Saturday, 14 April 2012

Di Hari ke 89.765

Ia tahu ini hari Minggu. Karena begitu banyak anak berlarian ditemani menyerbu masuk rumahnya.

Berteriak-teriak dengan suara nyaring, menganggap rumahnya adalah tanah lapang, ruang bermain, tempat mereka bisa berkejaran, bermain sembunyi, atau berguling-guling. Lantai rumahnya memang dingin, bersih. Siapa pun tergoda untuk merasakan sejuknya di telapak kaki.

Ia tahu ini hari Minggu. Karena lewat sudut mata ia bisa melihat anak-anak dengan suara lantang itu ditemani ayah dan ibu. Bukan bapak dan ibu guru.
Ayah dan ibu masuk begitu saja. Tak menoleh lagi padanya. Mungkin bosan. Mereka sudah pernah ke sini bertahun lalu. Ketika mereka seumur anak-anak itu. Ketika guru memerintahkan membuat catatan tentang dia. Apalagi yang baru sekarang? Tak ada.

Ia tahu, setelah hari ini lewat, besok akan sepi. Rumahnya ditutup sehari seminggu. Tapi apa bedanya hari ini dan besok dan ribuan hari yang lalu? Ia tetap di sini: di samping pintu masuk, di sebelah loket karcis yang hanya memungut dua ribu rupiah untuk sehari penuh berkeliling di rumahnya ini. Sesekali ada yang menoleh ke arahnya, menyentuhnya. Memotret. Tapi itu saja.

Puluhan ribu hari yang lalu, ia menikmati berpasang-pasang mata menatapnya dengan kagum. Telinganya jelas menangkap bahasan mereka tentang dirinya. Bukan saja cara ia diciptakan, tapi siapa yang ia gambarkan. Tak henti ia dibicarakan.

Tiba-tiba kakinya terasa hangat. Sepasang tangan meraba jemari kakinya. Seorang anak sedang menyentuh kuku-kuku kakinya, sambil membaca namanya. Lalu mengangkat kepala. Tiba-tiba ia ingin menangis: mata anak itu mengingatkannya pada sepasang mata dari ribuan hari lalu. Diam-diam ia berharap, anak ini akan kembali menjadikannya istimewa. Bukan pembatas pintu masuk dan ruang koleksi tanpa pintu yang ada di belakangnya.

Ia, Pradnya Paramitha.