Saturday, 21 February 2009
SEKOLAH (serial catatan kemarin)
Mak pulang agak sore. Aku sudah melihatnya sejak sepedanya masuk gang, menuju rumah kami. Aku berlari ke luar rumah. Ketika sudah dekat, aku lihat ada beberapa kantong kertas diikat tali, tertumpuk di boncengan sepedanya.
Mak turun dari sepeda, lalu kami berjalan beriringan menuju rumah. “Sekolahnya, Mak?” aku tak sabar lagi, aku harus tanyakan yang satu itu. Mak mengangguk-angguk. Ia tersenyum. Lebar. “Ya, kamu akan sekolah.” Hebat! Aku betul-betul sekolah.
“Kapan, Mak?”
“Kalau besok, mau?” Aku melompat. Besok! Mak berteriak, menyuruhku diam dan tenang karena aku hampir jatuh karena terlalu semangat melompat ke sana ke mari. Aku terlalu senang. Waktu masuk rumah, aku lihat Ida berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Ha, mulai besok bukan cuma dia anak perempuan yang sekolah di gang ini. Aku juga. Aku, sekolah.
Di rumah, Mak menurunkan bawaannya. Isi kantong itu macam-macam. Ada baju. Untukku. Ada pita. Untukku. Ada buku gambar. Untukku. Ada buku tulis, pensil, penghapus, tas. Semua untukku. Lalu ada kotak kecil dari kaleng, “Ini apa, Mak?”
“Tempat bekal makanan yang harus kau bawa ke sekolah.” Ah! Lalu Mak mengeluarkan sebuah botol kecil yang gemuk, terbuat dari plastik. Warna kuning. “Kalau ini?”
“Itu botol minum. Kalau tak bawa minum, kau akan kehausan setelah main di sekolah dan cekukan setelah menghabiskan bekal makananmu,” kata Mak. Ah! Ah!
Aku memeriksa lagi semua satu persatu. Barang baru selalu harum. Mak membantu membereskan, “Willa, jaga barang-barang ini dengan baik. Ini hadiah dari Nyonya Chang. Mak tidak punya uang untuk beli semua ini. Kiriman Pak belum datang dari Jakarta.” Oh. “Uang sekolahmu, juga dibayari Nyonya Chang.” Oh, oh. “Mulai besok kau akan sekolah. Belajar yang rajin. Jangan nakal di sekolah. Kita tunjukkan pada Nyonya Chang bahwa pemberiannya tidak sia-sia. Semua berguna. Willa mengerti?” kata Mak lagi. Aku buru-buru mengangguk. Janji: aku akan belajar baik. Rajin. Tidak nakal. Tidak menangis di sekolah. Janji.
Malam itu aku makan sedikit. Perutku terasa sangat kenyang. Biasanya aku langsung mengantuk. Tapi malam ini tidak. Aku membantu Mak menyiapkan semua yang harus aku pakai dan bawa besok. “Sekolah itu seperti apa, Mak?” aku bertanya pada Mak.
“Besok kamu lihat sendiri, Willa.” Kata Mak.
“Aku ketemu siapa besok, Mak?”
Mak tersenyum lebar lalu katanya, “Teman-teman sekelasmu. Kelas Taman Kanak-kanak. Lalu Ibu Guru.”
“Ibu guru? Siapa namanya?”
“Ibu Tini..”
“Cantik?”
“Ya.”
“Pintar?”
“Pasti.”
“Bisa baca?”
“Tentu! Dia akan membantu kamu membaca lebih cepat, lebih banyak, karena ibu gurumu punya banyak buku cerita.”
“Lebih banyak dari buku di rumah ini?”
“Tentu! Ibu guru punya kamar khusus untuk buku. Semua anak boleh baca buku yang ada di situ. Nama kamar itu perpustakaan.”
“Perpusta...”
“Ka-an.”
“Aku suka per-pus-ta-ka-an.”
“Pasti.”
“Boleh baca berapa buku di per-pus-ta-ka-an, Mak?”
“Sebanyak yang kamu suka.”
“Aku betul-betul suka per-pus-ta-ka-an kalau begitu.”
“Ya, harusnya begitu...”
“Aku boleh terus di per-pus-taka-an, Mak?”
“Hmm, tidak boleh terus-menerus. Kamu tetap harus masuk kelas. Duduk bersama teman-temanmu, bersama Bu Guru. Belajar.”
“Belajar?”
“Ya, belajar menulis yang bagus. Menggambar... menggunting, menempel... Menyanyi...”
“Aku sudah bisa menyanyi. Oh, oh Hestiiii!”
“Bukan lagu itu! Kamu nanti belajar lagu lain, lagu anak-anak.”
“Tapi aku suka Oh, oh, oh Hestiii... mengapa wajahmu mirip dia!”
“Itu bukan lagu anak-anak, Willa. Sebaiknya jangan menyanyikan lagu itu di sekolah nanti, ya.”
“Ibu guru tidak suka Hesti?”
“Mungkin suka, tetapi kalau di sekolah, kamu menyanyikan lagu anak-anak.”
“Kalau lagunya tidak enak, bagaimana?”
“Pasti enak. Dan kamu harus menyanyikan lagu itu.”
“Aku rasa lagunya pasti tidak enak...”
“Willa! Sudah, kita lihat saja besok. Sekarang kamu harus tidur supaya besok bisa bangun lebih pagi,” kata Mak. Aduh, mengapa harus ada tidur? Aku ingin cepat bisa sampai ke sekolah.
“Sana, cuci kaki, sikat gigi, cuci muka... ganti baju. Lalu masuk ke kamar Mak saja.” Aku langsung melompat. Aku paling senang tidur sama Mak. Karena pasti dapat cerita. Dapat nyanyian. Dan bisa memeluk lengan Mak yang halus.
Thursday, 19 February 2009
Bukti Cinta
a shorty-short-story of the day
Suaminya bilang, itu tanda cinta:
Pipi biru legam, hidung retak, bibir sobek.
Suaminya bilang, itu harus dilakukan:
supaya ia tahu diri, tidak besar kepala, sombong.
Malam ini, di tangannya ada sebilah pisau,
berkilat terkena sinar televisi.
Kepada suaminya, yang lelap tidur,
ia ingin menunjukkan cintanya. Yang amat sangat.
Suaminya bilang, itu tanda cinta:
Pipi biru legam, hidung retak, bibir sobek.
Suaminya bilang, itu harus dilakukan:
supaya ia tahu diri, tidak besar kepala, sombong.
Malam ini, di tangannya ada sebilah pisau,
berkilat terkena sinar televisi.
Kepada suaminya, yang lelap tidur,
ia ingin menunjukkan cintanya. Yang amat sangat.
Monday, 16 February 2009
MENUJU SEKOLAH (serial catatan kemarin)
Tadi pagi Nyonya Chang, datang ke rumah. Aku suka melihat rambut Nyonya Chang: kuning, halus, selalu digelung seperti siput, di bagian belakang kepala. Setiap kena lampu atau sinar matahari, rambut Nyonya Cang tampak mengkilat. Kata Mak, waktu muda Ny Chang pasti cantik sekali, karena sekarang saja –dengan muka penuh kerut—dia tetap cantik. Aku setuju dengan Mak. Satu lagi yang aku suka dari Nyonya Chang: ia selalu membawa oleh-oleh untukku. Hari ini aku dapat coklat payung sekantung penuh. Dan Mak dapat setumpuk buku. Aku berharap semoga ada buku anak-anak yang bisa aku baca…
Mak menyuruhku memberitahu Mbok, Nyonya Chang sudah datang. Artinya, Mbok harus menyiapkan teh hangat, gula dipisah, sendok kecil. Kalau ada kue, pasti ikut dikeluarkan. Setelah tugas selesai, aku segera ke ruang tengah, di balik ruang tamu. Aku duduk di kursiku. Di bawah jendela. Dari situ aku bisa mendengar Nyonya Chang dan Mak bicara. Nyonya Chang menanyakan Pak. Mak bilang kalau Pak masih di Jakarta. Belum bisa pulang. Masih banyak pekerjaan.
Aku suka mendengar Nyonya Chang bicara. Lain. Tidak seperti Mak, Pak atau siapa saja yang aku kenal. Aku pernah tanyakan itu pada Mak. Ia bilang itu karena Nyonya Chang bukan orang Indonesia. Dia orang Amerika yang sudah lama tinggal di Indonesia dan kawin dengan Tuan Chang, pemilik toko buku di Kembang Jepun.
Belum lama mereka bicara, aku mendengar namaku disebut-sebut. Aku langsung duduk tegak. Nyonya Chang bilang begini, “Martha, Willa harus masuk sekolah.” Ha! Sekolah! Aku mau itu! Apa kata Mak? Ayo, jawablah Mak! Aduh, Mak jangan diam saja!
“Mungkin kamu bisa mengajarnya membaca, menulis. Tetapi dia perlu mengenal dunia sekolah. Dia harus punya teman di luar teman-teman di sekitar rumah. Lalu ada guru… Banyak yang harus ia pelajari di sekolah.” Mak… Mak tetap diam. Aku sangat ingin mengintip. Aduh, Mak pasti sedang menggeleng-gelengkan kepala. Tak setuju. Tiba-tiba aku sangat ingin menangis. Sedih: Ternyata Mak tak ingin aku sekolah! Aku bangun dan meninggalkan kursi rotanku. Aku ke dapur. Mbok ada di situ, sedang mengupas labu siam. Dia bertanya, mengapa mukaku merengut. Aku sesak napas waktu mencoba menjawab pertanyaannya. Lalu aku menangis di pangkuannya. “Opo maneh tha?” katanya. Hari itu tangisku tidak bersuara.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Mak sudah ada di sampingku. Ia memandangku dengan heran. Alisnya terangkat tinggi-tinggi, “Nangis? Kenapa? Ndak mau sekolah?” Apa kata Mak? Ndak mau sekolah? Bukan! Bukan! Salah! Aku menangis karena…. Ah, sudah! Sudah! Aku buru-buru menghapus air mata, berdiri tegak di depan Mak, “Aku sekolah, Mak?”
“Ya. Harus. Kamu mau?” kata Mak. Aku melompat-lompat. Mbok aku peluk. Dia tertawa sambil menggeleng-geleng kepala.
“Mak mau pergi sama Nyonya Chang. Dia mau membantu Mak mendaftarkan kamu sekolah. Kalau bisa mulai besok,” kata Mak lagi. Besok! Besok? Aku melompat-lompat lagi dan baru berhenti setelah kakiku menabrak dingkliknya Mbok. Sakit. Mak memeriksa kakiku. Ternyata baik-baik saja. Ia mengusap kepalaku, lalu bergegas masuk kamar. Ganti pakaian. Bawa tas kempit. Pakai selop, berangkat bersama Nyonya Chang. Berdua mereka pergi, naik sepeda beriringan.
Hari itu, aku terus menyanyi. Tersenyum terus. Tertawa terus. Aku tak sabar menunggu Ida pulang sekolah. Juga Dul. Mereka harus tahu, mulai besok aku juga sudah seperti mereka. Jadi anak sekolah. Aku tak sabar menunggu Ibu pulang. Tapi... Mengapa lama sekali ia pergi?
RADIO bagian 2 (serial catatan kemarin)
Sore ini aku tidak boleh ke rumah Ida. Tidak boleh main di kamar boneka. Tidak boleh main ayunan. Mak marah. Penyebabnya: ERES, radio kami. Bukan, bukan Eres.... Tapi aku. Aku melakukan sesuatu pada ERES.
Tadi siang, waktu Mak pergi ke rumah Tante Lily, di gang 10, aku naik ke bufet, ke tempat radio. Boneka dakocan yang ada di pojok kanan radio seperti memanggil-manggil. Jadi aku datang, mendekat. Aku putar tombol di sebelah kiri. Lampu menyala. Terdengar bunyi nguiiiiiing.... maka cepat aku putar tombol sebelah kanan. Ke kiri, ke kanan, sampai keluar suara. Dari suara yang keluar, aku tahu, aku sudah sampai di gelombang RRI. Dia –laki-laki di radio itu—bicara sebentar. Lalu keluar lagu.
Aku tengok ke samping kiri, semua tertutup rapat. Aku lihat ke samping kanan, sama saja. Aku tarik ERES agak ke depan. Ternyata bagian belakang ditutup semacam papan tipis (setelah semua ini lewat, Mak bilang, penutup itu cardboard namanya. Bukan papan). Aku lihat ada empat sekrup yang terpasang di setiap sudutnya. Aku tahu cara membukanya: pakai obeng. Cepat aku turun. Aku tahu betul di mana obeng bisa ditemukan: kotak alat-alat Bapak yang selalu tersimpan di sudut ruang tengah. Ya, ruang yang ada ayunannya itu.
Ternyata obeng Bapak tidak cuma satu. Banyak! Ada yang kecil, sedang, besar. Ada yang gepeng, ada yang ujungnya terbelah empat. Aku ambil yang kecil, yang ujungnya terbelah empat. Aku yakin ini yang paling tepat. Harusnya... dan memang cocok.
Oh, membuka sekrup itu GAMPANG SEKALI! Sebentar saja, sekrup itu makin naik-naik-naik.... lalu terlepas sendiri. Lalu empat sekrup terlepas. Papan tipis masih menempel di tempatnya. Ada lubang kecil. Aku masukkan jari ke dalamnya. Pas sekali. Malah terlalu pas. Jariku seperti digigit oleh lubang kecil itu. Aku tarik... papan tipis itu ikut tertarik. Jariku masih ada di lubang kecil itu. Dan semua yang Mak bilang betul. Tidak ada laki-laki yang suka omong-omong, tidak ada Lilies Suryani, tidak ada pemain gitar, terompet, piano... Tidak ada siapa-siapa. Cuma ada lampu kecil yang menyala. Lalu ada kabel kawat kuning yang dililit, ada kabel dari kiri disampirkan ke kanan, dari kanan ke kiri. Ada lampu-lampu kecil. Aku mencoba memegang lampu yang menyala itu, ketika tiba-tiba Mak sudah berdiri di sampingku. Sekali rengkuh, Mak memelukku, menggendong dan menurunkan aku dari buffet. Papan tipis itu masih menyangkut di jari telunjukku.
Aku dengar Mak menggeram. Seperti kucing yang sedang marah.
Aku lihat alis Mak tersambung menjadi satu. Dahinya penuh kerutan.
Mak mendudukkan aku di kursi rotan, melepas papan tipis dari telunjukku dan meletakkannya ke atas bufet.
“Apa yang Mak bilang kemarin tentang radio ini, Na Willa?” Mak bertanya. Aku diam saja. Jantungku –jangan-jangan—sudah pindah ke leher. Aku bisa merasakan detak jantungnya di situ. Keras sekali. Aku menelan ludah, mencoba mengeluarkan suara. Tidak bisa.
“Mak bertanya, kamu harus menjawab,” kata Mak dengan suara lurus seperti penggaris besi. Aku melihat matanya: aku langsung memejamkan mataku. Mak marah sekali! Aku tahu.
“Na Willa...”
“Mak bilang aku tidak boleh main-main dengan radio. Itu bukan mainan,” akhirnya aku bicara.
“Lalu apa yang kamu lakukan sekarang?”
“Aku ... aku cuma mau lihat apa yang ada di dalamnya, Mak!” mataku panas, tenggorokanku kering. Mak menghela napas. Kepalanya menunduk. Dan waktu diangkat kembali, Mak bilang, “Membuka radio sendiri dan dalam keadaan menyala itu berbahaya sekali, Willa!” kata Mak lagi. Suaranya masih lurus seperti penggaris. Tapi alisnya sudah kembali ke tempat semula.
“Ingat waktu kamu memasukkan telunjuk ke lubang listrik?” Mak mengingatkan aku pada suatu peristiwa beberapa waktu lewat. Aku mengangguk.
“Masih ingat rasanya?” Aku mengangguk lagi. Rasanya badanku kaku, jantungku naik sampai muka, semua bergetar...
“Membuka radio yang menyala, bisa membuatmu kena listrik lagi. Itu berbahaya sekali, Willa. Mengerti?”
Aku mengangguk.
Mak lalu bangun dan meninggalkan aku di kursi rotan sendirian. Ia berjalan menuju bufet, mengambil papan tipis itu, juga semua sekrup dan obeng yang masih berserakan di sekitarnya. Lalu Mak melambai ke arahku. Aku bangun dan mendekat.
Mak mencabut kabel yang masuk ke dalam lubang listrik. Aku disuruhnya naik ke bufet. Apa maksud Mak?
“Mau tahu kan seperti apa isi radio? Sini, naiklah. Lihat.” Mak menyuruhku melihat isi radio? Betulkah?
Aku putuskan untuk menurut.
Dan Mak menjelaskan semua yang ada di dalam radio itu....
Begitu selesai, Mak mengambil papan tipis, semua sekrup dan obeng, “Sekarang, pasang kembali barang ini,” katanya, “Sebelum terpasang, jangan turun dari bufet.” Lalu dia meninggalkan aku sendiri. Dengan semangat aku mulai mencoba memasang papan tipis itu.
Ternyata memasang kembali itu tidak mudah. Tanganku sudah pegal. Keringatku menetes-netes.
Tidak sengaja, aku mengerang. Jengkel.
“Ada apa, Willa?” aku dengar suara Mak, “Mau Mak bantu?”
“Tidak usah, Mak. Aku bisa!” kataku dengan suara keras. Aku jengkel sekali. Sekrup harus dipasang satu-persatu. Buat memutar sekrup dengan obeng, aku perlu dua tangan. Tapi papan juga harus ditahan, supaya sekrup bisa terpasang dengan baik di lubangnya. Aku perlu dua tangan lagi! Tapi minta bantuan Mak, aku tidak mau. Aku yang buka, aku yang harus pasang.
Ternyata yang sulit dipasang adalah sekrup pertama dan kedua. Setelah itu, gampang!
Waktu dua sekrup terpasang, semua jadi lebih mudah. Waktu Mak bilang waktu makan siang sudah tiba, semua sekrup sudah terpasang. Mak memeriksa dengan memutar obeng, mengencangkan. Memasang kembali taplak kecil di bagian atas radio. Lalu ia mendekatiku lagi, “Willa, kamu sudah melanggar janji pada Mak, bahwa kamu tidak akan membuka radio. Dan kamu melakukannya saat radio itu tersambung listrik. Kamu membahayakan diri sendiri. Untuk itu, kamu harus Mak hukum.” Aku mengangguk.
“Hari ini kamu tidak boleh main sama sekali. Tidak boleh ke rumah Ida, Bud atau Dul.” Aku mengangguk lagi.
“Ada pertanyaan?”
Aku mengangguk.
“Apa?”
“Tidak boleh main, tapi boleh baca, Mak?”
Mak menghela napas. Menengadah sebentar, melihat ke langit-langit rumah. Lalu, “Ya, boleh. Tapi Mak yang pilih bukunya.”
Hari itu aku membaca buku Mak yang sudah sobek bagian sampulnya. Aku tidak ingat membaca berapa halaman. Tulisan di mana-mana. Gambarnya sedikit sekali. Setelah tiga puluh halaman, baru ada satu gambar: perempuan-perempuan yang memakai rok panjang dan mengembang seperti kurungan ayam. Oya, buku itu bercerita tentang empat anak perempuan yang tinggal bersama Ibu mereka. Bapak mereka, pergi perang.
Friday, 13 February 2009
Suami
a shorty-short story of the day
Dua sahabat duduk di meja bundar.
Minum kopi.
Mereka berbagi cerita tentang suami masing-masing.
Yang satu bilang bilang suaminya tak tahu diri,
semakin hari semakin lupa usia,
bergaya bak orang muda.
Yang lain berkata suaminya semakin menampakkan usia.
Sudah tua. Mulai pikun. Pelupa.
Berdua mereka tertawakan suami masing-masing:
Lelaki yang sama.
April 2007
Dua sahabat duduk di meja bundar.
Minum kopi.
Mereka berbagi cerita tentang suami masing-masing.
Yang satu bilang bilang suaminya tak tahu diri,
semakin hari semakin lupa usia,
bergaya bak orang muda.
Yang lain berkata suaminya semakin menampakkan usia.
Sudah tua. Mulai pikun. Pelupa.
Berdua mereka tertawakan suami masing-masing:
Lelaki yang sama.
April 2007
Wednesday, 11 February 2009
RADIO bagian 1 (serial catatan kemarin)
Mak suka menyanyi. Pak juga. Tapi aku lebih suka menyanyi bersama Mak. Lagu yang suka dinyanyikan Mak selalu ada di radio. Lagu-lagu Pak, tidak. Aku cuma dengar dari Pak saja dan tidak bisa aku ikuti. Mak bilang, Pak suka nyanyi lagu bahasa Belanda dan Inggris.
Setiap hari, dari pagi sampai malam, Mak selalu mendengarkan radio. Kalau ada lagu, apa saja, Mak pasti ikut menyanyi. Mak bisa menyanyi lagu apa saja. Kalau ada lagu yang dia tak tahu, pasti Mak bilang, “Ah, lagu baru!” Lalu cepat-cepat Mak ambil pensil dan kertas. Mencatat kata-kata lagunya. Nanti kalau lagu itu kembali muncul, catatan lagu Mak pasti sudah lengkap. Dan kalau terdengar lagi, Mak pasti mengajak aku duduk di sampingnya. Menyanyi bersama Mak. Waktu aku sudah bisa baca, Mak menyuruh aku ikut membaca catatan lagunya. Aku suka menyanyi dengan Mak.
Kalau lagu habis dan orang di dalam radio itu mulai omong-omong, Mak pasti berdiri di depan radio. Alis Mak selalu bersambung kalau mendengarkan omong-omong. Mak bilang, kita harus rajin mendengarkan radio. Karena siapa tahu ada berita penting yang disampaikan.
Radio kami, Eres namanya, berbentuk kotak besar. Terbagi atas dua bagian. Yang bawah, agak keras, tempat menempel dua tombol besar yang letaknya berseberangan: di kiri dan kanan. Tombol yang kiri untuk menyalakan radio. Kalau diputar, berbunyi klik. Lalu lampu kecil yang ada di bagian keras itu menyala. Dan tampaklah garis-garis dan angka di sepanjang bagian itu. Kalau tombol kanan di putar, jarum kecil warna merah akan berjalan-jalan. Mak bilang, jarum itu menunjukkan gelombang radio yang tepat. Diputar ke kiri, jarum ke kiri. Di putar ke kanan, jarum di kanan. Kalau jarum berhenti di tempat yang salah, keluar bunyi kresek-kresek-kresek, lalu nguiiiiiiiiing! Aku suka kalau bunyi itu keluar. Tapi Mak tak suka. Sakit di telinga, katanya. Mak paling tahu di mana jarum harus berhenti. Di tempat itu, agak di tengah-tengah, selalu keluar banyak lagu. Juga omong-omong. Mak bilang, itu gelombang RRI. Radio Republik Indonesia. Di atas lubang itu ada bagian yang ditutup kain berlubang-lubang, dihiasi gambar boneka dakocan di sebelah kanannya. Bagian ini selalu bergetar kalau ada suara yang keluar dari radio.
Suatu hari, aku naik kursi, naik ke bufet, mencoba membuka bagian radio yang ada kainnya. Mak berteriak-teriak, “Astaganaga, Willa! Mau diapakan radio itu!” Waktu aku bilang mau melihat orang-orang kecil yang ada di dalam radio, yang selalu omong-omong dan menyanyi itu. Mak langsung menangkap tanganku. Aku ditarik turun dari kursi. Mak bilang, tak ada orang kecil di dalam radio. Yang ada hanya peralatan listrik. “Lalu yang menyanyi dan omong-omong setiap hari itu?” Mak bilang peralatan di dalam radio itu menangkap gelombang yang disampaikan dari stasiun radio, RRI. Di sana ada orang yang memutar lagu dan bicara-bicara, dan disampaikan lewat udara, dan masuk ke radio kami. Juga radio orang-orang lain. Aku tak mengerti apa yang diterangkan oleh Mak. Tapi aku tahu Mak betul. Kalau tidak, bagaimana bisa radio sekecil itu berisi penyanyi dan orang yang suka omong-omong itu?
“Willa, coba bayangkan: kalau di radio kita ada Lilis Surjani, di radio Ida juga ada Lilis Surjani. Kalau ada orang di dalam radio, berarti ada banyak Lilis Surjani. Padahal, di dunia ini cuma ada satu Lilis Surjani. Dengan alat-alat yang ada di dalam radio ini dan di studio, kita semua bisa dengar suara Lilis Surjani pada saat yang sama. Mendengar berita bersama-sama, dengan radio yang berbeda-beda, di tempat masing-masing...Kau mengerti Willa?” Aku mengerti. Jadi di dalam radio tidak ada orang, cuma alat-alat listrik. Tapi seperti apa alat listriknya? Bagaimana bisa mengeluarkan lagu dan omong-omong? Bukankah tadi Mak bilang kalau orang yang omong-omong dan lagu diputar di tempat lain? Aku ingin tahu. Aku mau lihat! Tiba-tiba Mak pegang tanganku, lalu dia bilang, “Sekarang setelah kau tahu di dalam sini tak ada orang, dan hanya ada alat listrik, jauhkan tanganmu yang kecil ini dari radio. Jangan coba-coba buka radio ini lagi ya!” Bagaimana Mak tahu kalau aku ingin melihat ke dalam radio? Mak melihat ke mataku. “Willa, janji pada Mak, kau tak akan mengutak-atik radio ini.” Janji? Aduh, aku tak mau janji karena aku masih ingin lihat apa isi radio. “Willa, setuju?” Kenapa Mak harus bilang setuju? Itu kan berarti aku harus setuju dengan permintaan Mak. Dan aku harsu bilang setuju juga. Kalau tidak, Mak pasti akan menggeram. Aku tak suka kalau dia menggeram. Mukanya.... tidak enak dilihat. Percaya padaku.
A-I-U-E-O (serial catatan kemarin)
Dari kami berempat, cuma aku yang belum sekolah. Ida baru mulai tahun ini. Bud juga. Dul sudah mulai sejak aku diajaknya main gundu. Tetapi dari kami berempat, cuma aku yang bisa baca koran.
Mak yang mengajariku membaca. Aku ingat, pada suatu hari, Mak mengambil lembaran kalender yang tak terpakai. Bagian yang bertulisan, ditempelkannya ke dinding. Lalu ia membuat garis-garis, kotak-kotak di kertas itu. Sesudahnya ia menulis sesuatu. Begitu selesai Mak bilang, “Mulai hari ini, kita akan belajar mem¬baca. Kalau rajin, kau bisa membaca buku apa saja. Mau?” Aku tidak mungkin menolak. Aku sangat ingin bisa membaca buku-buku cerita yang dibeli Mak setiap hari Minggu, di toko buku kecil, di samping gereja. Kalau Mak punya waktu, ia akan langsung membacakannya begitu kami tiba di rumah. Tapi kalau ia sedang sibuk, aku harus menunggu. Dan selama menunggu, aku cuma bisa membalik-balik halaman buku. Melihat gambarnya. Menebak seperti apa ceritanya. Dan sekarang Mak bilang aku akan diajari membaca. Aku senang. Sangat.
Hari itu aku mulai dengan membaca tiga baris pertama: a i u e o, ba bi bu be bo, da di du de do. Mak menunjuk tulisan satu-satu, membacanya keras-keras. Aku mengikuti, sama kerasnya. Tak ingat berapa lama aku mengikuti Mak, sampai akhirnya Mak bilang sudah waktunya berhenti. Seharian itu, sampai sore, waktu main bersama Ida, aku terus menyebut a i u e o… ba bi bu be bo… da di du de do. Ida berteriak-teriak. Menyuruhku berhenti. Tidak bisa. Aku suka ba bi bu be bo. Malamnya aku mimpi datang ke sebuah pesta. Badut, pemain sirkus, putri, pangeran... semua ada, semua mengajakku bermain dan bicara: ba bi bu be bo... da di du de do... a i u e o....
Besoknya, begitu Pak berangkat ke kantor, Mak menyuruh aku mandi dan siap-siap belajar membaca. Aku langsung melompat ke kamar mandi. Mbok heran, “Tidak pakai air panas?” Setelah menyisir rambut, Mak menyuruh aku menunjuk tulisan yang ada di kertas kalender itu. Aku mulai lagi. Lalu Mak mengambil sebatang lidi dari ikatan sapu. Dipakainya buat menunjuk tulisannya sendiri. Mak menyuruh aku membaca apa yang ditunjuknya: a ba, I ba, I bu, u bi, e di, a da… Lambat-lambat. Tapi lama-lama makin cepat! Tiba-tiba Mak memelukku. Katanya, “Kamu sudah bisa baca!” Mak menunjuk sekali lagi, melompat dari satu tulisan ke tulisan lain. Suaraku keras terdengar: i bu, u bi, ba bu, dad u, i da, … Aku bisa baca! Aku senang! Hari itu, Ibu mengajari lima baris: fa fi fu fe fo, ga gi gu ge go, ha hi hu he ho, ja ji ju je jo, ka ki ku ke ko. Ditambah pelajaran menulis yang kami pelajari hari sebelumnya. Besoknya sepuluh baris… Dan besoknya lagi, sisanya. Begitu seterusnya. Sampai selesai.
Sejak itu, aku betul-betul bisa membaca buku cerita sendiri. Aku juga bisa membaca papan reklame, nama jalan, dan koran. Tapi tulisan di koran banyak. Aku tidak mengerti. Jadi aku pilih membaca komiknya saja. Setiap hari ada. Dul sering meminta aku membacakan buku pelajarannya. Keras-keras. Ia mendengarkan sambil main layangan. Sebetulnya aku tak begitu mengerti apa yang aku baca dari buku Dul. Kalau aku tanyakan pada Dul, dia pasti bilang, “Itu pelajaran anak kelas 4. Anak yang belum sekolah tidak perlu tahu!” Sombong!
Anak
a shorty-short-story of the day
Dia senang ketika perempuan itu kawin dengan bapaknya.
Berharap ia akan mendengar banyak dongeng dan nyanyian sebelum tidur, seperti cerita teman-teman mainnya.
Dan perempuan itu memang banyak bercerita, tentang dirinya.
Ia juga banyak bernyanyi, tentang keinginannya.
Juga menari, sambil membawa rotan, sapu, sandal,
yang selalu mendarat di badannya.
Hari ini, setelah dongeng dan nyanyian ibunya selesai,
ia memutuskan tidur. Tidak bangun lagi. Sudahlah.
Dia senang ketika perempuan itu kawin dengan bapaknya.
Berharap ia akan mendengar banyak dongeng dan nyanyian sebelum tidur, seperti cerita teman-teman mainnya.
Dan perempuan itu memang banyak bercerita, tentang dirinya.
Ia juga banyak bernyanyi, tentang keinginannya.
Juga menari, sambil membawa rotan, sapu, sandal,
yang selalu mendarat di badannya.
Hari ini, setelah dongeng dan nyanyian ibunya selesai,
ia memutuskan tidur. Tidak bangun lagi. Sudahlah.
Monday, 2 February 2009
PESTA (serial catatan kemarin)
Farida. Itu suara Farida, Ida. Memanggil-manggil dari luar. Sebelum aku sampai ke pintu, ia telah masuk dan berdiri di samping mesin jahit Mak. Ia meringis, giginya yang hitam-hitam dimakan ulat, kelihatan berbaris, “Ayo ke rumahku!” katanya. Ah ya, tadi pagi, waktu mengantarku ke sekolah, Mak bilang, “Hari ini Mak ke rumah Ibunya Ida. Kamu menyusul saja ke sana.” Dan aku baru ingat pesannya setelah Ida menyusul. Pantas waktu pulang tadi cuma ada Mbok di rumah. “Di rumahmu ada apa?” Kakinya menghentak-hentak tak sabar, “Mak ku masak! Bikin cucur! Ayo!” Cucur? Aduh! Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ida langsung menarik tanganku. Aku menurut saja. Ke rumah Ida, makan cucur, tidak bisa dan tidak boleh dilewatkan. Aku suka cucur. Apalagi bikinan ibunya Ida, selalu enak. Tak sabar dia langsung menggandeng tanganku. Kami menyeberang, melewati pagar rumahnya, masuk halaman yang luas tapi tanpa tanaman sebatang pun.
Kami langsung menerobos ke dapur yang terletak di sayap kiri rumah. Semua Ibu-ibu –Mak juga-- dari Krembangan Bhakti 12 ada di ruangan itu. Berkerumun, kemriyek di sekitar kompor, lemari, baskom, talenan bulat yang biasa kami –aku dan Ida—sebagai tempat duduk dan tempat tidur para boneka. Masih ditambah dengan sayur aneka rupa terkumpul dalam keranjang, di sudut ruangan. Daging dalam panci-panci besar. Kelapa yang menunggu giliran untuk diparut, banyak sekali. Entah kapan selesainya. Dapur yang biasanya sangat luas, yang bisa dengan mudah dipakai untuk main sembunyian, tiba-tiba jadi sangat sempit. Aku memandang ke sekeliling dapur. Tak sekilas pun tampak bayangan kue cucur. Ida menarik tanganku, menerobos keramaian dapur, menyusup ke gang sempit yang mengantar kami ke deretan kamar-kamar besar, berpintu kayu jati tebal dan berat. Aku sudah membuka pintu kamar Ida, kamar paling kecil dari semua kamar yang ada ketika dia menarik tanganku kuat-kuat! “Bukan ke situ!” katanya sambil terus berlari ke arah ujung lorong. Dan tiba-tiba berhenti di depan kamar kedua terakhir. “Iki kamare sopo?” Ida tidak menjawab, dia langsung medorong pintu.
Lalu tampaklah sebuah tidur ditutup seprei warna merah muda, mengkilat. Bunga-bunga melati, mawar dan daun asparagus di sematkan jadi satu dengan peniti, di tancapkan pada bagian-bagian tertentu tempat tidur. Empat bantal besar bersandar di kepala tempat tidur. Di atasnya ada kain tulle panjang di biarkan menjuntai ke sisi kanan dan kiri kepala tempat tidur. Di tengahnya ada rangkaian bunga. Belum pernah aku lihat tempat tidur seindah itu. Pasti Aku ingin sekali melompat-lompat di atasnya. Pasti sangat menyenangkan. Selagi aku menimbang-nimbang untuk mengajukan permintaan itu, dari balik pintu lemari, muncul: Mbak Tin. Kakak ketiga Ida. Ia tidak tersenyum, seperti biasanya. Mukanya pucat. Matanya bengkak dan merah. Ia bergerak pelan, duduk di kursi bulat tanpa sandaran, menghadap meja rias yang sudah dihias juga. Penuh bunga.
“Mau apa kalian di sini?” katanya dengan suara yang sangat lembut. Ida, meringis, “Makan kue cucur!” katanya sambil menunjuk setumpuk kue cucur yang ada di meja kecil, di samping kiri meja rias. Di meja itu juga ada piring-piring lain berisi kue lapis, kelepon, jenang… Mbak Tin menghela napas lalu menyorongkan kue itu pada kami. Saat itu aku melihat mata Mbak Tin basah. Ia tak ingin kue cucurnya kami makan! Aku memandang Ida. Dia langsung menyambar piring dan meletakkannya di lantai. Di situ ia duduk, mengambil satu, dan langsung masuk mulutnya. “Ayo! Makan!” katanya dengan mulut penuh cucur. Aku ikut duduk di sampingnya. “Makan!” kata Ida lagi, mengambil cucur kedua. Aku menoleh ke a rah Mbak Tin. Ida mendekatkan bibirnya ke telingaku, “Mbak Tin mau kawin!” Oh! “Aku boleh lihat nanti?” Ida tertawa mendengar pertanyaanku, “Ya, boleh! Dua hari lagi kawinnya. Mbak Tin, Willa boleh lihat Mbak Tin jadi penganten ya?” katanya. Sesaat itu juga, Mbak Tin menangis. Badannya yang kurus berguncang-guncang. Cucur yang ada di tanganku terlepas. Jatuh ke lantai. Tapi Ida tetap tenang, ia terus mengunyah. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, “Kalau jadi pengantin memang musti begitu. Nangis.” Ia berbisik. Tangis Mbak Tin makin menjadi. Ida bicara lagi, “Kalau nggak nangis, artinya nggak senang jadi pengantin!” Mbak Tin bangkit dari kursinya, melompat ke tempat tidur. Telungkup di situ. Tangannya memukul-mukul bantal. Kakinya menendang-nendang ke sana ke mari. Rontok sematan bunga yang ada di seprei. Ida tersedak. Matanya membelalak, bingung. Kupungut kue cucur yang jatuh ke lantai. Kami berdua langsung melompat ke luar kamar. Sampai sore kami tak kembali ke kamar Mbak Tin. Tak ingin.
WONG CINO (serial catatan kemarin)
Mbok sedang mencuci di belakang. Mak pergi ke pasar. Aku tidak diajak. Jadi, aku harus main sendiri di rumah. Tapi main apa? Main pasar-pasaran tidak enak kalau cuma sendiri. Tidak ada buku baru. Main ayunan, bosan.
Tiba-tiba dari luar aku dengar suara Ida. Aku melompat, membuka pintu. “Libur!” katanya waktu aku tanya mengapa ia tidak sekolah. Ia membawa bonekanya yang bisa berkedip. “Ayo, main ibu-ibu-an!” ia berlari masuk ke ruang samping, ruang bermain. Bapak Dul. Di sini semua mainanku disimpan (Mak bilang bukan disimpan, tapi berserakan!). Ida menggendong Nining, bonekanya. Aku mencari Melly. Aku panggil-panggil namanya. Berharap dia dengar dan memunculkan kepalanya di antara tumpukan boneka, kereta api, mobil, panci-pancian, sapi, kuda, jerapah, ayam, bebek...
“Kenapa namanya Melly?” kata Ida tiba-tiba.
“Kenapa? Kan nama Melly bagus,” kataku.
“Kayak wong Cino,” kata Ida sambil menarik ujung matanya ke atas. Lalu dia tertawa. Aku ikut tertawa juga. Muka Ida lucu sekali, jadi seperti Cik Kim yang tinggal di belakang rumahnya.
“Kamu kan bukan Cino,” kata Ida lagi, sambil membantuku mencari Melly.
Bukan Cino?
“Mak bilang aku Cino, kok!” kataku. Ida berhenti mencari Melly. Dia melihat aku lalu sambil menunjuk mukaku dia bilang, “Kamu bukan Cino! Kamu ireng. Matamu tidak sipit, tidak begini...” lalu dia menarik lagi ujung matanya. Dan dia tertawa lagi. Aku tertawa juga.
“Tapi, bapakku Cino!” kataku lagi.
“Mak mu bukan Cino,” kata Ida, “Jadi kamu bukan Cino.”
Melly kami temukan di pelukan gorilla. Kami lalu lari ke halaman. Main masak-masakan. Ida bilang, mau bikin bubur merah putih, selametan ganti nama. Hari itu Melly jadi Atik. Karena aku bukan Cino, jadi anakku juga bukan.
Subscribe to:
Posts (Atom)