Acara wisuda sarjana baru, sedang berlangsung di
balairung.
Ibu saya hadir. Tetapi saya tak ada di sana. Saya di
sini.
Bersamanya.
Pada
suatu malam, sebulan lalu, di ruang tengah, saya merapikan skripsi yang penuh
catatan dan komentar dari dosen pembimbing. Dia, duduk diam-diam di hadapan
saya. tidak bersuara. Saya yang menyuruhnya begitu.
Sebenarnya
tidak enak memaksanya diam, karena itu bukan hal mudah untuknya. Tetapi apa
boleh buat, kalau dibiarkan dia akan mengganggu saya dengan suaranya yang tipis
tapi tajam itu. Belum lagi tawanya yang keras, menyakitkan telinga. Skripsi ini
sudah dua kali lewat deadline. Tetapi berkat kebaikan hati dosen pembimng, saya
masih mendapat kesempatan perpanjangan waktu. Kalau yang satu ini tidak juga
selesai, maka runtuh sudah harapan Ibu punya anak sarjana.
Sepi
sekali.
Di
antara kami cuma ada bunyi tuts keyboard
laptop saya. ketika melirik ke arahnya, ternyata masih pada posisi duduk yang
sama. Menundukkan kepala, wajahnya tak terlihat, tangan terlipat di meja.
“Tidak
enak juga kalau terlalu sepi, ya,” saya memulai percakapan. Tak tahan
melihatnya diam begitu. Dia tidak bergerak. Tetap duduk tegak dengan mata lurus
ke bawah meja.
“Ayo,
bicara. Cerita apa saja.”
Dia mengangkat wajahnya sambil
menggeleng. “Hari ini aku tidak punya cerita,” katanya. Suaranya tipis,
melayang di ruang tengah.
Tiba-tiba
dia bangkit dan pergi begitu saja. Hingga pagi ia tak kembali lagi. Saya
sendirian bekerja hingga matahari menembus tirai jendela. Ibu bangun. Sambil
berjalan menuju dapur, ia memeluk saya dan sekilas mencium ubun-ubun. Saya
tahu, sebentar lagi akan datang secangkir kopi susu dan roti bakar.
*
Saya
terbangun tengah malam setelah tidur cukup lama seusai bimbingan sore tadi.
Seperti kemarin, rumah sudah sepi. Hanya tinggal lampu di luar rumah dan dapur
yang menyala. Ibu sudah tidur sejak tadi, tapi ia selalu membiarkan dapur
benderang. Siapa tahu ada yang mau makan di tengah malam, katanya. Dan saya
lapar. Semoga di kulkas ada makanan yang bisa langsung masuk perut tanpa harus
dipanaskan lagi.
Belum lagi sampai di dapur, saya sudah melihatnya
duduk di kursi yang kemarin.
“Jangan
duduk dalam gelap,” saya menyalakan lampu ruang tengah. Dia tersenyum. “Ada
cerita apa hari ini? Dia mengangkat bahu, sambil memamerkan giginya yang putih.
Rambutnya yang panjang melewati bahu, disibakkan.
“Lapar,
temani aku makan,” saya mengajaknya dan ia menurut dengan bangkit menuju dapur.
Dia melompat, duduk di atas meja dapur Ibu. Kakinya yang mungil menjuntai, berayun-ayun.
Ia menggumamkan sebaris nada. Entah lagu apa. Kepalanya mengangguk-angguk.
“Riang
sekali kamu malam ini. Ayo cerita! Apa yang membuatmu begitu gembira?” Dia
memandan saya dengan matanya yang bulat dan besar itu, tak percaya
sayamemintanya bercerita.
“Nanti
tidak disuruh diam lagi?” ia bertanya. Setiap kali ia bersuara, saya selalu
terperangah. Suaranya seperti menerawang bak kain saringan tahu. Tidak bulat.
Tidak lantang. Mungkin lebih tepat disebut goresan bunyi.
“Tidak.
Aku siap mendengar,” saya memandangi roti sisa tadi pagi, satu-satunya pilihan
makanan saat ini.
“Aku
senang. Aku jatuh cinta!” katanya dengan suara yang lebih lembut, nyaris tak
terdengar.
“Oh,
ini menarik! Dengan siapa?” saya ingin tahu.
“Aku
tidak mau bilang!” katanya.
“Curang.
Kamu sudah memberi intro yang begitu menarik, lalu diputus begitu saja. Ayo,
dengan siapa?” saya mendesak, “Kamu cantik. Pasti yang kau taksir itu juga
tampan. Orang sini?”
Dia mengangguk.
“Siapa?
Aku kenal dia?”
Dia tersenyum.
“Beri
aku ciri-cirinya. Mungkin bisa kutebak,” saya sungguh penasaran.
Dia malah tertawa keras,
mengumandangkan suaranya yang aneh itu. Pekak telinga ini.
“Jangan
ribut, ini sudah malam!” saya mengingatkan dia agar menahan tawanya. Tetapi ia
tak juga berhenti. Terus saja ia tertawa. Saya jengkel.
“Diam!”
terpaksa saya saya membentaknya. Kepala jadi pusing mendengar tawanya yang
keras itu. Ia tersedak. Tawanya berhenti. Matanya membelalak. Terkejut
mendengar suara saya yang cukup keras. Terutama untuk ukuran malam hari.
“Aku
suka mendengar kau tertawa, cerita. Tetapi jangan terlalu keras. Kau harus
tahu, suaramu itu menyakitkan telinga!” buru-buru saya memegang tangannya,
mencegahnya untuk tidak menangis.
“Aku
benci perempuan cengeng, kau tahu itu.” Dia mengangguk, tangannya menyibak
rambut yang jatuh menutupi wajah.
Saya berbalik ke ruang
tengah, menyalakan televisi, sementara mulut mengunyah roti yang tak lagi
kenyal.
“Sini,
duduk,” saya mengajaknya menikmati berita. Sudah jam satu pagi.
Saya biarkan dia diam.
Penyiar televisi dengan muka lelah itu membacakan berita yang sudah saya dengar
sebelum tidur tadi. Bosan. Tapi tak ada pilihan lain.
“Dia
menciummu?”
Matanya membelalak mendengar
pertanyaan saya.
“Siapa?”
tanyanya.
“Laki-laki
yang kau cintai itu: menciummu?”
Dia menggeleng.
“Kau
pernah mencium pacarmu?” tiba-tiba dia bertanya. Saya terkikik.
“Pacar
pernah, bukan pun pernah.” Dia –lagi- membelalakkan matanya. Heran dan jengkel
mendengar saya tertawa.
“Itu
biasa…”
“Tapi
kau cinta pada perempuan itu, maksudku yang bukan pacarmu tapi kau cium itu?”
ia bertanya sambil menyorongkan wajahnya ke arahku.
“Tidak.
Tidak perlu cinta. Aku suka, dia bersedia, aku mau dia senang…. Langsung!” saya
melihatnya mengerutkan dahi. Tak setuju.
“Ah,
jangan begitu! Berciuman itu sangat menyenangkan!” saya menyorongkan bibir ke
arahnya. Dia mundur. “Bibirku yang tebal ini sangat menggoda banyak perempuan.
Dicium, digigit, diajak bermain dengan lidah, semuanya. Pertemuan bibirku dan
bibir perempuan selalu mengasyikkan. Rasanya seperti ada aliran listrik yang
kuat. Jantung berdebar lebih cepat. Kadang berkeringat. Dan tentu saja,
bernafsu. Kelebihan satu menit, gerbang-gerbang surge terbuka!” saya tertawa.
Dia diam saja.
“Mau
kucium?” sekali lagi saya menyorongkan wajah ke arahnya. Dia kaget, melompat
mundur. Saya tak bisa menahan tawa. Dan saat itu juga ia bangkit, meninggalkan
saya. Lagi.
*
Saya
sedang berusaha tidur ketika kaki terasa dingin seperti terbungkus es. Dia penyebabnya:
diam-diam berdiri ujung tempat tidur. “Dari mana saja kau? Dua minggu tidak
muncul. Skripsiku sudah selesai, tahu!” Kamar yang gelap membuatku sulit melihat
wajahnya. Tersenyumkah dia?
“Mau
tahu pacarku?” katanya tiba-tiba, mengabaikan berita yang saya sampaikan. Saya
langsung duduk, “Siapa?” Dia melangkah ke luar kamar, tak menjawab pertanyaan.
Terpaksa saya mengikutinya.
“Ayo,
beritahu aku!” saya mendesak. Dia menempelkan dagu di meja. Tak tersenyum.
Matanya memandangi saya. tajam. Lalu ia membuka mulutnya, berbisik, “Kau.”
Tiba-tiba jantung saya
berdebar kencang. Kaus di badan bergetar karenanya.
Ada apa ini? Saya mencoba
menghilangkan rasa gugup dengan tertawa keras.
“Kau
serius?” saya bertanya di sela tawa, mencari matanya. Saya ingin tak percaya,
tetapi ia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia memandang saya dengan
wajah heran, tak mengerti, mengapa pernyataan cintanya yang serius itu saya
sambut dengan tawa keras dan panjang. Ia diam, tak ikut tertawa. Saya tersedak.
Tawa saya terhenti mendadak. Sekarang ia duduk tegak di depan saya. Diam.
“Ini
serius?” saya bertanya sekali lagi setelah setengah mati melenyapkan batik
akibat tersedak. Dia mengangguk. Saya menarik napas dalam-dalam.
“Kau
cinta padaku?” tanyanya. Sesak napas mendadak datang. Saya tak tahu harus
menjawab apa. Saya suka memandangi wajahnya, rambutnya yang panjang, bibirnya
yang mungil. Tapi cinta? Saya tidak tahu apakah itu bisa dibilang cinta. Saya
tak bisa menjawab pertanyaannya yang sederhana itu.
“Kau
tidak cinta padaku,” katanya dengan suara yang sangat lemah. Nyaris tak
terdengar. Dia hampir menangis. Saya tak suka melihatnya begini. Dia bersiap
pergi ketika saya menangkap tangannya yang dingin, memaksanya duduk kembali.
Saya tahu dia enggan, tapi menurut juga. Saya menggigil. Dingin sekali.
Pertanyaannya terus menggema di kepala, tapi saya tetap tak tahu harus berkata
apa. Cinta padanya? Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Tetapi, lepas dari
soal cinta atau tidak, saya sangat ingin mencium bibirnya yang pucat, tanpa
warna itu.
“Aku
pergi saja,” katanya.
“Tunggu!”
saya menahannya. Dia memandangi saya dengan putus asa. Saya yakin dia tak tahu
apa yang saya inginkan. Tentu tak bisa, karena saya sendiri tak tahu apa yang
saya inginkan sebenarnya.
Tiba-tiba
saya memeluknya. Mengapa? Saya tak tahu. Lalu, tanpa bisa dikendalikan, telapak
tangan saya menangkap wajahnya yang mungil itu dan mencium bibirnya yang
mengatup rapat dan dingin itu. Dia mencoba melepaskan diri. Tetapi tangan saya
lebih kuat. Saya terus menciumnya hingga ia akhirnya berhenti meronta.
Perlahan, tangannya yang juga dingin itu, memeluk leher saya. Bibirnya mulai
membuka, memberi jalan pada lidah saya yang memaksa masuk sejak tadi. Dan pada
detik itu juga, seketika ada udara yang menyeruak masuk ke rongga mulut saya.
Dingin dan pahit, deras menerjang kuat hingga tenggoran seakan terluka. Di saat
itu, ada cairan asin mengalir di sela-sela gigi. Bibir saya terasa perih:
giginya yang tajam mencengkeram bibir saya. Belum pernah saya merasakan ciuman
seperti ini.
Dia
tak juga mengangkat kepala. Matanya terpejam rapat. Pelukannya begitu ketat.
Saya mencoba menarik lidah yang mulai beku karena udara dingin dan pahit yang
terus mengalir, yang menjelajah turun hingga ke ujung-ujung jari tangan dan
kaki. Terus menjalar, membuat kepala pening. Segalanya seakan berputar, mendesing.
Sekali lagi saya mencoba melepaskan diri, tetapi dia semakin erat memeluk. Saya
mulai sesak napas. Udara segar tak bisa masuk ke lubang hidung. Saya tidak bisa
bernapas. Tidak bisa! Saya menarik kepala, menjauh dari wajahnya. Saya mencoba
berteriak, berusaha sangat keras. Tidak ada suara yang keluar. Saya perlu
udara. Saya juga kedinginan, sangat. Sekuat tenaga saya mencoba melepaskan
tangannya dari leher saya. Sia-sia.
*
Siang
tadi sarjana baru diwisuda. Mereka berbaris rapi, pakai toga hitam. Ibu mewakili
saya karena saya tak ada di sana. Saya di sini.
Malam itu, setelah kami berciuman, saya tak lagi
bisa bernapas. Buat selamanya. Saya mati, begitu yang saya dengar.
Udara pahit yang dia biarkan masuk ke rongga mulut
saya, membawa saya ke dunianya. Ia meminta maaf karena itu bukan perbuatan yang
disengaja. Itu terjadi karena saya yang menginginkan, katanya lagi. Saya yang
memaksa.
“Aku
pikir kau tahu akibatnya,” dia menjelaskan. Sungguh saya tak tahu. Terpikirkan
pun tidak.
“Maafkan
saya,” katanya lagi, tangan saya ada dalam genggamannya yang tak lagi dingin
seperti kemarin. Saya mencoba tersenyum. Tetapi air mata yang mengalir.
“Maafkan
saya,” lagi ia berkata. Dia mendekatkan wajahnya. Dekat sekali. Bibirnya
menyentuh dahi, alis, bulu mata, pipi, hidung, bibir…dan kami berciuman lagi.
Lagi. Di hadapan kami ibu duduk sendiri, memeluk bantal yang basah, memandang
layar televisi yang sudah lama gelap.
Rawamangun, 3 Agustus 2002
Ditulis untuk Mak dan Grace yang selalu bersahabat
dengan mereka dari ‘negeri seberang’
dengan mereka dari ‘negeri seberang’
Pernah dimuat di kumpulan cerpen GALLERY OF KISSES