Thursday, 6 March 2014

maaf


Acara wisuda sarjana baru, sedang berlangsung di balairung.
Ibu saya hadir. Tetapi saya tak ada di sana. Saya di sini.
Bersamanya.

Pada suatu malam, sebulan lalu, di ruang tengah, saya merapikan skripsi yang penuh catatan dan komentar dari dosen pembimbing. Dia, duduk diam-diam di hadapan saya. tidak bersuara. Saya yang menyuruhnya begitu.
Sebenarnya tidak enak memaksanya diam, karena itu bukan hal mudah untuknya. Tetapi apa boleh buat, kalau dibiarkan dia akan mengganggu saya dengan suaranya yang tipis tapi tajam itu. Belum lagi tawanya yang keras, menyakitkan telinga. Skripsi ini sudah dua kali lewat deadline. Tetapi berkat kebaikan hati dosen pembimng, saya masih mendapat kesempatan perpanjangan waktu. Kalau yang satu ini tidak juga selesai, maka runtuh sudah harapan Ibu punya anak sarjana.

Sepi sekali.
Di antara kami cuma ada bunyi tuts  keyboard laptop saya. ketika melirik ke arahnya, ternyata masih pada posisi duduk yang sama. Menundukkan kepala, wajahnya tak terlihat, tangan terlipat di meja.
“Tidak enak juga kalau terlalu sepi, ya,” saya memulai percakapan. Tak tahan melihatnya diam begitu. Dia tidak bergerak. Tetap duduk tegak dengan mata lurus ke bawah meja.
“Ayo, bicara.  Cerita apa saja.”
Dia mengangkat wajahnya sambil menggeleng. “Hari ini aku tidak punya cerita,” katanya. Suaranya tipis, melayang di ruang tengah.
Tiba-tiba dia bangkit dan pergi begitu saja. Hingga pagi ia tak kembali lagi. Saya sendirian bekerja hingga matahari menembus tirai jendela. Ibu bangun. Sambil berjalan menuju dapur, ia memeluk saya dan sekilas mencium ubun-ubun. Saya tahu, sebentar lagi akan datang secangkir kopi susu dan roti bakar.

*

Saya terbangun tengah malam setelah tidur cukup lama seusai bimbingan sore tadi. Seperti kemarin, rumah sudah sepi. Hanya tinggal lampu di luar rumah dan dapur yang menyala. Ibu sudah tidur sejak tadi, tapi ia selalu membiarkan dapur benderang. Siapa tahu ada yang mau makan di tengah malam, katanya. Dan saya lapar. Semoga di kulkas ada makanan yang bisa langsung masuk perut tanpa harus dipanaskan lagi.
                  Belum lagi sampai di dapur, saya sudah melihatnya duduk di kursi yang kemarin.
“Jangan duduk dalam gelap,” saya menyalakan lampu ruang tengah. Dia tersenyum. “Ada cerita apa hari ini? Dia mengangkat bahu, sambil memamerkan giginya yang putih. Rambutnya yang panjang melewati bahu, disibakkan.
“Lapar, temani aku makan,” saya mengajaknya dan ia menurut dengan bangkit menuju dapur. Dia melompat, duduk di atas meja dapur Ibu. Kakinya yang mungil menjuntai, berayun-ayun. Ia menggumamkan sebaris nada. Entah lagu apa. Kepalanya mengangguk-angguk.
“Riang sekali kamu malam ini. Ayo cerita! Apa yang membuatmu begitu gembira?” Dia memandan saya dengan matanya yang bulat dan besar itu, tak percaya sayamemintanya bercerita.
“Nanti tidak disuruh diam lagi?” ia bertanya. Setiap kali ia bersuara, saya selalu terperangah. Suaranya seperti menerawang bak kain saringan tahu. Tidak bulat. Tidak lantang. Mungkin lebih tepat disebut goresan bunyi.
“Tidak. Aku siap mendengar,” saya memandangi roti sisa tadi pagi, satu-satunya pilihan makanan saat ini.
“Aku senang. Aku jatuh cinta!” katanya dengan suara yang lebih lembut, nyaris tak terdengar.
“Oh, ini menarik! Dengan siapa?” saya ingin tahu.
“Aku tidak mau bilang!” katanya.
“Curang. Kamu sudah memberi intro yang begitu menarik, lalu diputus begitu saja. Ayo, dengan siapa?” saya mendesak, “Kamu cantik. Pasti yang kau taksir itu juga tampan. Orang sini?”
Dia mengangguk.
“Siapa? Aku kenal dia?”
Dia tersenyum.
“Beri aku ciri-cirinya. Mungkin bisa kutebak,” saya sungguh penasaran.
Dia malah tertawa keras, mengumandangkan suaranya yang aneh itu. Pekak telinga ini.
“Jangan ribut, ini sudah malam!” saya mengingatkan dia agar menahan tawanya. Tetapi ia tak juga berhenti. Terus saja ia tertawa. Saya jengkel.
“Diam!” terpaksa saya saya membentaknya. Kepala jadi pusing mendengar tawanya yang keras itu. Ia tersedak. Tawanya berhenti. Matanya membelalak. Terkejut mendengar suara saya yang cukup keras. Terutama untuk ukuran malam hari.
“Aku suka mendengar kau tertawa, cerita. Tetapi jangan terlalu keras. Kau harus tahu, suaramu itu menyakitkan telinga!” buru-buru saya memegang tangannya, mencegahnya untuk tidak menangis.
“Aku benci perempuan cengeng, kau tahu itu.” Dia mengangguk, tangannya menyibak rambut yang jatuh menutupi wajah.
Saya berbalik ke ruang tengah, menyalakan televisi, sementara mulut mengunyah roti yang tak lagi kenyal.
“Sini, duduk,” saya mengajaknya menikmati berita. Sudah jam satu pagi.
Saya biarkan dia diam. Penyiar televisi dengan muka lelah itu membacakan berita yang sudah saya dengar sebelum tidur tadi. Bosan. Tapi tak ada pilihan lain.
“Dia menciummu?”
Matanya membelalak mendengar pertanyaan saya.
“Siapa?” tanyanya.
“Laki-laki yang kau cintai itu: menciummu?”
Dia menggeleng.
“Kau pernah mencium pacarmu?” tiba-tiba dia bertanya. Saya terkikik.
“Pacar pernah, bukan pun pernah.” Dia –lagi- membelalakkan matanya. Heran dan jengkel mendengar saya tertawa.
“Itu biasa…”
“Tapi kau cinta pada perempuan itu, maksudku yang bukan pacarmu tapi kau cium itu?” ia bertanya sambil menyorongkan wajahnya ke arahku.
“Tidak. Tidak perlu cinta. Aku suka, dia bersedia, aku mau dia senang…. Langsung!” saya melihatnya mengerutkan dahi. Tak setuju.
“Ah, jangan begitu! Berciuman itu sangat menyenangkan!” saya menyorongkan bibir ke arahnya. Dia mundur. “Bibirku yang tebal ini sangat menggoda banyak perempuan. Dicium, digigit, diajak bermain dengan lidah, semuanya. Pertemuan bibirku dan bibir perempuan selalu mengasyikkan. Rasanya seperti ada aliran listrik yang kuat. Jantung berdebar lebih cepat. Kadang berkeringat. Dan tentu saja, bernafsu. Kelebihan satu menit, gerbang-gerbang surge terbuka!” saya tertawa. Dia diam saja.
“Mau kucium?” sekali lagi saya menyorongkan wajah ke arahnya. Dia kaget, melompat mundur. Saya tak bisa menahan tawa. Dan saat itu juga ia bangkit, meninggalkan saya. Lagi.

*

Saya sedang berusaha tidur ketika kaki terasa dingin seperti terbungkus es. Dia penyebabnya: diam-diam berdiri ujung tempat tidur. “Dari mana saja kau? Dua minggu tidak muncul. Skripsiku sudah selesai, tahu!” Kamar yang gelap membuatku sulit melihat wajahnya. Tersenyumkah dia?
“Mau tahu pacarku?” katanya tiba-tiba, mengabaikan berita yang saya sampaikan. Saya langsung duduk, “Siapa?” Dia melangkah ke luar kamar, tak menjawab pertanyaan. Terpaksa saya mengikutinya.
“Ayo, beritahu aku!” saya mendesak. Dia menempelkan dagu di meja. Tak tersenyum. Matanya memandangi saya. tajam. Lalu ia membuka mulutnya, berbisik, “Kau.”
Tiba-tiba jantung saya berdebar kencang. Kaus di badan bergetar karenanya.
Ada apa ini? Saya mencoba menghilangkan rasa gugup dengan tertawa keras.
“Kau serius?” saya bertanya di sela tawa, mencari matanya. Saya ingin tak percaya, tetapi ia memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia memandang saya dengan wajah heran, tak mengerti, mengapa pernyataan cintanya yang serius itu saya sambut dengan tawa keras dan panjang. Ia diam, tak ikut tertawa. Saya tersedak. Tawa saya terhenti mendadak. Sekarang ia duduk tegak di depan saya. Diam.
“Ini serius?” saya bertanya sekali lagi setelah setengah mati melenyapkan batik akibat tersedak. Dia mengangguk. Saya menarik napas dalam-dalam.
“Kau cinta padaku?” tanyanya. Sesak napas mendadak datang. Saya tak tahu harus menjawab apa. Saya suka memandangi wajahnya, rambutnya yang panjang, bibirnya yang mungil. Tapi cinta? Saya tidak tahu apakah itu bisa dibilang cinta. Saya tak bisa menjawab pertanyaannya yang sederhana itu.
“Kau tidak cinta padaku,” katanya dengan suara yang sangat lemah. Nyaris tak terdengar. Dia hampir menangis. Saya tak suka melihatnya begini. Dia bersiap pergi ketika saya menangkap tangannya yang dingin, memaksanya duduk kembali. Saya tahu dia enggan, tapi menurut juga. Saya menggigil. Dingin sekali. Pertanyaannya terus menggema di kepala, tapi saya tetap tak tahu harus berkata apa. Cinta padanya? Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Tetapi, lepas dari soal cinta atau tidak, saya sangat ingin mencium bibirnya yang pucat, tanpa warna itu.
“Aku pergi saja,” katanya.
“Tunggu!” saya menahannya. Dia memandangi saya dengan putus asa. Saya yakin dia tak tahu apa yang saya inginkan. Tentu tak bisa, karena saya sendiri tak tahu apa yang saya inginkan sebenarnya.
Tiba-tiba saya memeluknya. Mengapa? Saya tak tahu. Lalu, tanpa bisa dikendalikan, telapak tangan saya menangkap wajahnya yang mungil itu dan mencium bibirnya yang mengatup rapat dan dingin itu. Dia mencoba melepaskan diri. Tetapi tangan saya lebih kuat. Saya terus menciumnya hingga ia akhirnya berhenti meronta. Perlahan, tangannya yang juga dingin itu, memeluk leher saya. Bibirnya mulai membuka, memberi jalan pada lidah saya yang memaksa masuk sejak tadi. Dan pada detik itu juga, seketika ada udara yang menyeruak masuk ke rongga mulut saya. Dingin dan pahit, deras menerjang kuat hingga tenggoran seakan terluka. Di saat itu, ada cairan asin mengalir di sela-sela gigi. Bibir saya terasa perih: giginya yang tajam mencengkeram bibir saya. Belum pernah saya merasakan ciuman seperti ini.
Dia tak juga mengangkat kepala. Matanya terpejam rapat. Pelukannya begitu ketat. Saya mencoba menarik lidah yang mulai beku karena udara dingin dan pahit yang terus mengalir, yang menjelajah turun hingga ke ujung-ujung jari tangan dan kaki. Terus menjalar, membuat kepala pening. Segalanya seakan berputar, mendesing. Sekali lagi saya mencoba melepaskan diri, tetapi dia semakin erat memeluk. Saya mulai sesak napas. Udara segar tak bisa masuk ke lubang hidung. Saya tidak bisa bernapas. Tidak bisa! Saya menarik kepala, menjauh dari wajahnya. Saya mencoba berteriak, berusaha sangat keras. Tidak ada suara yang keluar. Saya perlu udara. Saya juga kedinginan, sangat. Sekuat tenaga saya mencoba melepaskan tangannya dari leher saya. Sia-sia.

*

Siang tadi sarjana baru diwisuda. Mereka berbaris rapi, pakai toga hitam. Ibu mewakili saya karena saya tak ada di sana. Saya di sini. 
Malam itu, setelah kami berciuman, saya tak lagi bisa bernapas. Buat selamanya. Saya mati, begitu yang saya dengar.
Udara pahit yang dia biarkan masuk ke rongga mulut saya, membawa saya ke dunianya. Ia meminta maaf karena itu bukan perbuatan yang disengaja. Itu terjadi karena saya yang menginginkan, katanya lagi. Saya yang memaksa.
“Aku pikir kau tahu akibatnya,” dia menjelaskan. Sungguh saya tak tahu. Terpikirkan pun tidak.
“Maafkan saya,” katanya lagi, tangan saya ada dalam genggamannya yang tak lagi dingin seperti kemarin. Saya mencoba tersenyum. Tetapi air mata yang mengalir.
“Maafkan saya,” lagi ia berkata. Dia mendekatkan wajahnya. Dekat sekali. Bibirnya menyentuh dahi, alis, bulu mata, pipi, hidung, bibir…dan kami berciuman lagi. Lagi. Di hadapan kami ibu duduk sendiri, memeluk bantal yang basah, memandang layar televisi yang sudah lama gelap.
Kami berciuman lagi.

Rawamangun, 3 Agustus 2002
Ditulis untuk Mak dan Grace yang selalu bersahabat 
dengan mereka dari ‘negeri seberang’
Pernah dimuat di kumpulan cerpen GALLERY OF KISSES