Wednesday, 12 August 2009

24 X 60 X 60


Pagi


“Sayang, ayo bangun.”
“Hmmmm…”
“Ayo, ini sudah siang.”
“Hm, tambah lima menit lagi ya, Bu?”
“Tidak boleh.”
“Masih ngantuk, Bu.”
“Tentu! Kan semalam kamu tidur sangat lambat.”
“Bagaimana kalau tidak usah mandi saja, Bu?”
“Tidak mandi?”
“Ya, waktu mandinya bisa dipakai tidur sedikit lagi.”
“Ah, tidak bisa!”
“Kapan bukan Bapak yang mandi dulu?”
“Hari ini Bapak tidak ikut mengantar.”
”Jadi, dia berangkat siang?”
“Ya.”
“Yang nyetir Ibu?”
“Ya.”
“Aduh.”
“Kenapa?”
“Kalau begitu harus bangun sekarang.”
“Kenapa?”
“Karena Ibu nyetirnya lelet. Aku bisa betul-betul kesiangan nanti!”
“Oh, begitu?”
“Sarapannya boleh jambu air saja, Bu?”
“Mana bisa! Havermout. Ibu sudah buatkan.”
“Besok boleh jambu air?”
“Tidak bisa juga. Jambu air itu bukan buat sarapan. Ayo sudah, sana cepat mandi!”
“…”

(Sebal, sebal, sebal! Kenapa weker tidak berbunyi sesuai permintaan? Mengapa bisu pada saat sangat dibutuhkan? Dan mengapa aku harus terlelap kelewat batas? Mengapa semua terlambat bangun? Ah, bukan semua. Hanya aku dan anak tercinta. Suamiku, masih lelap. Ya, ya, ya, semalam ia pulang sangat larut. Kalimat yang sempat ia katakan sebelum tertidur pulas: mengalihkan tugas mengantar anak padaku. Nah, dengan bangun terlambat seperti sekarang, ditambah kemampuan menyetir yang kurang dari cukup, bisa dipastikan betapa terlambatnya kami tiba di sekolah nanti. Ampun!)


Siang


“Hai!”
“Hai.”
“Sedang apa?”
“Makan siang.”
“Tidak jemput dia ?”
“Lho, hari ini kan giliranmu.”
“Ya, tapi pagi ini kan aku yang menyetir. Berarti pulangnya kau yang jemput.”
“Hm, begitu ya? Tapi aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku terlanjur makan siang.”
“Ya, distop dulu saja. Nanti diteruskan lagi. Sekarang jemput anak kita dulu.”
“Tidak bisa. Aku di Pluit.”
“Pluit? Jauh sekali!”
“Coba restoran sea food baru.”
“Lalu, siapa yang jemput Adi?”
“Ya, kamu dong. Kan hari ini giliranmu.”
“Tidak bisa. Aku ada meeting dengan klien.”
“Kenapa tidak bilang dari tadi?”
“Aku pikir…”
“Begini, kalau aku yang jemput, berarti anak kita harus menunggu dua jam lagi. Pluit itu jauh. Tetapi kalau kamu berangkat sekarang, dia hanya perlu menunggu satu jam saja.”
“Jadi tetap aku yang harus menjemput?”
“Kalau lihat praktisnya, ya.”
“….”
“Halo! Halo! Hei! Halo!”
“….”

(Sebal, sebal, sebal! Ya, aku mau teriak sekeras mungkin. Mau banting telepon hingga hancur berkeping-keping! Tapi mana bisa? Ini telepon kantor. Kalau pun boleh dilempar hingga luluh lantak, tak akan mengubah apa-apa: aku tetap harus menjemput anak tercinta. Dan kalau sampai bisa kuhancurkan, apa kata orang nanti: Ada ibu-ibu kumat! Tidak tahan stres jadi ayan mendadak! Kalau memang maunya jaga anak, urus rumah, jangan ngantor. Sebal! Sebal! Sebal! Kepala sudah mau meletus, tapi mulut harus tetap senyum! Sebal, sebal, sebal! Eh, aduh... Atasan sibuk menyiapkan materi presentasi. Aku tak punya waktu untuk berlari ke Pasar Baru, menjemput anak di sekolah. Kalau menunggu sampai meeting selesai, bisa-bisa anakku menguap kepanasan di halaman sekolah... Betul-betul keterlaluan! Aku harus melakukan sesuatu. Dan cepat!)

“Halo, Mbak. Ini aku.”
“Oya. Ada apa?”
“Mau tanya saja. Apa jadwal meeting kita hari ini sudah fix?”
“Kenapa?”
“Hm, kelihatannya kami akan tiba terlambat di sana.”
“Aduh, terlambat berapa lama?”
“Sekitar satu jam…”
“Wah, sejam lagi dia sudah punya jadwal lain.”
“Bagaimana kalau di-reschedule saja, Mbak? Besok pagi, mungkin?”
“Dia benci meeting pagi-pagi. Besok siang penuh. Sore, jam empat masih kosong. Mau?”
“Saya cek dengan Atasan saya dulu, Mbak.”
“Sekarang?”
“Ya, sekarang juga.”


(Ayo, gerak cepat! Aku berlari, menemui atasan yang sedang memberi sentuhan akhir pada bibirnya. – “Bu, meeting diundur sampai besok sore, jam 4,” kataku. Dia mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Oh, dia jadi seperti Ratu Sihir dalam Snow White. Buru-buru aku bilang, “Ini permintaan klien.” Bohong! Bohong! Biar! Biar! Biar! Dia membuka agendanya. Mengamatinya –ah, serasa setahun lamanya! Untung belum tercipta alat pendeteksi isi hati. Kalau ya, bos bisa melihat betapa aku berteriak-teriak kegirangan melihat agendanya kosong pada jam empat! Hore! Lima menit kemudian, aku sudah di jalan, menjemput. Terlambat? Sudah pasti. )

“Sayang!”
“Hai, Bu!”
“Bajunya kok basah dan kotor begini?”
“Habis main, Bu.”
“Sudah makan?”
“Belum.”
“Belum?”
“Kan tadi pagi Ibu tidak kasih uang jajan.”
“Aduh, Sayang… Kok kamu tidak minta.”
“Takut.”
“Takut apa?”
“Takut Ibu marah.”
“Ah!”
“Tadi pagi, waktu kita berangkat, muka Ibu seperti harimau lapar.”
“Ah!”
“Iya, Bu! Kalau tidak percaya, lain kali aku bilang, kasih tahu Ibu. Biar Ibu bisa langsung lihat di cermin.”
“Ah!”


Sore


“Karena meeting kita diundur sampai besok sore, saya mau review sekali lagi. Ada beberapa hal yang membuat saya merasa kurang sreg.”
“Kapan review-nya?”
“Sekarang.”
“Sekarang?”
“Ya. Kenapa? Ada janji?”
“Tidak, Bu.”
“Di ruangan saya saja. Oya, tolong minta office girl pesan pizza. Ajak anakmu makan juga. Dia pasti lapar.”
“Baik.”

(Oh, selamat tinggal harapan pulang cepat, mandi air hangat dan tidur lebih awal. Meeting berakhir jam sepuluh malam. Anakku tertidur di sofa. Masih dengan seragam sekolahnya. Semoga tak ada pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan. Kalau pun ada, semoga ia sempat mengejakannya saat aku meeting dengan tim kreatif tadi. Semoga ia jauh dari ulangan matematika dan IPS --dua pelajaran yang paling sulit ia kuasai. Semoga-semoga-semoga besok gurunya rapat! Sekolah libur! Semoga!)


Malam


“Hai.”
“Hmm. Baru sampai?”
“Ya. Sudah makan?”
“Sudah. Kamu?”
“Sudah juga.”
“Kalau begitu, ayo tidur.”
“Bagaimana kalau kita duduk di luar, mengobrol?”
“Ngantuk.”
“Ngantuk?”
“Capek. Pluit ternyata jauh.”
“Oh. Kalau begitu, besok saja ya. Kita ngobrol pagi-pagi. Habis mengantar Adi. Sambil minum kopi”
“Hmm, lusa saja.”
“Kenapa?”
“Besok aku harus ke Pulo Gadung. Lebih enak berangkat dari rumah.”
“Tapi lusa aku harus ke Surabaya. Sampai Senin.”
“Oh. ”
“Jadi, minggu depan?”
“Hm…”
“Eh, besok kau ke Pulo Gadung, berarti aku lagi yang mengantar?”
“Hm…”
“Sayang…”
“…”


(Dia, suamiku, sudah lelap. Aku tidak bisa tidur hingga malam lewat. Hari yang baru akan tiba beberapa jam lagi. Jadwal yang penuh sudah menunggu. Kapan surutnya pekerjaaan ini? Mengapa hari berlari begitu cepat? Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Mengantuk yang amat sangat. Mungkin sebaiknya aku tidur sebentar saja.)


Pagi


“Sayang…”
“Hmm…”
“Sudah jam tujuh.”
“Jam tujuh? Aduh, terlambat!”
“Sudah bukan terlambat lagi, Sayang. Kita anggap saja ini hari libur nasional keluarga kita.”
“Aduh!”
“Anakmu melompat kegirangan melihat kau belum bangun.”
“Aduh!”
“Kenapa aku tidak dibangunkan?”
“Sayang, ternyata cuma kau yang bisa bangun pagi.”
“…”



pernah dimuat di Good Housekeeping Indonesia
edisi Oktober 2003

No comments:

Post a Comment