Mak bilang, ia tak suka matanya.
Terlalu liar.
Tetapi kebutuhan yang amat sangat akan pembantu membuat Mak tak punya pilihan lain, menerimanya sebagai pembantu rumah kami yang ke sekian. Dia tiba di rumah kami malam hari, diantar tetangga dari gang sebelah. Tak banyak bawaanya. Hanya sebuah tas plastik, berisi sehelai daster, sepasang pakaian dalam dan sisir kecil yang sudah ompong beberapa giginya.
Paginya, dapur sudah bersih. Lantai mengkilat. Di meja terhidang nasi goreng. Siap untuk disantap dan dibawa sebagai bekal ke sekolah. Mak, aku dan Pak, terkagum-kagum. Belum pernah kami punya pembantu yang bekerja secepat ini, dan tanpa suara. Semua berlangsung rapi tanpa seorang pun dari kami mendengar suara dari dapur.
Sepulang sekolah, aku menemui Mak duduk di ruang tamu, membaca majalah. Santai. Ini luarbiasa, karena pada hari-hari sebelum ini, pada jam begini, Mak pasti sedang repot di belakang: menggosok pakaian. Taruni, begitu nama pembantu kami ini, sudah membereskan semua itu. Segalanya berlangsung baik, tenteram dan menyenangkan bersama Taruni.
Ketika Lebaran mendekat, Taruni yang selalu tertidur di depan televisi, ijin pulang.
“Berapa lama?”
“Ya.... Lama, Bu,” jawabnya dengan logat Tegal yang sangat kental.
“Wah, jangan lama-lama, Tar. Dua minggu, ya?”
“Terserah Ibu lah,” katanya.
Ketika berangkat menuju Pulo Gadung, kami terkejut melihat penampilannya. Taruni yang sehari-hari pakai daster, rambut dicepol, tiba-tiba pakai celana jeans, berkaus ketat, tas selempang, menenteng traveling bag.
“Tar, hati-hati! Banyak copet, penjahat!”
“Ya, Bu. Pamit, Bu.” Dan ia hilang dari pandangan kami.
Dua minggu lewat, ia tak muncul. Juga pada minggu ketiga. Ketika tepat sebulan, Mak memutuskan untuk mencari pembantu baru. Ternyata tidak mudah.
Tiba-tiba saja, pada minggu ke lima, di satu pagi, Taruni muncul. Berdiri di depan gerbang, memanggil-manggil Mak.
Kami semua kaget melihatnya. Ia tampak begitu kurus, kotor. Dan seperti saat ia datang tempo hari, kali ini pun ia hanya membawa sebuah kantong plastik, berisi selembar kain batik, daster, sepasang pakaian dalam. Sudah.
Mak menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Ia menjawabnya, satu-satu.
Taruni bilang, begitu sampai di kampung, seorang lelaki mengajaknya kawin. Ia mau saja, karena lelaki itu tampan, masih muda (malah lebih mudah dari Taruni!). Tetapi setelah lewat dua minggu, lelaki itu mulai sering menghilang. Dan kemudian tak kembali sama sekali.
Ke mana dia?
Entah, Taruni tak berhasil menemukannya. Tetapi yang lebih menjengkelkan, semua uang tabungannya habis dikuras lelaki itu.
Selesai menjawab semua pertanyaan, Taruni segera kembali ke kamarnya di belakang rumah, kembali bekerja seperti biasa, sampai Lebaran kembali tiba dan ia kembali minta ijin pulang.
Seperti lebaran sebelumnya, Taruni kembali datang sangat terlambat. Kali ini hampir dua bulan ia baru sampai di rumah kami. Dan ternyata ceritalama berulang. Ia kawin, uangnya habis diambil suami, dan kemudian ditinggalkan begitu saja.
“Tar, sudah dua kali pulang, kamu kawin, terus ditipu sama suamimu itu. Sayang uangmu. Itu kan bisa dipakai buat beli sawah, sapi, kambing. Kalau mau kawin, cari laki yang baik, yang bener, Tar,” Mak menasehati.
“Sudah dicari, Bu. Tapi dapatnya yang salah terus.”
“Sudah berapa kali kamu kawin, Tar? Tiga?”
“Lebih, Bu. Sepuluh sama yang kemarin.”
“Sepuluh? Ya, ampun Tar! Sudah kebanyakan itu! Lebaran ini, kamu jangan kawin dulu, ya. Tahan diri sedikit.” Taruni mengangguk-angguk. Sementara Mak menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir, ada orang yang kawin sampai sepuluh kali dan setiap kali cuma bertahan selama sebulan dua. Lebih heran lagi, yang melakukan tak juga jera meski sudah berkali-kali perkawinannya kandas dengan cara yang sama: dicerai setelah uang habis.
Kali ini, Mak berpesan agar ia tidak kawin dengan siapa pun di kampung.
“Kamu harus cepat kembali ke Jakarta, Tar. Jangan lewat sebulan di kampung, karena kami akan pindah rumah. Kalau kamu datang terlambat, kami sudah tidak tinggal di sini lagi....Ingat ya, Tar!”
Taruni bilang, ya. Tapi hingga hari kepindahan tiba, ia tak juga muncul. Mak menitipkan alamat rumah kami yang baru pada tetangga, lengkap dengan denah yang sangat detil. Berharap tetangga mau berbaik hati menerangkan semua yang tertulis di situ pada Taruni yang buta huruf itu. Bahkan dua hari setelah semua barang diangkut ke rumah baru, Mak masih menyuruhku menginap di rumah lama. Siapa tahu Taruni datang. Tapi ia tak juga muncul. Selama beberapa minggu di rumah baru, Mak gelisah. Memikirkan Taruni. Beberapa kali aku diutus main ke tetangga kami di dekat rumah lama. Menanyakan Taruni. Tapi aku selalu pulang dengan tangan hampa. Tak ada kabar tentang dia. Tak pernah ada yang melihatnya muncul di sana.javascript:void(0)
Aku tak ingat kapan, tapi lama setelah kepindahan itu, Mak baru benar-benar menyadari Taruni tak akan pernah muncul di rumah kami lagi.
Mungkin ia berhasil menemukan lelaki yang tepat. Mungkin ia memakai uangnya untuk membeli kambing, bebek dan ayam, seperti yang dinasehatkan Mak padanya. Mungkin juga ia bertemu dengan lelaki lain yang mengajaknya kawin. Dan kali ini bertahan cukup lama. Mungkin. Sangat mungkin.
Maret 14, 2010
No comments:
Post a Comment