Saturday, 29 May 2010

MENANTU

Desember 1993

"Jadi kamu mau dikawini si Jawa itu?"
"Ya."
"Aduh, hitamnya dia."
"Tidak apa-apa."
"Nanti anakmu jadi hitam kelam."
"Tidak apa-apa."
"Adatnya pasti beda lagi dari keluarga kita."
"Pasti."
"Sebetulnya aku lebih senang kalau kamu kawin sama orang sebangsa papamu."
"Maksud Mama, Cina?"
"Ya, pintar-pintar mereka itu."
"Tidak ada yang nyangkut."
"Tidak ada atau memang kamu yang tidak mau mencari? Coba itu anaknya teman Papa yang kemarin ke rumah. Pintar dia. Lulusan luar negeri. Barang bagus itu."
"Aku tidak suka."
"Apanya?"
"Semuanya! rambutnya kaku. Mukanya berminyak. Kulitnya terlalu putih, seperti perut cicak."
"Ah, itu kan cuma soal rupa!"
"Kalau diajak bicara, pasti yang dibahas bisnis terus. Lainnya, buta."
"Bodoh! Justru itu sudah lebih dari cukup! Pintar cari uang. Bisa kasih makan kamu dan anakn-anak nanti. Orang tuanya juga baik."
"Terlalu Cina."
"Lalu apa salahnya?"
"Justru itu salah terbesarnya, Seperti keluarga Papa."
"Maksud kamu?"
"Ya, begitu itu... Orang seperti dia merasa kita bisa jadi kenalan tapi tidak pantas jadi teman dekat. Apalagi jadi istri! Cari perkara saja."
"Kamu mengada-ada! Papamu tidak begitu!"
"Ini bukan soal Papa, Ma. Ini soal anaknya teman Papa itu."
"Terlalu berprasangka, kami."
"Tidak. Ini betulan. Saya pernah dengar ibunya ingin cari menantu yang sebangsa. Lebih baik, katanya."
"Ah..."
"Mereka sejenis keluarga Papa, Ma."
"Apa maksud kamu?"
"Ya, begitu itu... Masak Mama lupa bagaimana kakak perempuan Papa memperlakukan kita? Setiap kali kita datang ke rumahnya, dia tak pernah mengajak Mama bicara. Lalu anak-anaknya tidak pernah mau mengajak aku dan adik-adik bermain. Lalu ingat kaka laki-laki Papa? apa pernah dia mengundang kita ke rumahnya? Lalu sepupu Papa, yang selalu bicara pakai bahasa Hokian setiap kali ada kita di sekitarnya?
"Itu cuma kebetulan saja."
"Sudahlah, Ma... Apa ma lupa juga waaktu kita ketemua mereka semua di Pasar Baru? Mereka pura-pura tidak lihat. Dan waktu kita memaksa diri, mendekat dan menegur, tidak ada satu pun yang tersenyum. Tangan kita melayang di udara karena tak seorang pun mau bersalaman."
"..."
"Ma, saya tidak mau punya urusan apa pun dengan Cina-Cina itu. Bosan dibilang anak campuran, tidak murni. Memangnya bensin?"
"Kamu menyalahkan Mama kawin dengan Cina? Menyesal Papamu Cina?"
"Pernah. Tapi... sebenarnya lucu jadi anak campuran."
"Lucu?"
"Jaman SD dulu, teman sekelas Cina semua. Waktu ditanya orang apa, saya jawab, Cina. Mereka tidak percaya: Cina kok hitam. Waktu lihat kalian berdua datang ke sekolah ambil raport, mereka bilang aku pribumi. Sejak itu, mereka berhenti mengajak bermain. Di SMP, yang tak ada murid Cina-nya, ditanya lagi orang apa. Saya bilang orang Timor. Mereka juga tidak percaya. Ambon kok sipit. Waktu mereka lihat mereka datang lagi, saya dipanggil Cina. Tak pernah diajak bicara lagi."
"Kenapa tidak bilang? Itu rasialis! Saya bisa lapor Kepala Sekolah!"
"Ah, kalau waktu itu cerita dan ketahuan, hidup akan lebih susah lagi. Tidak penting. Yang harus kita lalulkan adalah mulai membahas urusan begini bersama Papa. Lalu kita serang kakak dan adik-adiknya itu."
"Jadi itu alasan kamu tidak mau kawin dengan Cina."
"Tidak juga. Saya mau kawin dengan si Jawa ini karena dia tidak pernah membahas kita orang apa. Dia terima saya apa adanya. Keluarga juga. Itu saja, Ma."
"Kamu menyesal lahir sebagai anak campur."
"Bukan itu."
"Saya cuma ingin hidup yang lain dari yang Mama jalani."
"Sayang, kawin dengan siapa pun, konsekuensinya sama saja."
"Yaitu?"
"Suka tidak suka, kau kawinin juga keluarganya."
"Ya, itu saya tahu."
"Baguslah."
"Jadi kamu siap kawin dengan si Jawa hita itu?"
"Ya."
"..."

April, 1996
"Adikmu mau kawin."
"Dengan siapa?"
"Siapa lagi? Anak Bandung itu."
"Oh, dia. Baguslah."
"Kamu setuju?"
"Ya, berarti tercapai impian Mama punya menantu orang Cina."
"Jangan menyindir."
"Siapa yang menyindir? Ini tulus, Ma!"
"Sejak kawin dengan si Jawa itu, kamu jadi pintar bicara."
"Ah, ini tidak ada hubungannya dengan dia. Saya hanya ingat obrolan kita waktu saya mau kawin dulu."
"Yang mana?"
"Mama lebih suka saya dapat Cina ketimbang si Jawa hitam."
"Oh, itu."
"Ya, itu."
"..."
"Kenapa? Mama tidak suka?"
"Pacar adikmu itu anak baik, tapi..."
"Tapi apa?
"Orang tuanya..."
"Kenapa?"
"Sombobg sekali. Mereka tidak mau datang ke mari. Apa mereka lupa kalau anak mereka itu laki-laki? Tidak ad dalam sejarah keluarga kita, pihak perempuan datang lebih dulu ke pihak laki-laki. Apa mereka tidak paham soal itu?"
"..."
"Kenapa kamu diam? Kamu setuju dengan mereka?"
"Tidak. Tetapi saya yakin, mereka punya alasan untuk tidak datang ke mari. Setidaknya untuk saat ini. Mungkin sibuk."
"Tidak mungkin. Mereka itu sepasang pedagang yang bisa keluyuran ke mana saja, kapan saja. Mustahil dan keterlaluan kalau sampai tak sempat mampir ke sini untuk kenalan."
"..."
"Mama tidak suka kamu diam begitu."
"Saya berpikir."
"Ini bukan waktunya berpikir. Ini waktu untuk merasakan. Mama khawatir..."
"Apa?"
"Orang tuanya kurang setuju anaknya memilih adikmu."
"Ah, mereka sudah kenal dia lebih dari emat tahun. Kalau tidak suka harusnya dari dulu-dulu. Bukan sekarang, waktu dua burung celepuk itu sudah mau kawin."
"Itulah!"
"Itulah apa, Ma? Ada yang saya tidak tahu?
"Menurutadikmu, sikap mereka berubah sejak anaknya bilang mau kawin."
"Berubah bagaimana?"
"Mereka jadi tidak ramah lagi pada adikmu."
"Hm..."
"Hmm, hmmm, apa maksudmu?"
"Mungkin mereka pikir anaknya cuma main-main saja, sambi berharap suatu hari nanti hubungan itu akan selesai. Lalu anaknya akan kawin dengan perempuan lain."
"Artinya?"
"Saya tidak mau bilang."
"Apa?"
"Saya yakin, Mama tahu alasannya."
"..."
"Ya, saya tahu mama tahu."
"Dasar..."
"Mama: jangan diteruskan! Sudah!"


November 1999
"Halo, kamu ada di mana?"
"Di rumah."
"Adikmu akan ke sana sebentar lagi."
"Oke."
"Mungkin mengingap."
"Boleh."
"Mungkin sampai minggu depan."
"Tetap boleh. Tapi kenapa?"
"Biar dia cerita sendiri padamu."
"Ah, sudahlah. Ada apa ini?"
"Adikmu ribut dengan mertuanya."
"Oh, kalau sampai mengungsi, berarti ribut skala besar. Soal apa?"
"Mertuanya ingin cepat punya cucu. Tapi adikmu belum ingin."
"Taaai bukan berati tidak mau, kan? Apalah artinya menunggu setahun lagi."
"Buat mertua adikmu, tahun depan itu waktu yang bagus untuk melahirkan."
"Kenapa?"
"Tahun naga emas. Tahun bagus untuk eklahiran. Apalagi kalau bayi laki-laki."
"Astaga, hanya itu masalahnya?"
"Hanya itu? Justru itu yang buat mereka ribut setiap hari. Dan pagi ini, terjadi lagi. Adikmu sudah tidak tahan. Dia putuskan untuk keluar dari rumah mertuanya. Lakukan sesuatu untuk adikmu!"
"Ah, dia sudah tahu ap ayang harus dilakukan."
"Apa?"
"Nurut sama mertua. Gampang."
"Dia tidak mau! Tidak bisa!"
"Bodoh, dia harus mau, Ma!"
"Kamu ini sembrangan sekali kalau bicara. Bayangkan kalau kamu jadi dia!"
"Saya akan nurut."
"Kamu bicara begitu karena tidak kawin sama anak itu."
"Waktu mau kawin sama Cina Bandung itu dia sudah harus tahu bakal seperti apa hidupnya. Kalau pusingnya baru sekarang, salah besar. Mama sendiri yang bilnag, kawin dengan siap asaja konsekuensinya sama."
"..."
"Ma..."
"Dasar...."
"Mama, sudah!"

(pernah dimuat di kumpulan cerita CHINA MOON, EKI Press 2003)

No comments:

Post a Comment