Friday, 2 April 2010

BAYI

Begitu pintu mobil terbuka, suara itu langsung menyergap telinga. Dan itu aku katakan padamu.
“Suara? Suara apa?” katamu sambil mengangkat kepala tinggi-tinggi, mencoba menemukan suara yang kumaksud.
Aku berkeras, memaksamu mendengar, tapi sekali lagi kau bilang, kau tak dengar apa-apa. Lalu kita masuk rumah. Menyalakan lampu. Mandi. Duduk di ruang tamu. Berhadapan. Diam. Aku tetap mendengar suara itu. Melengking.
Kita duduk berhadapan. Kau membaca majalah berita setelah menyalakan radio –kau tak suka televisi- di ruang tengah. Aku menikmati secangkir teh hangat. Suara itu, masih terdengar juga. Tak enak di telinga. Aku bilang sekali lagi, suara itu semakin keras. Kau berhenti membaca sebentar, memasang telinga, lalu menggeleng, “Suara? Aku tak dengar apa-apa,” katamu. Aku bangun dari sofa, mengecilkan radio. Kau dengar sekarang, tanyaku. Kau memejamkan mata.
Sesaat kemudian kau bilang, “Ya. Samar saja.” Lalu kau kembali membaca. Di telingaku, suara itu semakin keras. Memekakkan telinga, menyakitkan kepala. Mungkin baiknya aku tidur saja. Suara itu mengikuti.
Kau menyusul beberapa saat kemudian. Berbaring di sisiku. Napasmu hangat di telinga. Setengah berbisik, aku katakan padamu: suara itu tak juga henti.
“Biarkan saja, nanti hilang juga,” kau menggumam, biarkan saja, nanti pasti hilang juga.
Suara itu makin keras. Seperti sangat kesakitan, kataku.
Kau menggumam lagi. Kau bilang, “S ebentar lagi pasti berhenti.” Lalu napasmu mulai teratur. Kau tertidur. Suara itu, masih terdengar.

***

Paginya, suara itu masih ada. Semakin keras. Kali ini, kau mengaku mendengarnya dengan jelas, “Suara bayi.”
Bayi yang masih sangat kecil, kataku. Aku khawatir, jangan-jangan ada yang tak beres dengan bayi itu.
“Jangan terlalu mendramatisir.”
Aku bilang, ini bukan mendramatisir, tetapi rasanya sudah terlalu lama bayi itu menangis. Aku khawatir.
“Mungkin dia sedang kurang enak badan. Ya, seperti kita juga, orang dewasa,” katamu.
Kalau begitu, harusnya dibawa ke dokter, lalu diberi obat, kataku. Sudah terlalu lama ia menjerit-jerit begitu.
Kau membuang napas keras-keras, tak sabar, “Bisa saja bayi itu sudah dibawa ke dokter, sudah diberi obat. Tapi bayi itu terlalu manja. Minta digendong.Cengeng.”
Cengeng? Tak ada bayi cengeng, kecuali sedang sakit, kataku.
“Siapa bilang?”
Aku bilang, aku. Dari alismu yang mendadak naik, dari bentuk bibirmu yang melengkung ke bawah, aku tahu kau tak setuju denganku.
Kau mengelak, “Aku tak beranggapan begitu!”
Tetapi aku tahu. Aku merasakannya. Tanpa harus mengeluarkannya dari mulutmu aku tahu apa yang di kepalamu. Kau mau bilang kalau aku tak tahu apa-apa soal bayi. Karena aku -sampai hari ini- belum juga memberimu anak. Tak ada bayi yang datang, lalu bagaimana aku bisa tahu tentang jenis tangisan bayi?
Kau menggeram. Mukamu memerah. Mukamu memerah. Kau cengkeram bahuku, menyuruhku diam. Kau tahu: aku berkata benar.

***

Ketika kau pulang kemarin malam, aku bersiap tidur. Kau duduk di tepi ranjang.
“Aku masih mendengar tangisan bayi itu. Padahal malam sudah begini larut,” katamu. Aku diam saja.
“Mungkin kau benar, ada apa-apa dengan bayi itu…”
Aku diam saja, membalikkan badan, memejamkan mata.

***

Pagi ini aku minta kau berangkat kerja sendiri. Aku tak ikut. Aku mau ke rumah bayi itu. Aku akan ke apotik membeli bedak, minyak telon, … apa saja. Aku harus ke sana, kataku.
“Jangan!” katamu setengah berteriak.
Kenapa? Aku harus ke sana, lihat bayi itu. Pasti ada apa-apa dengannya. Jangan-jangan sakit parah, terluka. Tangisannya itu mengisyaratkan dia sangat kesakitan, kataku. Aku tahu itu. Kau menggelengkan kepala, dahimu berkerut. Kau tak setuju.
Sudah terlalu lama dia menjerit-jerit, kataku.
“Ya, tapi jangan sekarang. Nanti sore saja, sepulang kerja. Berdua kita berangkat menjenguknya,” katamu.
Kita?
“Ya, sambil berkenalan. Sambil bawa makanan kecil buat ibunya. Sambil.... apa sajalah. Tapi kita berdua.”
Kenapa?
“Supaya si Ibu tak curiga kau mencari tahu soal bayinya.”
Aku ingin pergi sekarang. Tetapi mungkin kau benar, sebaiknya kita pergi bersama. Lalu kau menambahkan akan pulang cepat sore nanti supaya tak terlalu malam bertandang ke rumah bayi itu.
Baiklah.

***

Ternyata kau pulang sangat larut. Hampir tengah malam. Kau sengaja pulang lambat, aku yakin itu. Selambat-lambatnya sampai kita tidak bisa bertamu ke rumah bayi itu.Kau memang tak pernah berniat menemaniku menjenguk bayi itu. Kau memang tak ingin. Ajakan pergi ke sana berdua sebenarnya hanya upayamu agar aku tak usah ke rumah itu. Aku tahu itu.
“Tadi jalan macet sekali. Ban kena paku pula!” katamu.
Jalan macet sejak dahulu kala. Ban mobil kena paku? Oh, mengapa tak meledak saja mobilmu?
Wajahmu merah padam, “Aku lelah!” kau berteriak sambil bergegas masuk kamar, lalu membanting pintu.
Lelah berbohong, aku balas berteriak.
Suara tangisan itu: masih juga terdengar. Memekakkan telinga. Menyakitkan kepala.

***

“Tangisan bayi itu benar-benar makin keras. Dia pasti kesakitan….” katamu sambil berpakaian, siap berangkat kerja. Aku tak menyahut.
Lalu kau tepuk bahuku, “Aku yakin, ibu bayi itu pasti sudah membawanya ke dokter. Bahwa ia masih tetap menangis, mungkin obatnya belum tepat. Tetapi sebentar lagi tangis itu pasti berhenti.” Aku tetap diam.

***

Sore ini kau masuk rumah dengan tergesa, “Aku sengaja pulang cepat, karena aku mau mengantarmu ke rumah ibu bayi itu. Aku sudah janji, kan? Ayo!” katamu dengan sangat semangat. Di tanganmu ada sekantong jeruk, di tangan yang lain ada kotak-kotak kecil beraneka ukuran, “Perlengkapan bayi!” katamu sambil tersenyum lebar dan menyorongkannya padaku. Ada bedak, ada minyak telon, ada popok sekali pakai….
Tak usah, kataku.
“Ayolah, jangan begitu! Ganti baju, kita berangkat sekarang.”
Tak perlu lagi kita kesana, kataku. Bayi itu sudah berhenti menangis. Kau tersenyum lega, mengelus dada, menepuk bahuku, “Ah, syukurlah!”
Lalu kusampaikan padamu, sepuluh menit lalu, sebelum kau pulang, Bu RT mengabari kalau bayi kecil itu meninggal sebelum waktu sholat Asar. Tubuhnya penuh lebam dan luka. Dipukuli ibunya, yang sekarang sedang diinterogasi di kantor polisi.
Aku menuju dapur, meninggalkanmu.
Senyummu hilang.


Rawamangun, Februari 2010
Telah dimuat di KOMPAS Minggu, 21 Maret 2010

1 comment:

  1. Mbak Reda, cerpennya bagus-bagus banget... Tersentuh deh bacanya :)

    ReplyDelete