Wednesday 2 November 2011

taxi

Hujan rintik di Jakarta selalu membawa kemacetan. Apalagi saat bubaran kantor begini. Hampir tak ada celah untuk menerobos lapisan bus kota dan mobil pribadi, yang kian hari kian menumpuk saja. Pendingin sengaja kumatikan. Menghemat bensin. Toh hujan tak terlalu mengganggu. Di tepi jalan, tampak para pekerja berdiri berjajar. Menunggu kendaraan yang paling tepat – baik dari segi kenyamanan maupun kemampuan kantong – mengantar pulang. Aku berharap, kendaraanku termasuk salah satu dari pilihan itu.

Di hampir penghujung jalan Thamrin, aku melihat tangan melambai. Aku tak bisa menepi, jadi kubiarkan taksiku melambat, bahkan hampir berhenti. Penumpangku seorang wanita. Dari geraknya yang gesit mengejar, kutaksir umurnya tak beda jauh dengan kakakku, Yuni. Langsing. Rambutnya dipotong pendek. Tergesa ia membuka pintu, dan menghempaskan tubuhnya di kursi belakang.

“Selamat malam,” sapaku. Ia menggumam, sementara tangannya sigap mengunci pintu, lalu dengan singkat ia menyebutkan tujuannya, di wilayah timur Jakarta. Aku melepas napas lega. Untung dia tak menyebut wilayah Selatan Jakarta yang macetnya tak terkira itu. Bahkan hingga malam hari. Bisa lepas tungkai kakiku.

Dari kaca spion kuperhatikan wajahnya. Dahinya berkerut. Mungkin kesal pada macetnya jalan. Kutanya rute mana yang ia inginkan.
“Terserah. Yang penting cepat sampai, sudah ditunggu anak,” katanya tanpa melihat ke arahku. Sudah berkeluarga dia.
“Kalau begitu lewat Imam Bonjol saja, ya Mbak…” kataku.
“Setiap kali hujan, pasti macet begini, ya…”
“Ah, setiap sore, Mbak,” kataku.
“Terlalu banyak mobil di Jakarta.” Dan percakapan pun berlanjut.
“Banyak orang kaya, sih, Mbak.” Dia tertawa.
“Tapi yang senang naik taksi juga banyak. Coba lihat itu… banyak sekali yang perlu taksi. Dan itu setiap sore!” katanya seraya menunjuk para pekerja yang berebut taksi kosong.
“Ah, cuma sore dan kadang-kadang pagi hari. Itu juga kalau lagi bulan muda. Tapi siang hari, sepi. Kalau pun ada, paling jaraknya dekat-dekat. Sebagai  pengganti bajaj mengantar mereka makan siang. Kadang-kadang kesal juga. Bayangkan saja, Mbak… waktu teman-teman masih tidur, kita sudah harus bangun. Jam empat pagi sudah harus ada di pool. Untung saya punya motor, jadi berangkatnya tidak perlu terlalu awal. Coba kalau pakai kendaraan umum… Kapan tidurnya? Mana harus bayar ongkos transpor lagi!”
“Kenapa harus sepagi itu?”
“Ya kita harus bersih-bersih dan memeriksa semuanya, Mbak. Dan kalau
kita bisa keluar cepat, ada untungnya juga. Siapa tahu dapat muatan langsung ke
bandara. Lumayan.”
Dia tertawa. Lalu, “Sudah lama jadi supir taksi?” tanyanya.
“Baru sebulan.” Dia tampak terkejut. Mungkin tak siap diantar pulang oleh seorang supir taksi yang belum berpengalaman.
“Sebelum ini kerja apa?”
 “Tidak kerja. Sekolah.”
“Sekolah apa?”
“Anu, komputer.”
“Di mana? Kursus?”
“Di Depok, di Akademi Komputer.”
“Wah, hebat dong!”
Aku cuma bisa tertawa kecil. Ada rasa tak enak di hati. Entah apa.
“Lalu bagaimana sekarang kuliahnya?”
“Terpaksa berhenti.”
“Kenapa? Kan sayang…”
“Ya, maunya memang sekolah lalu jadi sarjana, bisa dapat kerja yang bagus, gaji pun lumayan. Tidak seperti ini. Capek… Tapi mau bagaimana lagi, Mbak. Saya harus melupakan dulu niat untuk menyelesaikan kuliah. Di rumah sudah ada anak dan isteri menunggu.” Kurasakan suaraku agak bergetar.
“Anak dan isteri? Adik sudah berkeluarga? Astaga, masih muda sekali…”
Dari kaca spion kulihat matanya membelalak. Tak percaya. Jantungku berdebar
lebih deras.
“Saya salah jalan sedikit menjelang pengumuman ujian SMA. Akhirnya, setelah kuliah tiga bulan, saya jadi bapak.” Aku  terus bercerita, lancar, tak terputus. Lancar.
“Waktu itu rasanya bagus sekali. Cita-cita saya, sambil kuliah saya akan cari kerja sampingan. Mungkin bisa memberi les pada anak-anak SD, SMP. Begitu pula dengan isteri saya. Tetapi, ternyata, mencari murid les juga tidak mudah. Para orangtua sekarang sangat selektif dalam memilih guru les. Kalau cuma tamatan SMA, mereka ragu. Saya mencoba melamar kerja sampingan di bengkel mobil, lagi-lagi tidak berhasil. Mereka tidak bisa menerima pegawai paruh waktu. Repot menggajinya, begitu alasan mereka. Apa boleh buat. Untung sekali tetangga kami di tempat kontrakan, datang menolong. Dia memberi info bahwa perusahaan taksi ini mencari pengemudi baru. Saya lolos tes, dan jadi supir.”
“Orangtua bagaimana?”
“Mereka tidak tahu. Mungkin juga sebaiknya tidak tahu. Saya tidak mau mereka mencemooh kami lagi. Sudah cukup. Mereka tidak mau tahu ketika saya harus menikahi pacar saya. Tak juga peduli ketika saya sampaikan niat untuk kuliah sambil bekerja. Terlalu mengada-ada, kata mereka. Tak juga bergeming ketika saya katakan saya siap bekerja apa saja. Bahkan menjadi tukang rokok jalanan sekalipun. Saya butuh modal. Sedikit saja. Tapi mereka tidak bergeming sama sekali. Saya harus belajar bertanggung jawab. Mandiri. Berani melakukan sesuatu, berani menghadapi akibatnya, berani mengatasi, semua dengan usaha sendiri. Mereka bilang, saya sudah terlalu banyak berjanji tanpa bisa menepati barang sekalipun. Saya sudah terlalu banyak membuang kesempatan tanpa pernah merasa menyesal. Dan, akhirnya, isteri saya menyerah. Kami tidak berharap apa-apa lagi. Kami memilih jalan sendiri saja. Apa saja. Sebisanya.
Sungguh, pada mulanya bukan hal yang mudah. Bahkan sulit sekali. Kalau gagal jadi supir taksi, mungkin anak saya terpaksa menginap lebih lama di Rumah Sakit. Tak tertebus.  Jujur, terkadang bila saya melihat beberapa teman melintas di jalan raya, atau para mahasiswa yang tergelak di tempat pemberhentian bus, ada rasa tidak karuan. Tetapi segera saya bayangkan anak saya yang imut-imut itu dan isteri saya yang suka panik setiap kali memasak nasi. Bisa gosong, bisa jadi bubur, bisa kering. Perbandingan air dan beras selalu bervariasi, setiap hari. Lucu!” Dan penumpangku turut tertawa bersamaku.
“Kadang-kadang saya sering kesal kalau dia terlalu lama melihat halaman mode di majalah bekas yang saya belikan. Rasanya, seperti mengharap saya membelikan dia sesuatu. Saya jadi gampang naik darah. Nanti dia menangis, saya jadi panik, karena si kecil jadi ikut-ikutan bersuara.
Saya mengerti, Mbak, dia ingin barang-barang yang bagus, Memang lagi umurnya. Tetapi saya tidak bisa beri dia apa-apa. Uangnya dari mana?
Saya tidak berani berjanji apa-apa. Yang penting asal setiap hari bisa bawa sedikit uang untuk susu, cukuplah. Sekarang sudah lumayan. Istri saya jauh lebih tenang. Bisa prihatin.”
“Tidak terpikir untuk kembali ke orangtua?”
“Pernah berpikir begitu.Tetapi belum-belum di telinga saya sudah terdengar omongan mereka yang bikin muka jadi panas. Saya belum kuat untk menghadapi hal-hal yang bisa membahayakan emosi saya. Mungkin nanti, kalau anak saya sudah tak lagi mengompol di gendongan. Jadi, kalau dipangku eyangnya, dia tidak bikin malu. Dan kalau isteri saya sudah bisa melupakan wajah mertuanya yang selalu kusut dan menyebalkan itu. Dan itu masih lama sekali.”
Sesaat aku berhenti bercerita. Dari kaca spion kulihat penumpangku merenung. Menatap ke luar jendela.
“Setiap hari narik?”
“Ya, Mbak.”
“Malam sampai jam berapa?”
“Biasanya sampai tengah malam. Tetapi kalau sudah terlalu capek, saya tinggal pulang. Kalau sakit, repot. Uang susu bisa terpakai untuk obat. Sayang.”
“Betul, Dik… Kalau sudah urusan anak, kita bersiap memberi apa saja, ya.”
“Ya, biar capek seperti apa, biar kesal seperti apa, kalau sudah lihat anak,
semuanya hilang.”
“Lalu narik sampai jam berapa?”
“Tidak tentu. Peraturannya sampai jam dua belas malam. Tapi kadang-kadang sebelum itu juga saya sudah pulang…”
“Ya, kalau setoran sudah dapat, buat apa lama-lama di jalan.”
“Bukan begitu, Mbak. Kalau badan sudah tidak kuat lagi, dan mata sudah terasa berat, ya, saya pulang saja. Takut sakit. Nanti uang makan terpaksa buat beli obat. Sayang, kan.”
Tak terasa kami telah tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah mungil di seberang taman kecil. Terdengar suara meriah dari balik pagar.
“Itu anak saya…” bisik Mbak penumpangku. Aku mencoba mengintip Sulit.
Pagarnya terlalu rapat.
“Mudah-mudahan malam ini bisa cepat kumpul setorannya dan bisa main lebih lama sama si Kecil, ya…” katanya sambil menepuk bahuku.
Kami tertawa lagi untuk terakhir kali. Ia mengulurkan ongkos taksi dan sempat berpesan agar aku hati-hati, dan berharap bertemu lagi lain kali. Taksiku kembali melaju. Sayup kudengar pintu gerbang ditutup agak keras.

Tamat satu cerita.

Aku menarik napas lega. Aku bisa pastikan penumpangku tadi cukup bersimpati pada kisahku. Terbukti dari jumlah uang yang ia berikan. Jauh berlebih dari yang seharusnya aku terima.

Mungkin benar kata guru Bahasa Indonesia di SMA dulu, sebaiknya aku tekuni bakatku dalam mengarang. Cerita-ceritaku sangat meyakinkan, begitu katanya.
Ia menyarankan aku masuk fakultas sastra dan semakin menggiatkan urusan tulis-menulis. Siapa tahu nanti bertemu dengan penerbit yang mencari penulis muda, begitu sarannya.

Ada rasa geli, ada rasa tak enak hati.

Kupandangi langit yang mulai cerah. Seminggu lagi pengemudi asli taksi ini akan kembali bertugas. Dan aku kembali pada profesi semula: mahasiswa tingkat awal di sebuah perguruan tinggi.

Kepada para mantan penumpangku, maafkan. Aku hanya berusaha mendapat uang lebih untuk menutup setoran. Semoga suatu hari nanti, kita bertemu lagi, dan Anda semua tak pernah tahu kalau saya pernah mengobral cerita yang telah menggaruk-garuk perasaan Anda. 
Maaf. 

Selamat malam!





Dimuat di Majalah HAI, Edisi Khusus, Desember 1994

Friday 15 July 2011

LAMARAN

"Perempuan yang telepon kamu terus itu, siapa sih?"
"Yang mana?"
"Itu, yang kalau terima telepon dari dia kamu pasti ketawa-ketawa!"
"Oh, teman kerja!"
"Kamu naksir dia, pasti!"
"Nggak, lah!"
"Bohong!"
"Betul!"
"Bohong, bohong, bohong!"
"Eh, kamu ini... Coba ingat-ingat, kita ini sudah pacaran berapa lama, sih? Lebih dari lima tahun, kan? Masak ributnya soal ini terus? Berhentilah cemburu sama perempuan lain. Buang tenaga, kuras emosi. Capek!"
"Habis, ada aja sih perempuan yang dekat-dekat kamu!"
"Tapi mereka bukan siapa-siapa! Teman saja!"
"Kalau teman, kenapa musti ketawa-ketawa setiap kali dia telepon?"
"Masak nggak boleh ketawa? Sama kamu aku juga ketawa-ketawa. Malah bisa sampai guling-guling. Sama kamu, aku bisa lebih dari ketawa-ketawa, ya kan?"
"..."
"Iya, kan?"
"Iya."
"Nah, jadi nggak usah ngambek gitu, dhe."
"Iya, iya... Tapi kesel, tahu!"
"Asal ahu saja, kalau ada perempuan yang aku taksir, itu cuma kamu!"
"Halaaaaaah!"
"Sumpah! Kalau ada perempuan yang bakal aku kawini, ya kamu!"
"Oh, begitu? Terus kenapa nggak pernah ngajak kawin?"
"Lho, kamu mau kawin?
"Ya iya lah!"
"Oke, kalau gitu kita kawin!"
"Boleh, kapan?"
"Mau kamu kapan?"
"Bulan depan!"
"Ayo, siapa takut?"
"Ayo!"


dari buku Pengantin Baru, hal. 83-84
bisa dipesan di www.inibuku.com

Thursday 23 June 2011

MENGARANG


Terus terang aku selalu terheran-heran oleh guru bahasa Indonesia. Baik di SD, SMP, dan sekarang SMA, ulah mereka tak pernah berubah. Yang membedakan mereka hanya wajah dan nama. Sementara penyakit mereka selalu sama: memberi tugas mengarang dengan tema – bukan main – selalu sama pula, pengalaman di masa liburan. Mereka bilang mengarang itu bentuk penguasaan bahasa. Menurut pendapatku, itu hanya alasan mereka yang bingung tak tahu mau memberi tugas apa di hari pertama pelajaran.
Dan itulah yang kukerjakan sekarang, menuliskan apa yang kualami selama liburan yang baru lewat.

***
Hari-Hari Liburku

Oleh Tanto III A2-2/34

Hari pertama liburan kulewatkan dengan bangun sesiang mungkin. Tak ada yang mengusik. Tidak juga ibu yang biasanya berteriak lantang. “Sudah siaaaang! Hei orang-orang yang masih sekolah, lihat itu matahari sudah samai di barat. Kalau terlambat jangan salahkan Ibu, ya!” Bapak juga tampaknya setuju dengan jadwalku yang melenceng ini.

Menonton televisi adalah kegiatanku yang pertama. Acara yang selama ini selalu kulewatkan karena sekolah, kini bisa kunikmati dengan leluasa. Tak masalah televisi yang bisa dibeli Bapak sangat kecil ukurannya. Mungkin 14 inci pun tak sampai. Peduli amat. Semuanya kunikmati, termasuk makan dan minum pula! Mewah!

Mandi? Itu yang  agak sulit terlaksana. Waktu terlalu berharga untuk dilewatkan dengan sekadar menyiramkan air ke tubuh. Tapi, tampaknya semua orang setuju. Terutama Novi, adikku, yang setiap kali lewat di dekatku mengerutkan hidungnya, mendenguskan napas keras-keras. Peduli amat!  Malam itu aku tertidur di depan televisi.

Hari kedua, aku kembali duduk di depan televisi. Sesekali bangkit mencari makanan. Tetapi selebihnya sama dengan hari sebelumnya. Begitu juga dengan hari ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh.

Hari kedelapan aku mulai bosan dengan kegiatanku. Acara televisi kembali pada polanya semula. Mataku mulai berair setiap kali pesawat itu kunyalakan. Aku tak tahu harus berbuat apa. 

Sebenarnya aku bisa lari sebentar ke telepon umum dan menghubungi teman-teman, mengajak mereka jalan-jalan, mungkin mampir di plaza anu, makan donat atau hamburger, atau mungkin sekadar minum kopi. Tetapi aku tak punya uang sepeser pun. Tak juga seratus perak untuk menelepon.

Aku coba minta Ibu. Tapi ia malah mengomel panjang-lebar. Katanya kalau sudah jalan, pasti lupa pulang. Dan kalau pun ingat pulang, pasti sangat larut. Lalu katanya lagi, tanpa mengambil napas sedikit pun, kalau sudah begitu aroma tubuhku jadi sangat aneh. Tepatnya tercampur baur bau rokok dan minuman keras yang kami hisap dan minum secara bergantian. Dalam hati aku was-was juga, semoga dia tidak mengadukan bau yang aneh itu pada Bapak. Kalau dia tahu, pasti aku kena ganjaran. Entah apa, tapi pasti mengerikan.

Dari dulu ia sudah bilang tak ingin anaknya merokok, apalagi minum-minum. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau semua itu kita tolak, mau ke mana kita? Bahkan, duduk-duduk di tangga plaza atau departemenet store saja bisa dihajar. Terlalu bersih lebih buruk dari pada punya penyakit kudis. Kalau hidupku terkucil, apa Bapak dan Ibu mau menemaniku ke mana-mana? Mimpi!

Mungkin sebaiknya aku lari saja ke rumah Iko. Siapa tahu dia di rumah. Dari sana aku bisa menyusun rencana. Tetapi kalau dia tidak ada, bagaimana? Kan percuma tenaga yang telah kubuang untuk mencapai rumahnya. Tak sadar kutendang kaki menja. Ibu jari kakiku kena. Sakit. Akhirnya aku berbaring lagi di kursi sofa yang busanya sudah kempes sekali.

Sore. Sore sekali aku terbangun oleh teriakan Novi. Lampu belum dinyalakan. Ada apa?
Dari suaranya yang terbata-bata, aku tahu kalau Ibu jatuh di kamar mandi. Seperti kerbau tolol kuikuti langkah Novi. Ia berteriak-teriak. Tak jelas apa katanya, tapi aku menduga ia pasti meminta aku mengangkat Ibu. Untuk pertama kalinya aku memperhatikan tubuhnya. Kurus sekali. Dingin dan mukanya pucat. Bajunya agak basah. Novi menangis terus. Kusuruh dia mencari bantuan dari tetangga sebelah. Dengan bantuan mereka, kami membawa Ibu ke rumah sakit.

Ke rumah sakit terdekatlah Ibu segera dilarikan. Sesampainya di sana, para suster dengan sigap membawa Ibu ke ruang gawat darurat. Lantas, tak berapa lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Tanpa komando, saya dan Novi berdiri bareng.
Dokter itu cuma bicara singkat. Bahwa Ibu harus diopname. Alasannya, biar lebih terkontrol jika berada di bawah pengawasan medis.

Saat itulah Bapak muncul. Dan dokter itu pun berbicara cukup lama dengan Bapak. Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Buatku, jika dokter sudah memutuskan harus diopname, berarti penyakitnya cukup parah. Apa? Aku tak berani bertanya saat itu.

Tapi, saat aku memutuskan untuk menunggui Ibu, ada sedikit rasa kesal. Bayangkan saja, ia agak rewel. Semua makanan yang disodorkan padanya, hampir selalu ditolaknya. Setelah dipaksa, baru mau. Keras kepala sekali. Setelah ia menurut, aku jadi merasa bersalah. Mungkin seperti itulah rasanya kalau aku selalu melakukan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang Ibu minta. Tidak enak ternyata. Sayangnya, itu semua tak banyak memberi kemajuan pada kesehatannya.

Hari kesebelas, aku pulang ke rumah. Ganti Novi yang menjaga Ibu. Setiba di rumah, tiba-tiba ada yang tak beres dengan rumah kami. Entah apa yang salah. Ada bau lembap, padahal waktu itu matahari bersinar masuk menerobos jendela dan genting kaca di langit-langit. Ketika melepas sepatu, kurasakan kakiku kesat. Kotor, padahal di lantai tak tampak debu. Rumah terasa sepi. Terlalu sepi.

Kunyalakan radio di ruang tengah keras-keras. Tapi bukan suara merdu yang kurasakan. Bising. Televisi kupasang. Tak ada acara menarik. Purutku lapar, tapi aku tak ingin makan. Hingga malam tiba, ketika Bapak pulang kerja, aku tak melakukan apa-apa kecuali duduk dalam gelap. Diam-diam. Sehabis mandi, Bapak berangkat ke rumah sakit menemani Novi. Aku tetap duduk di kursi yang sama.

Pagi hari aku dibangunkan oleh suara Bapak. Katanya ia mau ke kantor . Tangannya masuk ke kantong bajuku, menyelipkan uang. Katanya untuk belanja makan siang dan malam nanti. Kalau hari-hari biasa aku pasti melompat gembira, atau setidaknya, meringis menampakkan gigiku yang besar-besar. Dan aku tahu akan kubahiskan untuk apa yang jumlahnya lebih dari lumayan itu. Tapi, sekali ini aku malah enggan menerima. Terlalu banyak rasanya. Siapa tahu bisa menambah-nambah keperluan di rumah sakit. Lagipula aku tak merasa lapar. Sore hari, ketika tukang bakso langganan Novi lewat, aku memaksa makan.

Hari ketigabelas, aku kembali ke rumah sakit. Gedung warna hijau yang tinggi menjulang seakan memanggilku untuk berjalan lebih cepat. Ada semangat di hatiku. Aku ingin segera bertemu Ibu. Bagaimana keadaannya hari ini?

Novi tampak pucat. Tapi di wajahnya ada senyum. Keadaan Ibu pasti lebih baik hari ini.
“Bagaimana Jagoan: kok, ke sini lagi, sih? Apa tidak ada kegiatan lain?” katanya lambat-lambat. Beda betul dengan cara bicaranya di rumah yang serba cepat, keras, dan bernada tinggi. Aku cuma bisa meringis. Aku juga tak tahu mengapa aku begitu bersemangat menemuinya ketimbang jalan-jalan dengan Yandi atau Iko. Padahal kalau kuingat suaranya di rumah, aku selalu ingin pergi jauh-jauh. Lengkingannya terlalu menyakitkan telinga. Bahkan terkadang membuat kepalaku pusing. Sampai akhirnya pernah  aku memutuskan bahwa sumber sakit kepala dari segala zaman adalah teriakan Ibu yang tak pernah berhenti mencela anaknya. Dan sekarang, ketika ia bicara dengan sangat lambat, dengan suara yang begitu halus, aku merasa seperti berhadapan dengan orang lain. Ia seperti orang asing. Padahal seharusnya ia adalah orang yang paling aku kenal dengan baik. Sangat baik.   

Ibu mengatur napasnya. Ia benar-benar menghemat tenaga. Atau mungkin memang tak punya banyak tenaga. Ketika Novi pulang, Ibu bilang ingin tidur sebentar. Aku ingin berteriak-teriak, ingin ia terus terjaga. Ada rasa tak menentu setiap kali aku melihatnya menutup mata. Ketika ia akhirnya terlelap juga aku berdiri dekat-dekat di sampingnya. Kuperhatikan dadanya. Aku harus pastikan ada gerak turun naik di situ. Harus. Dan gerak yang selalu kutunggu-tunggu itu masih datang dan datang lagi. Ibu memang hanya tidur. Tidak lebih.

Hari keempatbelas kondisi Ibu sudah lebih baik. Sudah bisa duduk, sudah bisa tertawa dan sedikit mengomel kalau aku bicara terlalu keras. Itu yang kutunggu-tunggu.

Hari kelimabelas, dokter memutuskan Ibu boleh pulang ke rumah. Aku melompat gembira. Aku belum pernah merasakan luapan di dada seperti ini. Tidak pernah. Tak terasa pipiku basah. Novi tersenyum geli melihat aku tak bisa mengendalikan perasaan. Biarlah.

Hari keenambelas, Ibu kembali ke rumah. Meski belum bisa berjalan dengan baik, ia sudah menjejakkan kakinya ketika tangannya menyentuh daun pintu. Lalu keluarlah kalimat pertamanya.

“Apa saja kerja kalian di rumah? Mengapa semua jadi kotor begini… berdebu dan berantakan? Heran, bagaimana kalian bisa betah tinggal di tempat yang kotor seperti ini?Aduh… kalau tahu akan tinggal di kandang kotor begini, lebih baik aku tinggal di rumah sakit saja!” Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kelihatannya kesal sekali ia. Hari ini aku benar-benar gembira mendengarnya mengomel. Padahal hari-hari kemarin, kalau ia berbunyi seperti itu, aku pasti sudah lari keluar rumah. Suaranya yang tajam itu betul-betul menjengkelkan.

Hari ketujuhbelas, liburanku tinggal dua hari lagi. Ibu sudah mulai berjalan sedikit-sedikit, merayap di tembok. Ia terus mengeluhkan geraknya yang jadi sangat lamban. Ia berani bertaruh bahwa bekicot pasti bisa mengalahkannya dengan mudah. Kami tertawa saja. Dan ia jadi tambah kesal. Bayangkan, Ibu bilang mau minum minuman penambah semangat!

Hari kedelapanbelas kudengar tawanya membahana. Entah apa yang diceritakan Bapak padanya. Lalu kudengar ia memanggil namaku. Aku bergegas menemuinya.
Dengan wajah heran, ia berkata,”Katanya libur, kok, malah di rumah saja? Sana jalan-jalan.” Aku cuma mengangguk-angguk. Tak tahukah ia bahwa hari-hari terakhir ini ia sangat kuridukan? Belum pernah kurasakan semua ini sebelumnya. Dan sekarang aku ingin merasakannya terus tanpa henti.

Hari kesembilanbelas, Ibu bilang ia ingin nonton televisi. Katanya, ia ingin tahu acara kesenanganku dan Novi. Seketika itu juga aku tak ingat sepotong acara pun. Semua sama menariknya.

Hari keduapuluh aku harus siap-siap masuk sekolah. Biasanya hari itu sangat kunanti-nanti; ingin lihat gadis-gadis baru di kelas satu, ingin bertemu teman, ingin melepaskan diri dari suara Ibu yang mendengung di telinga sepanjang hari. Tapi hari ini aku ingin liburku bertambah barang seminggu. Suaranya mendadak jadi begitu merdu di telinga.

Hari keduapuluh satu aku kembali ke sekolah. Ramai sekali celotehan anak baru.  Terutama gadis-gadis baru itu. Mata Yandi dan Iko terus terbelalak, tak mau rugi. Mereka menarik-narik tanganku menikmati pemandangan segar itu. Tapi di kepalaku cuma ada satu keinginan; aku ingin cepat pulang. Itu saja!

***
Inilah karangan bertema liburan terpanjang yang pernah kutulis. Aku tak peduli dengan Bu Isti yang membaca dan memutuskan karanganku membosankan. Aku tak peduli pada nilai yang akan diberikan. Yang aku tahu cuma satu, liburan kali ini – rasanya – telah kulewati dengan acara berbeda. Di liburan kali ini, aku telah menemukan sesuatu yang baru dan aku tak malu mengakuinya; aku sayang, pada ibuku yang cerewet, yang suka teriak-teriak dengan suaranya yang tinggi, keras, dan tak pernah berhenti mengambil napas kalau sedang mengomel. Dia ibuku. Aku ingin membuatnya lebih bahagia, aku ingin ia lebih bangga padaku. Aku ingin  ia tahu aku sayang padanya.



Dimuat di majalah HAI No. 22 Tahun XIX, Terbit 6 Juni 1995.
Terima kasih kepada Dharmawan Handonowarih yang sudah menemukannya kembali. 

Wednesday 22 June 2011

TENTANG BAPAK

Ini tentang Bapakku.

Bapak baru saja pensiun. Umurnya memang sudah pantas untuk itu: 66 tahun. Tapi justru masa istirahat yang panjang ini -menurutku- membuatnya salah tingkah. Tiba-tiba saja, jadwal bangun dan tidurnya yang selalu pasti dan tepat waktu, kini melenceng tak karuan. Dia bisa mendadak bangun jam sepuluh pagi, ataujam 3 subuh. Dan tidur di saat yang sama dengan jam tidur bayi tetangga.
"Pak, kalau bangun mbok ya seperti dulu. Telat sedikit tidak apa-apa, tapi jangan kelewatan begini, to! Repot membersihkan kamarnya!" itu keluhan Ibu. Dan Bapak, kalau sudah ditegur Ibu, cuma melirik. Paling banter mengucap,
"Ya…" dengan suara rendah bervolume kecil. Bapak memang pendiam. Dia tak banyak cerita, tak banyak komentar. Beda betul dengan Ibu. Perempuan yang suka berkebaya ini tak bisa membiarkan bibirnya istirahat (kecuali tidur, tentu). Ada saja cerita Ibu. Ada saja sindirannya. Ada saja omelannya.
Pernah aku berpikir, jangan-jangan kesukaan Ibu yang agak berlebih ini yang membuat Bapak malas bicara. Aku uma menduga, tapi kakakku, lebih ekstrim lagi: dia langsung tanya pada Bapak.
   "Pak, apa nggak bosan diam-diam terus? Rasanya sejak kecil sampai sebesar ini, Bapak tidak pernah ngajak saya ngobrol!" ketika itu kakakku baru saja tamat SMA. Bapak mengangkat alis. Bibirnya menyunggingkan senyum. Sudah itu saja! Kakakku gemas, dia melempar pertanyaan lagi, "Kenapa, sih Pak? Saya kok suka iri sama teman-teman lain. Mereka bilang sering diskusi sama bapak mereka. Kita? Weeeh, boro-boro diskusi, cerita sepotong tentang kantor saja tidak pernah. Bapak marah, ya?"
   Bapak tersenyum lagi. Kali ini sedikit lebih lebar. Dia menggeleng. Lalu katanya, "Tidak marah. Betul Eka, Bapak tidak marah. Tanya saja sama Ibu kalau tidak percaya."
   "Kalau nggak marah, kenapa nggak mau ngomong? Maksud saya ngomong yang rada panjang, gitu lho Pak!" balas kakakku lagi. Tidak puas. Alih-alih menjawab, Bapak malah diam. Tak mau berkata apa-apa lagi. Dia tersenyum. Lagi.
   Ibu, tanpa diminta, memberi penjelasan, "Bapakmu memang pendiam, Ka. Jangankan kamu yang baru kenal Bapak 19 tahun, Ibu yang sudah lebih dulu dari kamu ya sama saja. Jarang dibagi cerita sama Bapak. Sudah, Bapak bilang tidak marah, berarti dia memang tidak marah atau apa. Wis, ndak usah maksa-maksa bapakmu ngomong yang panjang. Dipaksa-paksa nanti malah bikin dia kesel. Kalau mau tanya apa-apa, kan bisa tanya sama Ibu."
   "Jangan-jangan yang bikin Bapak diam itu malah Ibu. Bapak nggak pernah sempat cerita, lantaran Ibu ngomong terus…" ujar kakakku santai. Aku kaget mendengar keberaniannya menembak Ibu. Sudah tahu Ibu gampang naik darah, pakai dipancing pula. Eka nekat! Buru-buru kulihat wajah ibu kami. Eh, ajaib, dia tidak merengut. Malah, "Hahahahaha…." dia tertawa. Kini gantian kakakku yang melongo. Bapak ikut tersenyum melihat tampang manusia-manusia yang ada di sekitarnya.
   "Kok Ibu yang disalahkan. Sebelum kawin sama Ibu, bapakmu ini sudah diam kayak gini, Eka. Mungkin ada syarafnya yang sedikit kendor atau kekencengan, makanya jadi susah ngomong," tutur Ibu setelah berusaha setengah mati menahan tawanya yang meriah.
   "Ibu kok mau sih sama Bapak yang diam begitu?" Aduuuuh, kakakku ini betul-betul cari perkara saja. Untungnya -entah sedang bertiup musim apa sekarang ini- Ibu dengan ramah menjawab, "Bapakmu itu orang hebat. Tidak banyak omong, tapi tindakannya selalu tepat. Dan yang paling penting, Bapak sayang sama Ibu. Ah, sudah!" Kakakku tampak masih penasaran. Dia ingin mengecek pernyataan Ibu pada Bapak. Tetapi pihak yang bersangkutan menyingkir masuk kamar. Itu artinya waktu tanya jawab sudah selesai. Sayang.
   Sejak itu, kakak tak pernah bertanya macam-macam lagi. Dia puas dengan jawaban Ibu. Aku percaya Ibu benar. Tapi itu dua tahun lalu. Kini keadaannya lain: aku mulai menyangsikan ucapan Ibu.
   Terus terang, tak enak punya rasa begini: sangsi, kesal, kecewa. Semua bercampur jadi satu. Tetapi itulah yang ada kini. Betapa sulit memahami Bapak: di saat uang tak lagi mengalir teratur seperti dulu (Bapak pegawai swasta, kami hidup dari hasil bunga tabungan pensiunnya di bank), ia masih bisa meminjamkan uang untuk orang lain. Jumlah yang diberikan bukan sedikit. Dan kapan pembayarannya, tak juga jelas. Bagaimana itu bisa dibilang bertindak dengan tepat? Tak cuma itu, Bapak menolak tawaran kerja dengan penghasilan lumayan. Lucu, rasanya… Dia menolak bekerja lagi sementara tinggal di rumah tampak sebagai siksaan baginya. Aku tak mengerti. Begitu juga Eka. Apalagi Ibu. Hampir setiap hari Ibu mengeluh tentang lelahnya bekerja sendiri di rumah (kami biasanya punya pembantu. Tetapi sejak Bapak pensiun, kami mengerjakan semua sendiri): mencuci, memasak, membersihkan rumah…
   Aku dan Eka memang bisa membantu. Tetapi tidak banyak yang bisa dikerjakan lantaran kesibukan kami masing-masing: aku belajar untuk ujian akhir SMA, sementara Eka punya kerja sambilan di sebuah majalah remaja, di samping kegiatannya yang rutin sebagai mahasiswa.
   "Mungkin ini yang namanya penyakit tua, ya…. Merasa tidak berdaya, merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, mungkin ini yang sedang menyerang bapakmu," begitu kata Ibu suatu hari. Nada suaranya tegas, keras, dan wajahnya merengut. Kehabisan senyum. Aku tak bisa bilang apa-apa. Mungkin tepatnya, tidak berani. Ibu lebih berhak: Ibu yang kenal Bapak lebih baik ketimbang kami, anak-anaknya. Bukan begitu? Meski kalau mesti bersikap jujur, aku mulai memikirkan ucapan Ibu. Mungkin Ibu benar. Bapak yang sekarang sudah bukan bapak yang hebat, bapak yang tindakannya selalu tepat. Bapak yang sekarang adalah bapak yang renta, yang tak tahu harus berbuat apa kecuali salah tingkah sendiri. Buatku, itu mengherankan.
   Pada Eka, kuceritakan apa yang kurasa. Dia memandangku lama sekali sebelum menjawab. Ini di luar kebiasaannya. Kutepuk lengannya, "Hei, kok diam saja, sih? Pakai melotot lagi!"
   Dia menghela napas panjang, "Wid, kamu nggak punya hak ngomong begitu tentang Bapak…" katanya perlahan. 
   "Tidak punya hak? Kok kamu bisa bilang begitu?" aku memang biasa berkamu-kamu dengan Mbakku yang cuma satu ini.
   "Kamu kan nggak tahu apa yang ada dalam pikiran Bapak. Kamu nggak tahu mengapa Bapak memilih menolak pekerjaan atau pun meminjamkan uang pada orang lain. Dan aku yakin BApak punya pertimbangan sendiri yang tidak kamu ketahui, yang tak bisa dia ceritakan. Kamu kan tahu, Bapa itu seperti apa…." katanya. Aku termangu. Tak tahu harus bilang apa: membantah omongan Eka, atau memikirkannya. Kepalaku mendadak pusing. Pusing sekali sampai tak bisa menangkap omongan Eka seterusnya.
   Malam harinya aku tak bisa tidur. Apa yang diucapkan Eka terus terngiang di telinga. Pikiran ini kok rasanya kusut sekali. Bayang-bayang Bapak yang salah tingkah dan ibu yang mengeluh terus, mondar-mandir di mata. Tapi, tiba-tiba bayang-bayang itu terputus oleh nyala lampu yang mendadak muncul dari ruang tengah. Ibu sudah bangun? Jam berapa sekarang? Kudengar langkah-langkah menuju dapur. Ibu mungkin perlu bantuan. Aku bergegas bangun.
   "Wid, mau ke mana kamu?" tangan Eka mencekal kaosku. Rupanya dia tahu aku tak bisa tidur (maklum kami tidur seranjang).
   "Bantu Ibu," jawabku pendek sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya. Dia malah menarik lebih keras.
"Tidak usah…" katanya lagi.
"Tapi…"
"Itu Bapak, Wid. Dia tidak mau diganggu." Bapak? Mulutku terbuka, terlongon: tak percaya pada telinga sendiri.
   "Bapak sedang mengerjakan pesanan terjemahan dari sebuah perusahaan penerbitan. Dan sambil bekerja, dia memasak air, merendam baju-baju kotor. Menjelang pagi, Bapak mengepel ruang tamu, ruang tengah, semua." Seperti godam saja omongan Eka memukul telingaku. 
"Bapak…" aku tak tahu apa yang harus kukatakan lagi.
   "Wid, sudah. Tidur saja lagi!" Tidur? Oh, Eka sudah gila barangkali. Bapak bekerja begitu keras, eh aku malah disuruh tidur. Harusnya dia dan aku turut membantu! Aku mendorong lengannya, tapi ia menekan kian kuat.
"Wid, aku bilang tidur!"
"Tapi, Bapak perlu dibantu!" kulihat Eka menggeleng perlahan.
   "Bapak tidak mau dibantu. bapak ingin mengerjakan itu sendirian. Dia tidak ingin aku, kamu kecapaian, kehabisan tenaga untuk belajar. Tidak ingin ibu mengeluh terus…." Aku tak mengerti omongannya.
   "Aku tahu apa yang Bapak kerjakan tepat seminggu setelah dia pensiun. Tidak sengaja. Waktu itu aku mendadak dapat ide bagus untuk intro tulisanku. Aku bangun. Waktu membuka pintu, kulihat Bapak ke luar kamar. Dia bercerita sedikit tentang pekeraan barunya. Tapi dia tak bilang soal membersihkan rumah. Bapak berusaha agar aku tidak tahu. Dia memaksaku tidur. Aku menrut. Tapi dari lubang angin, klihat semua yang Bapak kerjakan: sehabis menggarap beberapa halaman terjemahan, Bapak membereskan dapur. Terus mengepel lantai…"
   "Tapi… Ibu?"
   "Ibu sudah terbiasa mengeluh. Dia juga sudah terbiasa dengan air yang selalu sudah matang, pakaian yang terendam dan lantai yang bersih selama Iyem masih ada. Begitu Iyem sudah tak di rumah ini lagi, tugasnya langsung diambil alih oleh Bapak sehingga Ibu tak sempat memperhatikan bahwa ada yang kurang di rumah," Eka melepaskan pegangannya. Tapi aku sudah tak berminat untuk bangkit. Rasanya aku baru disadarkan, betapa tololnya aku selama ini. Betapa…. Ah!
   Mendadak persoalan penolakan pekerjaan itu jelas: Bapak sudah punya pekerjaan lain yang lebih menguntungkan buat kami. Bapak bisa bekerja di rumah sambil membantu Ibu (meski yang dibantu tak pernah tahu akan hal itu). Dan lagi, mengapa pula memaksa Bapak bekerja di kantor lagi? Jangan-jangan itu melelahkan atau terlalu berat buat Bapak. Cuma Bapak saja yang tak mau mengeluh, tidak mau bilang apa-apa…. Aduh, Bapak!
   Pagi segera datang tanpa aku sempat menutup mata dan bermimpi. Kutemu Bapak yang sudah membaca koran pagi di ruang tamu. Diam-diam aku duduk di sampingya. Ia menoleh, tersenyum. Tangannya mengelus kepalaku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tidak juga dari bibirku (aku tak sanggup bersuara!). Tapi aku tahu betapa dia begitu menyayangi kami. Dan aku berharap, dia tahu aku tak akan pernah menganggapnya renta, dan salah tingkah. Tidak akan pernah, Pak.

Daddy,
thank you for being my daddy
may God bless you, help you
forever.



Pernah dimuat di majalah HAI, pada suatu masa di tahun 1990-an.

Tuesday 19 April 2011

Yang Teraniaya


“Tolong aku, tolong! Dia menganiaya aku.”
“Suamimu?”
“Ya! Kejam sekali, dia! Kau temani aku ya?”
“Siap! Ke rumah sakit? Polisi?”
“Aku langsung ke Komnas HAM Perempuan saja.”
“Baik, aku langsung ke sana… Apa yang ia lakukan padamu?”
 "Ah, sakit! Sakit!
“Fisik?”
“Hatiku! Hatiku yang disiksa!”
“Oh, itu aniaya psikis! Sama buruknya dengan aniaya fisik…. Apa katanya?”
“Bukan, bukan katanya…. Tapi perbuatannya!”
“Lho, tadi katanya psikis…”
“Iya, perbuatannya bikin hatiku sakiiiit!”
“Apa? Apa yang ia lakukan padamu?”
“Dia main dengan perempuan lain. Punya simpanan! Aku mau adukan hatiku yang hancur dan robek-robek ini pada ibu-ibu yang ada di Komnas. Sudah, jangan banyak tanya! Kamu sampai mana? Aku sudah di ruang tamu Komnas HAM Perempuan, nih!” 

Wednesday 16 February 2011

PENGANTIN BARU

Penerbit: Editum
Kata Pengantar oleh Putu Fajar Arcana

Setelah mundur berkali-kali (karena saya selalu punya alasan untuk menunda dan tak menyelesaikannya sesuai janji pada diri sendiri) akhirnya buku kedua saya terbit juga. PENGANTIN BARU, judulnya. 
Berisi 38 cerpen pendek dan beberapa malah sangat pendek. Ada yang sempat dilansir di blog ini dan facebook. Tetapi yang belum pernah ditampilkan pun, lumayan jumlahnya. :D

Hampir semua cerita ini ditulis ketika saya sedang tak bisa tidur di malam hari. Kesamaan lain, hampir semua bercerita tentang teman, kenalan dan orang 'asing' yang saya temui pada suatu hari, suatu masa. Cerita mereka -menurut saya- begitu menarik, dan tak tahan kalau disimpan sendiri.

Misalnya saja lelaki muda  yang ada di cerpen Pertemuan Pertama.
Kami bertemu di samping gereja, di Menteng. Dalam sekejap, ia bercerita soal masa kecilnya yang luarbiasa. Atau perjalanan singkat Tur dan Jumadi sebagai Pengantin Baru. Atau cerita tentang seorang lelaki muda yang terbelit cinta dalam cerpen Sang Penerbang.

Mereka, adalah orang-orang yang saya kenal.
Cerita mereka membuat saya belajar banyak hal.
Dan dengan menuliskan serta menerbitkannya dalam bentuk buku, saya berharap teman-teman bisa berkenalan dengan mereka. 

Bacalah satu cerita sebelum tidur. 
Bawalah dalam mimpi.
Dan semoga ketika bangun esok, ada yang membekas.
Menjadi catatan buat diri sendiri.

Demikianlah.

Salam,
r

Facebook: Inibuku
Twitter: @inibuku
Harga: Rp. 30 ribu (kalau beli di inibuku.com, dapat diskon)

Friday 28 January 2011

SATU SIANG, DI KARET


“Assalamualaikum warrahmatulahi wabarakatuh…Kami atas nama keluarga, mengucapkan terima kasih untuk kehadiran Anda semua…”
“Jadi kapan?”
“Semalam.”
“Jatuh?”
“Ya.”
“Lalu, hilang.”
“Begitulah.”
“Siapa yang sangka, ya...”
“Seumur kita sudah jalan duluan .”
“Berapa anaknya?”
“Tiga. Masih kecil-kecil.”
“Kasihan…”
 “Hm…”


“…. Kami, meminta ketulusan dan kerelaan Anda semua untuk memaafkan segala kekurangan, kesalahan serta kekhilafan almarhum semasa hidupnya…”
“Ngomong-ngomong, di mana kau sekarang?”
“Kantor baru. Tunggu, tunggu… ini kartu namaku.”
“Oh, oh, hebat! Kantor baru, jabatan baru, BB baru…Jangan-jangan...”
“Istri juga baru!”
“Kau? Serius? Wah, aku tidak tahu sama sekali! Kapan?”
“Baru! Belum lama.”
“Gimana, gimana?”
“Hmm, luar biasa.”
“Gila!”
“Memang!"
 "Pantas banyak yang suka buka cabang di lain hati!”
“Hahahahaha, coba sendiri sajalah!”


“Apabila ada di antara saudara yang terhutangi, atau belum tuntas urusannya dengan almarhum, kami selaku keluarga akan segera melunasi dan menyelesaikannya sesegera mungkin....
“Orang mana?"
"Dekat sini. Teman kantor."
"Anak buah?"
"Begitulah."
"Wah, wah, wah..."
"Kau bagaimana?"
"Masih sama yang itu juga."
"Sudah berapa puluh tahun? Betah amat!"
"Ya, mau gimana lagi? Kau punya untukku?"
"Ada! Ada! Mau?"
"Boleh! Kapan?"
"Kapan saja kau mau dan siap."

“Astagfirullah Alaziiiim!”
    "Mantap!"


Oktober 27, 2004