cerita minggu siang
“Tante meninggal.”
“Aduh, kapan?”
“Semalam.”
“Kasihan dia. Hidup sendiri, tidak ada yang menemani.”
“Dia tidak sendirian. Dia punya banyak teman di rumah jompo. Dokter ada di sampingnya waktu dia meninggal. Bayangkan kalau dia masih tinggal sendirian di apartemennya yang besar itu.”
“Tapi selama sakit kita tidak sempat menengok.”
“Sudah, sudah.... Jangan memberati langkahnya. Aku yakin, dia paham betul kondisi kita. Waktu harus masuk rumah sakit bulan lalu, dia malah melarang aku menengok. Katanya, lebih baik biaya yang dipakai buat terbang ke sana, ditabung buat anak-anak.”
“Jantung?”
“Hmm. Aku berangkat nanti siang. Go show saja.”
“Aku perlu ikut?”
“Tidak usah. Kau di sini saja, sama anak-anak.”
“Dia begitu baik. Setiap ulang tahunmu, dia kirim hadiah.”
“Ulang tahunmu dan anak-anak juga.”
“Ya, ya.... Hadiahnya bagus-bagus! Sedih aku.”
“Sudah, sudah. Aku yakin lebih baik begini. Dia sudah tua. Mulai pikun. Ingat waktu kita ke sana? Sebelum dia masuk rumah jompo? Selama bersama Tante, kamu terus mengomel. Malah sering sekali aku dengar dia kena bentakanmu. Kamu tidak sabar menghadapi ke’tua’annya itu.”
“Habis bagaimana lagi? Dia cerewet sekali, bertanya hal yang sama berkali-kali. Sudah dijawab, bertanya lagi, lagi.... Tidak tahan aku! Tapi Sayang, aku sungguh tak bermaksud kasar padanya. Aku memang orang yang tak punya urat sabar. Ah, semoga saja dia tahu aku tidak bermaksud apa-apa.”
“Aku yakin dia mengerti.”
“Kakakmu sudah tahu?”
“Dia yang ajak aku berangkat siang ini. Kau baik-baik di rumah, ya. Jaga anak-anak.”
“Ya. Aku siapkan tasmu. Salam buat keluarga di sana.”
“Oke.”
***
“Hai.”
“Bagaimana?”
“Semua sudah beres. Sudah diurus rumah sakit.”
“Lalu, sekarang bagaimana?”
“Setelah kremasi, semua kumpul di kantor notaris.”
“Untuk?”
“Baca warisan.”
“Oh, cepat sekali”
“Biasa, namanya juga negara maju. Semua serba cepat. Tidak bertele-tele.”
“Hmmm....”
“Kenapa?”
“Jadi siapa dapat apa, akan dibacakan nanti sore?”
“Ya.”
“Sayang….”
“Ya?”
“Nanti malam kau sms aku. Kasih tahu aku, kamu dapat berapa. Terus, sebelum pulang, coba mampir ke apartemennya. Kumpulkan semua gelas-gelas kristalnya, ya! Aku mau itu. Lalu, buka lemari pakaiannya. Di situ ada baju-baju vintage Chanel, bawa pulang. Kalau kamu buka laci meja riasnya, cari kotak biru dari kulit kerang. Buka. Di dalamnya ada giwang mutiara hitam, gelang giok, cincin dengan mata batu mirah, bros yang dia beli di Amsterdam, bentuknya seperti cheetah. Oya, tusuk konde. Ada tusuk konde dari emas. Jangan lupa bawa tas plastik. Ambil sepatu stiletto-nya. Aku perlu buat ke pesta, kapan-kapan. Aku sebetulnya juga mau piring-piring antik dan perangkat minum tehnya. They’re real china! Di ruang tamu, buka lemari bukunya. Di laci paling bawah, ada foto Clark Gable dengan tanda tangan asli… Itu dibaw…”
“Hei, hei, hei…”
“Tidak usah malu-malu dan sok tidak butuh. Itu semua hakmu sebagai keponakannya yang terkecil. Ambil saja. Buat aku, istrimu.”
“Tapi….”
“Jangan bilang kamu tidak sampai hati. Semua setuju kalau kau yang ambil. Toh nanti tidak ke mana-mana. Buat kita, buat anak-anak! Hitung-hitung warisan dari Eyangnya.”
“Aku…”
“Sayaaaang, dengar aku: lebih baik kamu yang ambil dari pada dibiarkan membusuk atau malah dibuang oleh negara. Ya, kan?”
“Bukan, bukan begitu.”
“Terus apa? Malu? Sini biar aku yang ke sana, ambil sendiri.”
“Bukan, bukan begitu.”
“Lalu apa?”
“Semua yang kau mau itu sudah lama lenyap. Diambil oleh istri abangku. Semuanya.”
“Ah, kapan?”
“Begitu tante masuk rumah jompo. Setahun lalu.”
“…”
mbak Reda...
ReplyDeleteI love the way you ending the story!!
make me stop in a moment. then smiling....
nice!