Monday, 16 February 2009
RADIO bagian 2 (serial catatan kemarin)
Sore ini aku tidak boleh ke rumah Ida. Tidak boleh main di kamar boneka. Tidak boleh main ayunan. Mak marah. Penyebabnya: ERES, radio kami. Bukan, bukan Eres.... Tapi aku. Aku melakukan sesuatu pada ERES.
Tadi siang, waktu Mak pergi ke rumah Tante Lily, di gang 10, aku naik ke bufet, ke tempat radio. Boneka dakocan yang ada di pojok kanan radio seperti memanggil-manggil. Jadi aku datang, mendekat. Aku putar tombol di sebelah kiri. Lampu menyala. Terdengar bunyi nguiiiiiing.... maka cepat aku putar tombol sebelah kanan. Ke kiri, ke kanan, sampai keluar suara. Dari suara yang keluar, aku tahu, aku sudah sampai di gelombang RRI. Dia –laki-laki di radio itu—bicara sebentar. Lalu keluar lagu.
Aku tengok ke samping kiri, semua tertutup rapat. Aku lihat ke samping kanan, sama saja. Aku tarik ERES agak ke depan. Ternyata bagian belakang ditutup semacam papan tipis (setelah semua ini lewat, Mak bilang, penutup itu cardboard namanya. Bukan papan). Aku lihat ada empat sekrup yang terpasang di setiap sudutnya. Aku tahu cara membukanya: pakai obeng. Cepat aku turun. Aku tahu betul di mana obeng bisa ditemukan: kotak alat-alat Bapak yang selalu tersimpan di sudut ruang tengah. Ya, ruang yang ada ayunannya itu.
Ternyata obeng Bapak tidak cuma satu. Banyak! Ada yang kecil, sedang, besar. Ada yang gepeng, ada yang ujungnya terbelah empat. Aku ambil yang kecil, yang ujungnya terbelah empat. Aku yakin ini yang paling tepat. Harusnya... dan memang cocok.
Oh, membuka sekrup itu GAMPANG SEKALI! Sebentar saja, sekrup itu makin naik-naik-naik.... lalu terlepas sendiri. Lalu empat sekrup terlepas. Papan tipis masih menempel di tempatnya. Ada lubang kecil. Aku masukkan jari ke dalamnya. Pas sekali. Malah terlalu pas. Jariku seperti digigit oleh lubang kecil itu. Aku tarik... papan tipis itu ikut tertarik. Jariku masih ada di lubang kecil itu. Dan semua yang Mak bilang betul. Tidak ada laki-laki yang suka omong-omong, tidak ada Lilies Suryani, tidak ada pemain gitar, terompet, piano... Tidak ada siapa-siapa. Cuma ada lampu kecil yang menyala. Lalu ada kabel kawat kuning yang dililit, ada kabel dari kiri disampirkan ke kanan, dari kanan ke kiri. Ada lampu-lampu kecil. Aku mencoba memegang lampu yang menyala itu, ketika tiba-tiba Mak sudah berdiri di sampingku. Sekali rengkuh, Mak memelukku, menggendong dan menurunkan aku dari buffet. Papan tipis itu masih menyangkut di jari telunjukku.
Aku dengar Mak menggeram. Seperti kucing yang sedang marah.
Aku lihat alis Mak tersambung menjadi satu. Dahinya penuh kerutan.
Mak mendudukkan aku di kursi rotan, melepas papan tipis dari telunjukku dan meletakkannya ke atas bufet.
“Apa yang Mak bilang kemarin tentang radio ini, Na Willa?” Mak bertanya. Aku diam saja. Jantungku –jangan-jangan—sudah pindah ke leher. Aku bisa merasakan detak jantungnya di situ. Keras sekali. Aku menelan ludah, mencoba mengeluarkan suara. Tidak bisa.
“Mak bertanya, kamu harus menjawab,” kata Mak dengan suara lurus seperti penggaris besi. Aku melihat matanya: aku langsung memejamkan mataku. Mak marah sekali! Aku tahu.
“Na Willa...”
“Mak bilang aku tidak boleh main-main dengan radio. Itu bukan mainan,” akhirnya aku bicara.
“Lalu apa yang kamu lakukan sekarang?”
“Aku ... aku cuma mau lihat apa yang ada di dalamnya, Mak!” mataku panas, tenggorokanku kering. Mak menghela napas. Kepalanya menunduk. Dan waktu diangkat kembali, Mak bilang, “Membuka radio sendiri dan dalam keadaan menyala itu berbahaya sekali, Willa!” kata Mak lagi. Suaranya masih lurus seperti penggaris. Tapi alisnya sudah kembali ke tempat semula.
“Ingat waktu kamu memasukkan telunjuk ke lubang listrik?” Mak mengingatkan aku pada suatu peristiwa beberapa waktu lewat. Aku mengangguk.
“Masih ingat rasanya?” Aku mengangguk lagi. Rasanya badanku kaku, jantungku naik sampai muka, semua bergetar...
“Membuka radio yang menyala, bisa membuatmu kena listrik lagi. Itu berbahaya sekali, Willa. Mengerti?”
Aku mengangguk.
Mak lalu bangun dan meninggalkan aku di kursi rotan sendirian. Ia berjalan menuju bufet, mengambil papan tipis itu, juga semua sekrup dan obeng yang masih berserakan di sekitarnya. Lalu Mak melambai ke arahku. Aku bangun dan mendekat.
Mak mencabut kabel yang masuk ke dalam lubang listrik. Aku disuruhnya naik ke bufet. Apa maksud Mak?
“Mau tahu kan seperti apa isi radio? Sini, naiklah. Lihat.” Mak menyuruhku melihat isi radio? Betulkah?
Aku putuskan untuk menurut.
Dan Mak menjelaskan semua yang ada di dalam radio itu....
Begitu selesai, Mak mengambil papan tipis, semua sekrup dan obeng, “Sekarang, pasang kembali barang ini,” katanya, “Sebelum terpasang, jangan turun dari bufet.” Lalu dia meninggalkan aku sendiri. Dengan semangat aku mulai mencoba memasang papan tipis itu.
Ternyata memasang kembali itu tidak mudah. Tanganku sudah pegal. Keringatku menetes-netes.
Tidak sengaja, aku mengerang. Jengkel.
“Ada apa, Willa?” aku dengar suara Mak, “Mau Mak bantu?”
“Tidak usah, Mak. Aku bisa!” kataku dengan suara keras. Aku jengkel sekali. Sekrup harus dipasang satu-persatu. Buat memutar sekrup dengan obeng, aku perlu dua tangan. Tapi papan juga harus ditahan, supaya sekrup bisa terpasang dengan baik di lubangnya. Aku perlu dua tangan lagi! Tapi minta bantuan Mak, aku tidak mau. Aku yang buka, aku yang harus pasang.
Ternyata yang sulit dipasang adalah sekrup pertama dan kedua. Setelah itu, gampang!
Waktu dua sekrup terpasang, semua jadi lebih mudah. Waktu Mak bilang waktu makan siang sudah tiba, semua sekrup sudah terpasang. Mak memeriksa dengan memutar obeng, mengencangkan. Memasang kembali taplak kecil di bagian atas radio. Lalu ia mendekatiku lagi, “Willa, kamu sudah melanggar janji pada Mak, bahwa kamu tidak akan membuka radio. Dan kamu melakukannya saat radio itu tersambung listrik. Kamu membahayakan diri sendiri. Untuk itu, kamu harus Mak hukum.” Aku mengangguk.
“Hari ini kamu tidak boleh main sama sekali. Tidak boleh ke rumah Ida, Bud atau Dul.” Aku mengangguk lagi.
“Ada pertanyaan?”
Aku mengangguk.
“Apa?”
“Tidak boleh main, tapi boleh baca, Mak?”
Mak menghela napas. Menengadah sebentar, melihat ke langit-langit rumah. Lalu, “Ya, boleh. Tapi Mak yang pilih bukunya.”
Hari itu aku membaca buku Mak yang sudah sobek bagian sampulnya. Aku tidak ingat membaca berapa halaman. Tulisan di mana-mana. Gambarnya sedikit sekali. Setelah tiga puluh halaman, baru ada satu gambar: perempuan-perempuan yang memakai rok panjang dan mengembang seperti kurungan ayam. Oya, buku itu bercerita tentang empat anak perempuan yang tinggal bersama Ibu mereka. Bapak mereka, pergi perang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment