Kuraba sekali lagi. Benar-benar dingin. Kucari garpu yang tadi ia letakkan di dashboard. Tak ada. Kecuali sepotong ranting kecil. Kering. Berbentuk garpu. Ketika kupegang, ujung-ujungnya yang rapuh berubah jadi bubuk, menghambur di telapak tanganku. Udara tiba-tiba beku. Ini bukan mimpi. Sungguh! Leherku masih merasakan bekas cengkeramannya. Juga ulu hati yang tadi sempat tertekan garpu berkarat.

*

            Sudah pagi, matahari muncul, aku benar-benar terjaga. Ada satu hal yang harus kulakukan dan tak bisa kutunda sedikitpun: menelepon Pon, Suket dan Iim. Acara minggu depan batal. Selesai. Buat selamanya. 






Pernah dimuat di Edisi Khusus - majalah HAI, 1993. 
Terima kasih kepada  Iies R. Sulaeman yang membuat cerita ini bisa selesai tepat waktu.

Friday 27 August 2010

Mbah 'Niti

Begitu saya menyebutnya. Karena itulah dagangan utamanya: Peniti. Dari yang kuning keemasan, berbagai  ukuran: sangat kecil, sampai yang besar untuk popok bayi.  Sebetulnya ia tak cuma jual peniti. Ada bola bekel dan bijinya; jepit rambut hitam untuk sanggul, gunting kecil yang bisa dilipat, gunting kuku mungil, obeng  untuk gagang kacamata. Kalau dipesan, dia bisa membawakan harnet, jaring rambut itu.  Atau perlu celengan semar?  Mbah menyediakannya juga.  Tetapi dari semua itu, peniti yang paling banyak.

Pagi-pagi benar, Mbah sudah bergerak dari kamar kontrakannya di dekat pasar Palmerah, menuju pusat Jakarta. Tujuannya: warung rokok di seberang Sarinah, tempat ia menitipkan dagangannya. Jam enam tepat, ia sudah duduk di emper Sekolah Katolik, di daerah Menteng itu. Ndeprok begitu saja, di atas lembaran plastik, terkurung di antara barang jualannya, sampai jam 12. Setelah itu pulang. Katanya, “Matahari sekarang panas, Nduk. Sudah pakai kudungan, tetap saja sakit kepalaku.” 

Dulu, ia sendiri punya warung rokok, dikelola bersama suami. Pada suatu hari, suaminya panas dingin.  Diberi obat demam tak mempan.  Akhirnya di bawa ke rumah sakit. Tak juga sembuh, meski sudah menginap lebih dari sepuluh hari.  Tak ada tabungan, warung rokok pindah tangan. Tiga hari setelah itu, suaminya tutup usia. Sakit apa, Mbah Niti? “Ndak tahu. Mungkin sudah umur,” jawabnya sambil membenahi tutup kepala yang meluncur ke bahu.  Dalam keadaan tak punya apa-apa, tetangganya memberi saran untuk jadi pengemis saja. Dijamin uang pasti ada setiap hari dan banyak pula. “Katanya, muka saya pas buat minta-minta,” katanya terkekeh.  “Tapi tidak tega minta-minta. Saya masih sehat gini, kok....” Lalu ia meminjam modal pada tukang rokok di Sarinah itu.  Dapat lima puluh ribu rupiah, habis dibelikan ini dan itu.

Mengapa tak jual rokok lagi, Mbah?
“Sebenarnya, dari dulu saya  ndak setuju jualan rokok. Ndak baik. Sekarang yang suka jualan rokok sudah tidak ada, saya jual yang perlu-perlu saja.” 
Peniti barang yang diperlukan, Mbah?
“Itu paling laris. Setiap hari ada saja perempuan-perempuan cantik dari kantor-kantor sekitar sini, cari peniti. Ya tak sediakan.”
Untuk apa, ya?
“Lha, baju cah-cah ayu  itu kan buka sana sini. Kalau banyak gerak, makin terbuka. Perlu peniti buat nutupi yang ngablak-ngablak itu. Sudah tahu buka-buka, kok dibeli tho?” Mbah terkekeh lagi, sementara tangannya membungkus belanjaan saya: peniti.