Wednesday 21 April 2010

Hari KARTINI: Tak Perlu Diperingati?

Wawancara (Imajiner) dengan RA. Kartini


Pagi adalah waktu yang tepat untuk bertemu dan bicara sambil minum teh. Ketika itu jam sarapan sudah lewat, sementara jam makan siang masih jauh. “Apa lagi yang ingin ditanyakan? Tidakkah semuanya sudah jelas? ” begitu kata Raden Ajeng Kartini ketika melihat saya mengeluarkan alat rekam dan buku catatan.

Hari kelahiran Raden Ajeng ditetapkan sebagai hari yang perlu diperingati sebagai hari besar oleh kaum perempuan.
Saya sangat terharu dan sebetulnya agak pekewuh juga melihat hari lahir saya dijadikan hari besar yang perlu diperingati dengan begitu meriah. Bahkan menyebut saya sebagai pahlawan sejati bagi kaum perempuan Indonesia. Sekali pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa apa yang saya lakukan akan mempunyai pengaruh besar bagi perkem¬bang¬an gerak perempuan Indonesia di kemudian hari.

Hari Kartini dirayakan di seluruh pelosok negeri. Perempuan segala usia, dari taman kanak-kanak sampai tingkat kantoran, merayakannya dengan serius.
Merayakan hari ulang tahun saya dengan serius? Itu yang sebetulnya agak mengherankan saya. Untuk apa?

Untuk merayakan tindakan dan pemikiran Ibu tentang perempuan, tentu.
Lewat surat-surat yang saya kirimkan itukah?

Betul, Ibu.
Ya, ya…. Kalian melihatnya sebagai karya besar, ya. Tetapi sebetulnya, surat-surat itu tidak pernah saya bayangkan akan diterbitkan. Saya menuliskannya untuk sahabat saya, Rosa Abendanon. Kami dekat dan saya ingin bercerita kepada seseorang yang saya anggap bisa mengerti apa yang mengganggu benak saat itu. Juga kepada Estelle Zeehandelaar. Dengannya saya banyak berdiskusi tentang kondisi perempuan pada saat itu. Mengapa perempuan Jawa harus taat pada kungkungan adat, tak bisa bebas duduk di bangku sekolah. Dipingit, dinikahkan dengan lelaki yang tak dikenal. Bahkan kemudian bersedia dimadu. Buat saya, ketika itu sangat mengherankan dan mengganggu sekali. Tetapi tentu saja pertanyaan itu tak bisa saya ajukan kepada orang tua sendiri, atau suami saya. Tidak mungkin. Satu-satunya tempat bertanya –yang saya lihat saat itu—adalah sahabat-sahabat saya. Berada di lingkungan berbeda, latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda, membuat mereka bisa menjadi tempat pengaduan dan bertanya buat saya. Bahwa kemudian semua itu dianggap sebagai karya yang besar, itu bukan upaya saya. Itu upaya pemerintah dan tentu saja keberanian JH Abendanon.

Ibu terlalu merendah.
Tidak, tentu tidak. Kalian –perempuan Indonesia saat ini—harus bisa melihat tulisan saya dari konteks waktu, lokasi dan status. Saya menulisnya pada akhir abad 19, di Jawa Te¬ngah, dengan status putri bupati. Di jaman itu, perempuan sulit bergerak bebas. Di Jawa ada banyak aturan yang mengikat perempuan untuk tidak begini, tidak begitu. Dan sebagai putri bupati, saya harus menurut pada rencana keluarga: berhenti sekolah dan menikah. Tidak bisa ditawar. Itu yang saya alami.

Namanya tentu bukan Kartini, Bu.
Dan memang tak perlu Kartini. Karena saya tahu, pada saat yang hampir bersamaan, di seluruh Indonesia muncul perempuan-perempuan yang maju dan bertindak. Mulai dari mengangkat senjata sampai mendirikan sekolah buat perempuan. Lihat itu Tjoet Njak Dien, Dewi Sartika…

Benar, Bu. Tetapi hari Kartini tetap penting buat kami.
Benarkah? Mengapa penting buat kalian? Saya tidak melihatnya demikian….

Penting, karena kehadiran Kartini mengingatkan kami untuk mensyukuri hal-hal yang bisa kami lakukan sekarang.
Kalian melihatnya begitu? Saya justru melihat sebaliknya. Saya melihat perayaan hari Kartini sebagai keriaan belaka. Seperti yang tadi dikatakan, dari taman kanak-kanak sampai kantoran, berlomba-lomba berkebaya, bersanggul. Lomba memasak, lomba menari, lomba ini, itu. Banyak. Bukan hal yang salah, tetapi saya pikir kegiatan seperti itu bukan cerminan dari rasa syukur kalian atas kemajuan yang telah diraih hari ini.

Saya tidak ingin hari Kartini dirayakan. Tetapi kalau kalian ngotot untuk merayakan, saya pikir kegiatannya harus sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi kalian sendiri.

Hari Kartini bukan hari Kebaya.
Tepat. Pemikiran bahwa hari Kartini harus dirayakan dengan kebaya dan sanggul adalah suatu pikiran yang tidak pada tempatnya. Sangat kuno. Berkebayalah kapan saja kalian mau. Itu pakaian nasional kita bukan? Apakah memang kalian merasa perlu hari khusus untuk berkebaya dan bersanggul? Rasanya tak sedangkal itu.

Jadi Perayaan Hari Kartini …
Adalah perayaan yang salah jurusan. Bukan sesuatu yang perlu dipelihara oleh perempuan modern dan berpikiran maju seperti kalian.

Ibu, kami tetap merasa perlu merayakan Hari Kartini.
Merayakan hari Kartini… (RA.Kartini mengambil cangkir berisi teh manis. Meneguk sekali, dua kali. Diam sejenak, lalu meletakkannya kembali di tempat semula.) begitu pentingkah itu buat kalian? Buat perempuan Indonesia?

Sangat penting, Ibu.
Hmmm, bila memang demikian, mungkin kalian harus merenungkan dan memikirkannya dengan sungguh-sungguh, apa yang ingin dirayakan. Apa yang ingin disyukuri.

Bila Hari Kartini menjadi peringatan kebangkitan perempuan, kemajuan perempuan di berbagai pihak, maka buatlah kegiatan sesuai dengan semangat itu. Apakah kegiatan berkebaya, lomba masak, lomba bersanggul, lomba sepeda hias adalah cara yang tepat? Saya melihatnya sebagai kegiatan yang artifisial, fisikal.

Berarti perayaan Hari Kartini selama ini sudah salah kaprah.
Bila tujuannya merayakan kemajuan wanita, saya rasa kegiatan yang dilakukan selama ini (berkebaya dan bersanggulan), bisa disebut begitu (salah kaprah). Mungkin perlu dipikirkan untuk tidak lagi merayakan Hari Kartini.

Nuwun sewu, Bu… Hal itu tidak ingin dan tak akan kami lakukan.
Jangan terlalu emosional, Dik. Dengarkan saya dan coba pikirkan…. Bila perempuan memang mensyukuri segala kemajuan yang telah dicapai hari lepas hari, maka usul saya, setiap hari harus menjadi hari penting. Rayakan setiap hari dengan membuat langkah-langkah baru. Lalu bidik hari berikutnya dan jadikan catatan penting dalam hidup. Hidup penuh arti. Begitu maksud saya.

Setiap hari menjadi hari penting buat perempuan, Bu?
Ya, jadikan setiap hari sebagai hari yang penuh manfaat buat diri sendiri, buat sesama perempuan. Jangan ragu untuk maju. Jangan juga menghalangi gerak perempuan lain untuk menjadi lebih baik dan lebih maju. Mau sekolah lagi, silakan. Mau jadi menteri, mari. Mau jadi guru di pelosok, ayo! Lakukanlah apa saja yang bisa membuat kalian bangga menjadi perempuan. Lupakan hari khusus berkebaya dan bersanggul. Artifisal sekali. Apa esensinya?

Setiap hari menjadi Hari Kartini.
Atau hari Yuliana, Hari Tuminem, Hari Sumiyati, Hari Tiurma… Setiap hari perlu dicatat dan disyukuri. Tak perlu Hari Kartini. Semoga paham maksud saya, Dik.

Ibu memang luarbiasa. Terima kasih, Bu.
Tidak, kalian yang luarbiasa. Sudah jauh kalian berjalan. Sudah banyak catatan yang kalian buat. Sudah harum nama kalian, perempuan Indonesia. Saya yang berterima kasih, Dik. Ayo, teh-nya, mungkin sudah mulai dingin....


Reda Gaudiamo

Ditulis dalam rangka hari Kartini, 2007

Sunday 11 April 2010

BAPAKKU

Kalau suatu hari nanti kalian melewati jalan raya Semarang – Solo, bisa dipastikan kalian melewati rumahku. Ya, di sebelah kanan jalan, sekitar lima kilometer menjelang masuk Kartasura.Sebuah rumah kecil yang sering tertutup oleh deretan truk yang istirahat makan malam. Di atas pintu masuknya, ada tulisan: Terima wanteks pakaian & jahit kebaya. Itu usaha ibuku sehari-hari. Keahliannya adalah menghitamkan pakaian. Kalau wanteks lain akan mudah luntur dan kemudian berubah jadi abu-abu –mbladus—maka hasil karya ibuku tahan sampai kain itu sobek dengan sendirinya karena termakan usia. Soal jahit kebaya, ibuku jagonya. Sampai Bu Carik saja minta dijahitkan oleh Ibu. Khusus untuk beliau, Ibu sering memberi bonus berupa bordiran di tepi-tepi lengan.

Teras rumah kami sebetulnya enak dipakai buat duduk-duduk. Tetapi jarang ada yang melakukannya. Kami -aku dan adik-adik- punya kesibukan sendiri. Fajar, misalnya, lebih suka bertandang ke rumah temannya di samping warung soto Yu Darmi.Fauzi, memilih belajar bahasa Inggris di rumah Pak Carik. Ani, lebih suka menonton televisi. Aku, sering menghabiskan waktu di rumah Si Mbah, di Utara jalan, di belakang mesjid besar. Kasihan Mbah, kedua matanya sudah lama buta. Dan ia ngotot tak mau tinggal bersama kami. Ramai katanya. Teras baru benar-benar terpakai untuk ngobrol dan makan angin kalau Bapak pulang. Itu terjadi seminggu dua kali ketika ia sedang dapat libur. Ia bekerja sebagai supir bus malam.

Aku ingat betul, ketika masih kecil, semua bus malam yang lewat depan rumah pasti kuberi salam, lambaian tangan yang hebat dan seru. Suaraku yang nyaring mengiringi deru bis yang melaju, “Pak! Pak! Hati-hati, ya! Oleh-oleh, Pak!” Bapak sendiri kalau lewat tak pernah mempelambat laju busnya. Pernah Ibu usul, bagaimana kalu setiap kali lewat depan rumah, Bapak membunyikan klakson. Bapak bilang, “Buat apa? Bikin repot dan bisa-bisa mobil di depanku tidak terima!” Soal oleh-oleh, biar setiap kali kuminta, ia tak pernah membawa apa-apa untukku. “Minta sana sama ibumu,” begitu katanya selalu. Bapak tak pernah banyak cerita pada kami. Kalau ditanya soal situasi di jalan, dia cuma menggumam, tidak jelas. Paling banter dia bilang, “Ya begitulah.” Sudah. Tidak lebih. Tidak seperti bapaknya Yono. Cerewetnya bukan main. Semua teman anaknya diajak guyon. Rumahnya selalu ramai.

Ibu, seperti ibu teman-temanku yang lain, bawel. Sebentar-sebentar teriak. Sebentar-sebentar menyuruh ini, itu. Kalau di dapur, mulutnya bergerak pula, bercerita tentang kejadian di pasar, atau pengajian atau langganannya yang minta celupan warna aneh-aneh.

Diamnya Bapak sebenarnya kurang menyenangkan hati. Agak mengganggu, tepatnya. Banyak yang ingin kutanyakan padanya dan itu tak bisa diwakili Ibu. Aku ingin tahu seperti apa Jakarta itu. Cerita orang begitu seru. Apa iya sehebat itu? Mestinya Bapak paham sekali akan kota yang bisa ia kunjungi dengan teratur itu. Tapi Bapak tetap tidak mau bicara banyak. Omongan terpanjang tentang Jakarta yang pernah kudengar cuma yang satu ini –waktu itu aku tanya soal kejahatan di Ibu Kota, “Yang namanya orang jahat itu di mana-mana ada. Jakarta ya ada. Jahatnya orang sini, ya pas buat orang kampung. Jahatnya maling Jakarta ya pas sama orang Jakarta juga.” Sudah. Aku tak mengerti maksudnya. Ketika aku mencoba minta penjelasan, dia sudah mengatupkan mata. Tidur. Pulas. Mendengkur pula. Aku kapok bertanya.

Terus terang, sebenarnya aku ingin Bapak ganti pekerjaan. Kalau bisa, aku ingin Bapak bekerja jadi pegawai negeri. Tetapi itu tidak mungkin. Aku tahu. Musti daftar, musti bayar, musti ini, itu. Banyak. Makan uang, makan waktu dan sudah bukan jamannya lagi buat Bapak. Kalau jadi pegawai negeri tak mungkin, ya kerja apa saja, yang penting jadi orang kantoran. Dengan bekerja seperti orang kebanyakan, Bapak bisa setiap hari ada di rumah. Ibu tidak perlu gelisah bila sudah seminggu Bapak tidak pulang. Dan yang paling penting, nama julukanku bisa lenyap. Di sekolah yang mana saja, begitu ada yang tahu pekerjaan Bapak, pasti namaku berganti dengan sendirinya. Putra Klakson Jaya, Tenggelam Indah, Eksekuteeep, adalah beberapa nama yang melekat padaku. Menjengkelkan sekali. Mulanya aku marah besar ketika mereka mengganggu dengan sebutan yang terasa sangat mengejek itu. Tetapi setelah perkelahian yang hanya membuahkan luka di sudut bibir dan jeweran keras di telinga dari guru dan Ibu di rumah, kuputuskan untuk belajar menganggap sepi julukan itu. Berat, tapi harus bisa.

Aku pernah usul pada Ibu, untuk minta Bapak mempertimbangkan pekerjaan lain. Tapi serta merta ibu mematahkan harapanku. “Dari kamu belum ada sampai Fauzi lahir, Bapakmu sudah kerja macam-macam. Dari buruh batik, pegawai negerik, pegawai swasta sampai dagang kacan dan ikan asin. Semua sudah dijalani. Tapi tidak ada yanghasil. Baru setelah jadi supir bus malam ini rumah jadi beres. Televisi, radio, mesin jahit… Semua bisa dibeli setelah Bapak jadi supir.” Sejak itu aku tak lagi mengungkit-ungikit masalah profesi Bapak di depan Ibu. Apalagi sampai punya niat mengusulkannya pada Bapak. Meski jujur saja, harapanku suatu hari kelak Bapak berniat ganti pekerjaan, tetap menyala. Dengan Bapak menjadi supir bus malam ini, saya tidak bisa cerita banyak tentang dia. Tepatnya, tak ada yang bisa dibanggakan. Jangankan berbangga, baru buka mulut saja, sambutan berupa tiruan bunyi klakson bus malam sudah terdengar dari mulut teman-teman di sekolah. Lagipula, apa hebatnya jadi supir bus malam? Tak ada yang bisa dikagumi. Sepanjang malam hanya melihat jalan raya, polisi, macet di jembatan sempit. Kalau pun ada yang sedikit seru, paling-paling tabrakan antar bis, dengan truk, masuk jurang. Itu pun lebih mudah dan lengkap dibaca di koran. Bukan dari Bapak.

*

Hari ini aku mulai menikmati libur kenaikan kelas. Sejak pagi kulihat kesibukan rutin kembali berlangsung di rumah. Ibu tengah menyiapkan bekal untuk Bapak: kacang goreng bawang, garang asem, nasi lliwet dan teh manis di jerigen plastik. Bapak memang tak suka makan di restoran. Bapak sendiri sudah berangkat ke terminal. Katanya mau mencari Dullah, keneknya. Kemarin dia sakit, kalau belum sembuh juga, berarti Bapak harus mencari pengganti. Lewat tengah hari Bapak kembali. Mukanya kusut. Dullah masih sakit, tak ada cadangan yang bisa diajak jalan.
“Apa tidak bisa pinjam keneknya Sarmud, Pak?” tanya Ibu. Bapak menggeleng, “Dia juga cuma punya satu. Si Yapto sih ada. Tapi kan tetap butuh kenek. Masak supir jaga disuruh begadang. Masuk jurang nanti…” Bapak menghela napas panjang. Ia duduk menjulur di kursi tamu. Kulihat wajahnya yang kebingungan. Tangannya terus-menerus menguisap dahinya yang berkeringat dan berkerut-kerut.

“Pak, aku saja yang jadi kenek, ya…” tiba-tiba saja aku sudah ada di samping Bapak dan mengucapkan tawaran yang aku sendiri takjub mendengarnya. Aku menawarkan diri! Ini pasti hasil kerja alam bawah sadarku yang sudah tak terbendung lagi untuk melihat Jakarta.

Bapak langsung duduk tegak. Tak percaya. Ia tertegun sebentar sebelum akhirnya menggeleng. Tak setuju.
“Kenapa, Pak? Paling kerja kenek can cuma bagi-bagi makanan, aqua, selimut dan pasang video… “
“Nanti kalau ada pemeriksaan, bagaimana?”
“Ya, jangan sampai kena, tho Pak!”
“Ngawur.”
“Biar saja, Pak. Kalau memang sudah tidak ada orang lain, biar Bud ikut. Daripada repot. Lagi kan nanti ada Yapto. Kalau ada apa-apa, biar Yapto yang ngaku kenek. Ya, moga-moga tidak ada apa-apa. Sembahyang wae!” Ibu sudah ada di tengah kami. Dorongannya benar-benar kuperlukan saat ini.

Bapak tercenung beberapa saat. Lalu ia mengangguk, dan katanya, “Ayo bawa jaket! Jangan lupa pakaian, pakaian dalam, sikat gigi. Sejam lagi kita berangkat.” Sesaat ia terdiam, sebelum kembali ke posisi semula: menjulurkan tubuhnya, menggeliat, dan menutup mata. Mencoba tidur. Kerut di dahinya berkurang.

Sejam kemudian kami sudah di pool. Bis TELAGA JAYA E, bis pegangan Bapak sudah bersih, siap berangkat. Bapak memeriksa mesin, oli, air, kamar mandi/WC, jendela, pintu. Semua. Lalu ia mengajakku ke kantor. Aku ditinggalkan di ruang tamu, sementara Bapak menghadap taokenya. Lima belas menit kemudian ia keluar. Kerutan kembali muncul di dahinya.

“Kenapa, Pak?” Dia mneggeleng, “Kita harus hati-hati saja. Ayo mangkat!” katanya. Mas Yapto menepuk bahuku, “Selama libur ini biar kamu saja yag jadi kenek, Bud. Enak. Ibumu dapat duit dobel nanti,” katanya. Aku meringis saja.

Bus hampir penuh. Meski hujan, bus berjalan lancar. Kami berhenti di Boyolali dan Ungaran untuk mengambil penumpang tambahan. Setelah itu bus melaju hingga Semarang, tempat kami beristirahat makan malam dan meluruskan kaki sejenak. Sepanjang jalan aku tak bicara apa-apa dengan Bapak. Ia tampak serius sekali menatap jalan raya. Tak mau diganggu. Mas Yapto, tidur. Ia harus menggantikan Bapak di tengah perjalanan nanti.

Beberapa penumpang telah lelap. Sementara yang lain punya kesibukan masing-masing. Di deretan depan, beberapa orang lelaki setengah baya memaksakan mata menonton video silat, sedangkan di pojok sana, di depan kamar kecil, sepasang remaja –mungkin seusiaku, atau sedikit lebih tua—asyik bermesraan. Kepala mereka beradu. Mungkin ada perekat di rambut mereka.

Kurasakan kantuk mulai menyerang. Kusandarkan kepalaku di kursi plastik yang dipasang di dekat pintu depan, khusus untuk kenek. Ketika tubuhku terasa ringan, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara keras di telinga. Kubuka mata, seorang lelaki seumuran Bapak ada di belakangku. Matanya merah. Marah, jarinya menunjuk-tunjuk wajah Bapak. Ketika itu bis tengah berhenti.

“Jangan mentang-mentang situ supir, lalu penumpang dianggap tidak ada! Saya bayar tahu! Jadi kalau saya mau turun, situ berhenti, dong!”
“Bukannya saya tidak mau berhenti, Pak. Tapi tempat yang Bapak minta itu berbahaya. Saya cari tempat aman dulu. Lagipula Bapak kan hanya ingin ke belakang, di bis ini ada kamar kecil…”
“Ah, alasan! Bilang saja situ tidak dengar! Situ tuli! Budeg! Tidak tahu diri! Baru jadi supir bus saja sudah macam-macam tingkahnya. Masak diminta berhenti sama penumpang saja tidak mau. Biar saya tulis di koran nanti! Biar perusahaan bus ini bangkrut karena sopirnya semena-mena.”

Ucapan lelaki ini benar-benar menjengkelkan. Dia menuduh Bapakku macam-macam. Kulirik sepintas, Mas Yapto sudah segar, siap menggantikan Bapak. Supir cadangan ini kelihatan gusar. Ia bangkit, mencoba melerai, “Pak, Pak, tenang dulu!” Tetapi lelaki itu benar-benar kurang ajar. Ia menepis tangan Mas Yapto. Malah sekarang jarinya sudah menuding tepat di mata Bapakku. Astaga, kesalahan apa kiranya yang dilakukan Bapak sampai penumpang gila ini berani berbuat begitu? Kulihat rahang Bapak bergerak-gerak. Ia marah. Tersinggung. Aku juga.

Entah bagaimana, tiba-tiba kurasakan tanganku mengayun dan mendarat di dagu lelaki itu. Ia terjungkal dan duduk di koridor bangku bus. Semua penumpang menjerit. Kudengar mereka berteriak-teriak marah. Aku bersiap maju melepas tendangan, tetapi Bapak sudah menarik kerah bajuku kuat-kuat.

“Bud, wis! Wis!” Bapak keluar dari bangku pengemudi, mendekati lelaki itu. Tangannya terulur, hendak membantunya bangun. Tetapi uluran bantuan itu dibalas dengan tendangan keras di perut. Teriak dan pekik penumpang pecah lagi. Seorang lelaki lain bangkit dari kursi dan menarik tubuh lelaki penyerang Bapak.

“Sudah, sudah! Cukup!” teriaknya tegas. Semua mendadak diam. Bapak mengusap-usap perutnya. Aku ditahan Mas Yapto.
“Maaf sekali lagi, Pak. Saya memang tidak menuruti permintaan Bapak karena tempat yang diminta itu berbahaya sekali. Mohon maaf juga kenek saya ini memukul Bapak. Maklumlah…” Bapak belum selesai bicara ketika lelaki pembuat onar itu bangkit dengan wajah yang tetap gusar. Ketika ia sudah berdiri tegak, tiba-tiba saja penumpang kembali ramai. Mereka berteriak, menyalahkannya. Penumpang memihak Bapak. Beberapa penumpang malah mengusulkan agar lelaki itu keluar dari bus dan mencari kendaar lain. Si biang ribut itu tampak amat sangat geram. Lelaki yang tadi memegangnya pun mengusulkan yang sama, “Sebaiknya Bapak turun saja. Nanti biar Pak Supir ini mencarikan kendaraan lain.” Entah malu hati atau memang jengkel, lelaki itu turun. Tetapi, … Ia tak turun sendiri. Seorang lelaki yang lebih muda usianya, mungkin sepantaran Mas Yapto, mengikutinya. Mereka berdua bersungut-sungut. Bpaak berusaha menahan, tapi mereka terus bergegas turun dan ngeloyor pergi, tak meminta kembali ongkos yang sudah dibayarkan.
Mas Yapto melepas napas lega. Juga penumpang lain. Lelaki yang tadi membantu Bapak, maju dan menyalami Bapak. Ternyata dua orang tadi, garong. Bapak sudah tahu rupanya. Karena itu ketika diminta berhenti di tempat gelap, Bapak tidak mau. Ia tahu, di sana sudah menunggu komplotannya.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, maafkan tindakan kenek saya. Maklumlah, baru sekali ini dia tugas. Saya akan menindaknya dan melaporkan langsung pada atasan saya. Semoga Bapak-bapak dan Ibu-ibu tidak kapok naik Telaga Jaya,” kata Bapak di hadapan para penumpang. Lelaki yang tadi menolong Bapak bersuara, “Justru kami yang terima kasih kepada Bapak dan adik ini. Yakin, kami tidak akan melaporkan kejadian ini pada perusahaan Bapak. Bukan begitu, Mas?” ia menjawil teman duduknya. Semua mengangguk. Malah beberapa di antara mereka bertepuk tangan.

“Terima kasih. Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau tidak meleset, jam lima pagi nanti kita akan sampai di Pulogadung. Selamat istirahat, Bapak dan Ibu. Semoga perjalanan kita tidak terganggu lagi,” kata Bapak. Mas Yapto bergeser ke kursi pengemudi, menggantikan Bapak melanjutkan tugas.

Saya bersiap menempati kuris di samping supir. Bapak menarik lengan saya, “Kita duduk di sana saja, tempat penjahat itu tadi. Lumayan. Siapa tahu bisa tidur enak,” katanya lagi. Aku buru-buru mengangguk. Kuikuti langkahnya. Jantungku masih berdebar kencang. Kejadian tadi sungguh di luar perhitunganku. Aku memukul seorang penumpang! Untungnya, dia pantas dipukul. Bagaimana kalau aku salah sasaran? Celaka! Dan Bapak pasti lebih celaka lagi! Bisa dipecat dia. Lalu kalau sampai itu terjadi, berarti malapetaka besar untuk keluarga kami. Kulirik Bapak. Ia sudah memejamkan mata. Napasnya teratur. Alangkah berani dan hebatnya dia membaca situasi. Lamat-lamat kuingat, Ibu pernah berkata, “Biar saja Bapakmu jadi supir bus malam. Dia memang bisanya kerja di situ. Yang penting halal.” Ah rasanya ini bukan soal halal saja. Bapakku menjadi supir bus malam karena dia memang memahami kerjanya yang satu ini dengan baik. Karena ia hebat. Aku tak sabar menunggu waktu pulang, tak sabar menunggu hari sekolah mulai lagi. Aku ingin ceritakan kehebatan Bapakku. Kupejamkan mata, mencoba tidur. Ketika hampir lelap, kurasakan ada tangan membelai rambutku. Cepat sekali. Dan kudengar suara berbisik, “Le, Tole…” Suara Bapakku. Aku tak membuka mata. Aku menikmatinya, diam-diam. Bapakku yang hebat ini, mengasihiku. Ya, Bapakku yang supir bus malam itu.

reda gaudiamo
Pernah dimuat di majalah Hai, edisi khusus, Desember 1993

Friday 2 April 2010

BAYI

Begitu pintu mobil terbuka, suara itu langsung menyergap telinga. Dan itu aku katakan padamu.
“Suara? Suara apa?” katamu sambil mengangkat kepala tinggi-tinggi, mencoba menemukan suara yang kumaksud.
Aku berkeras, memaksamu mendengar, tapi sekali lagi kau bilang, kau tak dengar apa-apa. Lalu kita masuk rumah. Menyalakan lampu. Mandi. Duduk di ruang tamu. Berhadapan. Diam. Aku tetap mendengar suara itu. Melengking.
Kita duduk berhadapan. Kau membaca majalah berita setelah menyalakan radio –kau tak suka televisi- di ruang tengah. Aku menikmati secangkir teh hangat. Suara itu, masih terdengar juga. Tak enak di telinga. Aku bilang sekali lagi, suara itu semakin keras. Kau berhenti membaca sebentar, memasang telinga, lalu menggeleng, “Suara? Aku tak dengar apa-apa,” katamu. Aku bangun dari sofa, mengecilkan radio. Kau dengar sekarang, tanyaku. Kau memejamkan mata.
Sesaat kemudian kau bilang, “Ya. Samar saja.” Lalu kau kembali membaca. Di telingaku, suara itu semakin keras. Memekakkan telinga, menyakitkan kepala. Mungkin baiknya aku tidur saja. Suara itu mengikuti.
Kau menyusul beberapa saat kemudian. Berbaring di sisiku. Napasmu hangat di telinga. Setengah berbisik, aku katakan padamu: suara itu tak juga henti.
“Biarkan saja, nanti hilang juga,” kau menggumam, biarkan saja, nanti pasti hilang juga.
Suara itu makin keras. Seperti sangat kesakitan, kataku.
Kau menggumam lagi. Kau bilang, “S ebentar lagi pasti berhenti.” Lalu napasmu mulai teratur. Kau tertidur. Suara itu, masih terdengar.

***

Paginya, suara itu masih ada. Semakin keras. Kali ini, kau mengaku mendengarnya dengan jelas, “Suara bayi.”
Bayi yang masih sangat kecil, kataku. Aku khawatir, jangan-jangan ada yang tak beres dengan bayi itu.
“Jangan terlalu mendramatisir.”
Aku bilang, ini bukan mendramatisir, tetapi rasanya sudah terlalu lama bayi itu menangis. Aku khawatir.
“Mungkin dia sedang kurang enak badan. Ya, seperti kita juga, orang dewasa,” katamu.
Kalau begitu, harusnya dibawa ke dokter, lalu diberi obat, kataku. Sudah terlalu lama ia menjerit-jerit begitu.
Kau membuang napas keras-keras, tak sabar, “Bisa saja bayi itu sudah dibawa ke dokter, sudah diberi obat. Tapi bayi itu terlalu manja. Minta digendong.Cengeng.”
Cengeng? Tak ada bayi cengeng, kecuali sedang sakit, kataku.
“Siapa bilang?”
Aku bilang, aku. Dari alismu yang mendadak naik, dari bentuk bibirmu yang melengkung ke bawah, aku tahu kau tak setuju denganku.
Kau mengelak, “Aku tak beranggapan begitu!”
Tetapi aku tahu. Aku merasakannya. Tanpa harus mengeluarkannya dari mulutmu aku tahu apa yang di kepalamu. Kau mau bilang kalau aku tak tahu apa-apa soal bayi. Karena aku -sampai hari ini- belum juga memberimu anak. Tak ada bayi yang datang, lalu bagaimana aku bisa tahu tentang jenis tangisan bayi?
Kau menggeram. Mukamu memerah. Mukamu memerah. Kau cengkeram bahuku, menyuruhku diam. Kau tahu: aku berkata benar.

***

Ketika kau pulang kemarin malam, aku bersiap tidur. Kau duduk di tepi ranjang.
“Aku masih mendengar tangisan bayi itu. Padahal malam sudah begini larut,” katamu. Aku diam saja.
“Mungkin kau benar, ada apa-apa dengan bayi itu…”
Aku diam saja, membalikkan badan, memejamkan mata.

***

Pagi ini aku minta kau berangkat kerja sendiri. Aku tak ikut. Aku mau ke rumah bayi itu. Aku akan ke apotik membeli bedak, minyak telon, … apa saja. Aku harus ke sana, kataku.
“Jangan!” katamu setengah berteriak.
Kenapa? Aku harus ke sana, lihat bayi itu. Pasti ada apa-apa dengannya. Jangan-jangan sakit parah, terluka. Tangisannya itu mengisyaratkan dia sangat kesakitan, kataku. Aku tahu itu. Kau menggelengkan kepala, dahimu berkerut. Kau tak setuju.
Sudah terlalu lama dia menjerit-jerit, kataku.
“Ya, tapi jangan sekarang. Nanti sore saja, sepulang kerja. Berdua kita berangkat menjenguknya,” katamu.
Kita?
“Ya, sambil berkenalan. Sambil bawa makanan kecil buat ibunya. Sambil.... apa sajalah. Tapi kita berdua.”
Kenapa?
“Supaya si Ibu tak curiga kau mencari tahu soal bayinya.”
Aku ingin pergi sekarang. Tetapi mungkin kau benar, sebaiknya kita pergi bersama. Lalu kau menambahkan akan pulang cepat sore nanti supaya tak terlalu malam bertandang ke rumah bayi itu.
Baiklah.

***

Ternyata kau pulang sangat larut. Hampir tengah malam. Kau sengaja pulang lambat, aku yakin itu. Selambat-lambatnya sampai kita tidak bisa bertamu ke rumah bayi itu.Kau memang tak pernah berniat menemaniku menjenguk bayi itu. Kau memang tak ingin. Ajakan pergi ke sana berdua sebenarnya hanya upayamu agar aku tak usah ke rumah itu. Aku tahu itu.
“Tadi jalan macet sekali. Ban kena paku pula!” katamu.
Jalan macet sejak dahulu kala. Ban mobil kena paku? Oh, mengapa tak meledak saja mobilmu?
Wajahmu merah padam, “Aku lelah!” kau berteriak sambil bergegas masuk kamar, lalu membanting pintu.
Lelah berbohong, aku balas berteriak.
Suara tangisan itu: masih juga terdengar. Memekakkan telinga. Menyakitkan kepala.

***

“Tangisan bayi itu benar-benar makin keras. Dia pasti kesakitan….” katamu sambil berpakaian, siap berangkat kerja. Aku tak menyahut.
Lalu kau tepuk bahuku, “Aku yakin, ibu bayi itu pasti sudah membawanya ke dokter. Bahwa ia masih tetap menangis, mungkin obatnya belum tepat. Tetapi sebentar lagi tangis itu pasti berhenti.” Aku tetap diam.

***

Sore ini kau masuk rumah dengan tergesa, “Aku sengaja pulang cepat, karena aku mau mengantarmu ke rumah ibu bayi itu. Aku sudah janji, kan? Ayo!” katamu dengan sangat semangat. Di tanganmu ada sekantong jeruk, di tangan yang lain ada kotak-kotak kecil beraneka ukuran, “Perlengkapan bayi!” katamu sambil tersenyum lebar dan menyorongkannya padaku. Ada bedak, ada minyak telon, ada popok sekali pakai….
Tak usah, kataku.
“Ayolah, jangan begitu! Ganti baju, kita berangkat sekarang.”
Tak perlu lagi kita kesana, kataku. Bayi itu sudah berhenti menangis. Kau tersenyum lega, mengelus dada, menepuk bahuku, “Ah, syukurlah!”
Lalu kusampaikan padamu, sepuluh menit lalu, sebelum kau pulang, Bu RT mengabari kalau bayi kecil itu meninggal sebelum waktu sholat Asar. Tubuhnya penuh lebam dan luka. Dipukuli ibunya, yang sekarang sedang diinterogasi di kantor polisi.
Aku menuju dapur, meninggalkanmu.
Senyummu hilang.


Rawamangun, Februari 2010
Telah dimuat di KOMPAS Minggu, 21 Maret 2010