Wawancara (Imajiner) dengan RA. Kartini
Pagi adalah waktu yang tepat untuk bertemu dan bicara sambil minum teh. Ketika itu jam sarapan sudah lewat, sementara jam makan siang masih jauh. “Apa lagi yang ingin ditanyakan? Tidakkah semuanya sudah jelas? ” begitu kata Raden Ajeng Kartini ketika melihat saya mengeluarkan alat rekam dan buku catatan.
Hari kelahiran Raden Ajeng ditetapkan sebagai hari yang perlu diperingati sebagai hari besar oleh kaum perempuan.
Saya sangat terharu dan sebetulnya agak pekewuh juga melihat hari lahir saya dijadikan hari besar yang perlu diperingati dengan begitu meriah. Bahkan menyebut saya sebagai pahlawan sejati bagi kaum perempuan Indonesia. Sekali pun tak pernah terlintas dalam pikiran bahwa apa yang saya lakukan akan mempunyai pengaruh besar bagi perkem¬bang¬an gerak perempuan Indonesia di kemudian hari.
Hari Kartini dirayakan di seluruh pelosok negeri. Perempuan segala usia, dari taman kanak-kanak sampai tingkat kantoran, merayakannya dengan serius.
Merayakan hari ulang tahun saya dengan serius? Itu yang sebetulnya agak mengherankan saya. Untuk apa?
Untuk merayakan tindakan dan pemikiran Ibu tentang perempuan, tentu.
Lewat surat-surat yang saya kirimkan itukah?
Betul, Ibu.
Ya, ya…. Kalian melihatnya sebagai karya besar, ya. Tetapi sebetulnya, surat-surat itu tidak pernah saya bayangkan akan diterbitkan. Saya menuliskannya untuk sahabat saya, Rosa Abendanon. Kami dekat dan saya ingin bercerita kepada seseorang yang saya anggap bisa mengerti apa yang mengganggu benak saat itu. Juga kepada Estelle Zeehandelaar. Dengannya saya banyak berdiskusi tentang kondisi perempuan pada saat itu. Mengapa perempuan Jawa harus taat pada kungkungan adat, tak bisa bebas duduk di bangku sekolah. Dipingit, dinikahkan dengan lelaki yang tak dikenal. Bahkan kemudian bersedia dimadu. Buat saya, ketika itu sangat mengherankan dan mengganggu sekali. Tetapi tentu saja pertanyaan itu tak bisa saya ajukan kepada orang tua sendiri, atau suami saya. Tidak mungkin. Satu-satunya tempat bertanya –yang saya lihat saat itu—adalah sahabat-sahabat saya. Berada di lingkungan berbeda, latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda, membuat mereka bisa menjadi tempat pengaduan dan bertanya buat saya. Bahwa kemudian semua itu dianggap sebagai karya yang besar, itu bukan upaya saya. Itu upaya pemerintah dan tentu saja keberanian JH Abendanon.
Ibu terlalu merendah.
Tidak, tentu tidak. Kalian –perempuan Indonesia saat ini—harus bisa melihat tulisan saya dari konteks waktu, lokasi dan status. Saya menulisnya pada akhir abad 19, di Jawa Te¬ngah, dengan status putri bupati. Di jaman itu, perempuan sulit bergerak bebas. Di Jawa ada banyak aturan yang mengikat perempuan untuk tidak begini, tidak begitu. Dan sebagai putri bupati, saya harus menurut pada rencana keluarga: berhenti sekolah dan menikah. Tidak bisa ditawar. Itu yang saya alami.
Namanya tentu bukan Kartini, Bu.
Dan memang tak perlu Kartini. Karena saya tahu, pada saat yang hampir bersamaan, di seluruh Indonesia muncul perempuan-perempuan yang maju dan bertindak. Mulai dari mengangkat senjata sampai mendirikan sekolah buat perempuan. Lihat itu Tjoet Njak Dien, Dewi Sartika…
Benar, Bu. Tetapi hari Kartini tetap penting buat kami.
Benarkah? Mengapa penting buat kalian? Saya tidak melihatnya demikian….
Penting, karena kehadiran Kartini mengingatkan kami untuk mensyukuri hal-hal yang bisa kami lakukan sekarang.
Kalian melihatnya begitu? Saya justru melihat sebaliknya. Saya melihat perayaan hari Kartini sebagai keriaan belaka. Seperti yang tadi dikatakan, dari taman kanak-kanak sampai kantoran, berlomba-lomba berkebaya, bersanggul. Lomba memasak, lomba menari, lomba ini, itu. Banyak. Bukan hal yang salah, tetapi saya pikir kegiatan seperti itu bukan cerminan dari rasa syukur kalian atas kemajuan yang telah diraih hari ini.
Saya tidak ingin hari Kartini dirayakan. Tetapi kalau kalian ngotot untuk merayakan, saya pikir kegiatannya harus sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi kalian sendiri.
Hari Kartini bukan hari Kebaya.
Tepat. Pemikiran bahwa hari Kartini harus dirayakan dengan kebaya dan sanggul adalah suatu pikiran yang tidak pada tempatnya. Sangat kuno. Berkebayalah kapan saja kalian mau. Itu pakaian nasional kita bukan? Apakah memang kalian merasa perlu hari khusus untuk berkebaya dan bersanggul? Rasanya tak sedangkal itu.
Jadi Perayaan Hari Kartini …
Adalah perayaan yang salah jurusan. Bukan sesuatu yang perlu dipelihara oleh perempuan modern dan berpikiran maju seperti kalian.
Ibu, kami tetap merasa perlu merayakan Hari Kartini.
Merayakan hari Kartini… (RA.Kartini mengambil cangkir berisi teh manis. Meneguk sekali, dua kali. Diam sejenak, lalu meletakkannya kembali di tempat semula.) begitu pentingkah itu buat kalian? Buat perempuan Indonesia?
Sangat penting, Ibu.
Hmmm, bila memang demikian, mungkin kalian harus merenungkan dan memikirkannya dengan sungguh-sungguh, apa yang ingin dirayakan. Apa yang ingin disyukuri.
Bila Hari Kartini menjadi peringatan kebangkitan perempuan, kemajuan perempuan di berbagai pihak, maka buatlah kegiatan sesuai dengan semangat itu. Apakah kegiatan berkebaya, lomba masak, lomba bersanggul, lomba sepeda hias adalah cara yang tepat? Saya melihatnya sebagai kegiatan yang artifisial, fisikal.
Berarti perayaan Hari Kartini selama ini sudah salah kaprah.
Bila tujuannya merayakan kemajuan wanita, saya rasa kegiatan yang dilakukan selama ini (berkebaya dan bersanggulan), bisa disebut begitu (salah kaprah). Mungkin perlu dipikirkan untuk tidak lagi merayakan Hari Kartini.
Nuwun sewu, Bu… Hal itu tidak ingin dan tak akan kami lakukan.
Jangan terlalu emosional, Dik. Dengarkan saya dan coba pikirkan…. Bila perempuan memang mensyukuri segala kemajuan yang telah dicapai hari lepas hari, maka usul saya, setiap hari harus menjadi hari penting. Rayakan setiap hari dengan membuat langkah-langkah baru. Lalu bidik hari berikutnya dan jadikan catatan penting dalam hidup. Hidup penuh arti. Begitu maksud saya.
Setiap hari menjadi hari penting buat perempuan, Bu?
Ya, jadikan setiap hari sebagai hari yang penuh manfaat buat diri sendiri, buat sesama perempuan. Jangan ragu untuk maju. Jangan juga menghalangi gerak perempuan lain untuk menjadi lebih baik dan lebih maju. Mau sekolah lagi, silakan. Mau jadi menteri, mari. Mau jadi guru di pelosok, ayo! Lakukanlah apa saja yang bisa membuat kalian bangga menjadi perempuan. Lupakan hari khusus berkebaya dan bersanggul. Artifisal sekali. Apa esensinya?
Setiap hari menjadi Hari Kartini.
Atau hari Yuliana, Hari Tuminem, Hari Sumiyati, Hari Tiurma… Setiap hari perlu dicatat dan disyukuri. Tak perlu Hari Kartini. Semoga paham maksud saya, Dik.
Ibu memang luarbiasa. Terima kasih, Bu.
Tidak, kalian yang luarbiasa. Sudah jauh kalian berjalan. Sudah banyak catatan yang kalian buat. Sudah harum nama kalian, perempuan Indonesia. Saya yang berterima kasih, Dik. Ayo, teh-nya, mungkin sudah mulai dingin....
Reda Gaudiamo
Ditulis dalam rangka hari Kartini, 2007
No comments:
Post a Comment