Sudah lewat tengah malam. Sebentar lagi langit akan benderang. Tetapi saya belum juga bisa memejamkan mata. Entah ke mana larinya rasa kantuk yang biasanya muncul buru-buru. Tempat tidur yang sore tadi spreinya masih licin, sekarang kusut. Dan kasur sempat mengintip ke luar. Jelek sekali.
Saya tidak mengerti mengapa bisa begini. Padahal tadi pagi, ketika mengusung barang masuk, saya sudah merencanakan untuk tidur lebih awal. Badan terasa lelah sekali.
Hari ini, gejolak gembira dalam hati sungguh tak terkira Bayangkan! Setelah bertahun-tahun berbagi kamar dengan dua adik, baru sekarang inilah saya bisa merasakan punya kamar sendiri. Kamar yang bisa saya tempeli gambar idola tanpa ada yang protes. Kamar boleh disapu seminggu sekali, atau sesempatnya, atau seingatnya, tanpa harus diomeli penghuni yang lain. Tempat tidur boleh menghadap arah mana saja. Rasanya begitu sempurna. Kalau pun ada yang mengganggu, itu hanya karena saya harus bayaran sewa kamar.
Membayar? Betul, saya kos. Dan ini berarti untuk pertama kalinya saya tinggal terpisah dari orang tua. Saya mengikuti jejak Kakak. Sebenarnya dia yang mengusulkan agar saya mencoba mandiri (aduh!). Dia bilang, “Sudah waktunya Ade belajar hidup sendiri.”
Usul ini langsung mendapat tentangan berat dari Ibu. “Hidup sendiri? Ah, yang benar saja! Dia kan masih kecil. Kalau ada apa-apa, bagaimana? Mau minta tolong sama siapa? Lagi pula dia kan baru masuk universitas. Kalau mau kos nanti saja, pas bikin skripsi,” begitu kata Ibu.
Tetapi Kakak malah kian gencar mempertahankan usul itu. Saya? Meski iba melihat Ibu terdesak, dalam hati saya setuju sekali pada usul Kakak.
“Bu, jangan selalu menganggap dia kecil. Nanti malah tidak besar-besar, lho.Kalau tidak diberi kesempatan belajar, kapan bisa dewasa dan mandiri? Lagipula kita kan sudah pernah mencoba dengan Ika (kakak saya). Semua lancar-lancar saja. Kenapa Ade tidak diperkenalkan juga dengan hidup terpisah?” itu ucapan Ayah. Saya amat sangat senang ia mendukung Kakak. Tetapi terus terang alasan yang menyala dalam hati saya bukan itu. Bukan!
Saya setuju sepenuhnya lantaran otak saya terlanjur membayangkan kamar yang bakal saya huni kelak. Kamar pribadi! Ah, alangkah indahnya kata-kata itu berdengung di telinga. Bukan main… Saya sedang siap-siap melamunkan kegiatan di tempat kos, di kamar pribadi itu, ketika Kakak menepuk bahu saya dengan keras.
“Dari tadi kami ribut soal kamu. Bagaimana kalau kamu saja yang menentukan. Apa yang kamu mau? Kos atau tetap tinggal di rumah? Begitu saja, ya Bu?” katanya.
Tak perlu ditanya dua kali, saya langsung berteriak, “Mau kos dong!”
Kakak tertawa senang. Ayah senyum-senyum. Ibu tampak masam. Sudut bibirnya agak melorot sedikit. Maaf, Bu. Tetapi sungguh saya ingin sekali punya kamar sendiri. Ingin sekali!
Seminggu lamanya saya berburu kamar kos. Maunya yang nyaman dengan tarif lumayan murah. Saya berkunjung ke tempat kos teman-teman, melihat kamar mereka. Aduh, mendadak saya merasa iri. Kamar mereka begitu terang, luas dan yang paling penting cuma diisi sendiri. Tak ada yang mengganggu (adik kembar saya yang lelaki itu luarbiasa nakal: setiap malam, saat mereka bertemu di kamar, pasti berkelahi, membuat kamar selalu tampak seperti kapal pecah). Tidak ada rebutan tempat menempel poster atau hiasan dinding. Kita punya hak untuk menentukannya sendiri! Luarbiasa! Luarbiasa!
Akhirnya, kamar ideal itu pun ditemukan: sebuah kamar mungil dengan pintu menghadap taman berumput. Jendelanya besar-besar dengan tirai kuning berbintik-bintik biru. Tempat tidurnya rendah dari kayu ramin. Ada lampu duduk untuk belajar. Saya ajak ibu juga ayah untuk melihatnya (kakak sudah terlanjur kembali ke Yogya, tempat ia kuliah sambil bekerja). Ibu diam saja tetapi bibirnya sudah membentuk huruf U. Ia senang dengan pilihan saya. Ayah? Tanpa banyak bicara, ia menyelipkan amplop. Uang kos untuk dua bulan sekaligus.
Sepulang dari Depok, ayah bilang begini, “Sebentar lagi, kau akan meninggalkan rumah ini, ya. Jangan-jangan, baru sebentar di sana, kamu sudah kangen. Maunya pulang terus!” Ayah menggoda. Kangen? Buru-buru saya menggeleng. Tidak mungkin.
Malam itu, mungkin karena terlalu senang, saya tak bisa tidur. Mata terus terbuka lebar. Dan karena lampu padam, yang bisa saya lakukan hanya menangkap bayang-bayang kamar yang saya diami selama ini.
Malam itu, saya baru benar-benar memperhatikan kamar yang saya diami selama beberapa tahun belakangan ini. Sebetulnya, ia tak pantas disebut kamar. Tiga sisi tripleks membentuk kubus dengan sisi keempatnya menempel di dinding rumah: itulah kamar kami bertiga. Pintunya –menurut ayah—memakai sistem pintu rumah Jepang yang digeser-geser itu. Tetapi prakteknya jauh dari teori sistem yang dimaksud. Dia selalu macet setiap kali saya terburu-buru membuka. Dan suara yang ditimbulkan ketika dibuka maupun ditutup: cukup bising. Jendela? Tak ada. Cukup lubang menganga yang diberi kawat nyamuk antara langit-langit dan tiga sisi tripleks tadi. Bila hari baik, udara segar berhembus dari lubang itu. Kalau tidak, ya seperti sekarang ini: panas. Ingin rasanya membuka pintu sedikit. Tetapi saya tahu pasti apa yang bakal terjadi setelah itu: adik-adik saya akan berteriak, “Nyamuuuuk!” Dan salah satu dari mereka akan bergegas menutup –tepatnya membanting—pintu.
Kamar Ayah dan Ibu tak juga lebih baik. Yang berbeda hanya konstruksi pintunya saja: gaya Eropa yang daun pintunya memutuskan untuk membuka ke arah luar (Ibu bilang, seharusnya ke dalam, biar rejeki bisa masuk dengan leluasa). Berisiknya? Lebih gawat lagi. Setiap pagi, bila Ibu bangun untuk menyiapkan sarapan buat kami semua, serta merta mata kami terbuka juga. Terusik oleh bunyi gesekan pintu dan lantai. Juga derit engselnya yang minta diminyaki. Tetapi sedetik kemudian, setelah bunyi luarbiasa itu berlalu, kami terlelap kembali.
Lalu terbayang rumah tempat kamar kos saya di Depok sana. Begitu bersih. Terang. Malah boleh dibilang sedikit lux. Dindingnya putih bersih, membuat rumput di halamanmya tampak kian hijau. Berbeda sekali dengan rumah kami yang lebih mirip gudang raksasa (Kakak bilang kubus raksasa yang jatuh dari langit).
Di bagian tengah – tempat kami berkumpul, makan bersama dan menonton televisi – ada lubang besar berbentuk persegi panjang yang ditutupi lembaran seng plastik dan genting kaca. Sinar matahari leluasa masuk dari sana, membuat rumah terang benderang hingga ke sudut-sudutnya. Ada jendela besar di tembok depan dan belakang. Siang hari, angin menerobos masuk, menyegarkan. Malam hari, meski telah diberi tirai tebal di belakang kawat nyamuk, udara malam tetap berhasil menyelinap, membuat ibu bersin-bersin.
Itu belum apa-apa. Ketika musim hujan tiba, kubus besar yang penuh cahaya dan angin itu dipenuhi air. Bila air dari langit mengucur terlalu deras dan lama, maka air akan menggenang di segenap penjuru. Ketika pertama kali mengalaminya, kami bingung karena tak tahu apa yang harus diselamatkan lebih dahulu. Semua sama pentingnya: buku, pakaian, mesin tik, piring dan alat dapur, koper dokumen … Tetapi sekarang sudah biasa. Perabot rumah sudah disesuaikan dengan keadaan. Air menggenang di segala ruang, tak apa. Tak ada yang terendam.
Beberapa teman yang rajin berkunjung (mereka cinta betul pada pohon jambu yang tak pernah berhenti berbuah itu) sempat mengalami peristiwa berkala itu dan mereka terpesona. Heran melihat air yang mendadak muncul dari sela-sela lantai. Mereka bilang, kami punya perusahaan mata air.
Memang, air yang menggenang dalam rumah itu bukan lantaran selokan tersumbat sampah. Tetapi air hasil rembesan bawah tanah yang muncul dari sambungan ubin. Kata orang, tanahnya sudah jenuh air. Karena jenuh itulah, air lama sekali baru surut, membuat kaki basah terus. Kalau sudah begini, adik kembar saya paling cepat masuk angin. Kalau ingin cepat kering, kami harus rajin menimba air ke pekarangan. Tapi itu pun bukan pekerjaan sebentar. Belakangan ayah membeli pompa kecil, khusus untuk membuang air lebih cepat. Tetapi karena bunyi pompa itu luarbiasa keras (Ibu bilang, seperti ada helicopter di dalam rumah) kami kembali pada metode ciduk-buang.
Sungguh, tiba-tiba saya merasa betapa parahnya rumah kami ini. Mengapa kami harus bertahan tinggal di tempat yang tak layak huni ini? Saya merasa ayah telah salah ambil langkah. Mengapa rumah seperti ini dipertahankan, sementara ada berjuta rumah baru bisa dibeli dengan system tukar tambah dan cicilan?Apakah karena ini rumah pribadi yang berhasil dibeli sendiri setelah sebelumnya mengontrak terus? Saya tak mengerti dan kepala saya jadi pusing karena panas yang kian mengganggu saja. Mengesalkan!
Pagi harinya, saya bangun dengan kekesalan memuncak. Saya kehilangan semangat untuk melakukan apa pun. Rasanya ingin meledak-ledak saja. Tetapi siapa yang harus dimarahi? Dan dalam rangka apa? Pintu jepang itu berkali-kali kena sepak kaki saya yang mondar-mandir ke luar masuk kamar.
“Ada apa, De? Pagi-pagi sudah ngamuk begitu? Mimpi apa semalam?” tanya ibu seraya menjawil bahu saya.
Saya juga jadi kesal pada Ibu. Mengapa ia setuju saja dengan pilihan ayah atas rumah ini. Saya yakin Ibu punya selera yang baik.
Memang rumah ini sudah jauh lebih baik ketimbang kami pertama kali melihatnya. Ayah membelinya dari seorang teman yang pengusaha. Entah salah hitung di sebelah mana, pada suatu hari, pengusaha itu jatuh pailit. Satu persatu hartanya dijual. Termasuk yang satu ini. Harganya murah, begitu kata ayah waktu itu. Ketika pertama kali melihatnya, saya dan kakak langsung berpandang-pandagan dengan senyum sangat lebar. Rumah ini begitu berbeda dengan tempat tinggal kami saat itu (rumah kontrakan) yang sangat sempit (Kakak menyebutnya gua, karena lebarnya tak seberapa, tapi panjangnya bukan main dan langit-langitnya rendah sekali). Pagarnya rendah, dipadati rumpun melati. Di sudut halaman ada pohon jambu air yang buahnya bergelayutan di setiap tangkainya. Ayah –waktu itu bilang—rumah ini tidak sempurna. Pembagian ruangannya tidak jelas. Butuh penataan. Sayangnya, meski sudah diupayakan siang malam oleh ayah dan ibu, rumah ini tak juga sempurna. Perubahan tak memberi hasil menyenangkan hati. Tetap saja seperti kubus besar. Ajaib. Harusnya dirobohkan saja. Lalu buat bangunan baru yang rancangannya pas, bagus. Dan yang paling penting, tak lagi menghasilkan seribu mata air di musim penghujan!
Aduh! Kaki saya menabrak pintu jepang itu lagi. Sekali ini ibu jari terasa meradang. Sial! Sayamengaduh. Mengumpat. Didengar ibu.
“Ada apa, De? Dari tadi ngomel terus. Makanya lihat jalan. Jangan nubruk-nubruk. Cari apa, sih?” tanyanya.
“Heran, rumah kok tidak karuan begini. Pintu susah dibuka. Panas. Banyak nyamuk. Mustinya dihancurkan saja.”
“Hus! Kamu ini bicara apa? Enak saja menghancurkan rumah. Kamu kira itu gampang? Bangun dan menghancurkan sama ruwetnya. Sudah bagus punya rumah. Jelek-jelek milik sendiri. Apa sudah lupa waktu kita masih kontrak? Setiap tahun Ayah dan Ibu deg-degan memikirkan rumah, uang sewa yang selalu naik,” suara ibu makin tinggi dank eras.
“Ya, Bu. Tapi masak sih ayah tidak bisa mendandani rumah ini jadi sedikit lumayan? Malu kan sama teman-teman! Dijual sajalah, Bu. Terus kita beli rumah real estate. Tipe kecil saja, Bu.”
Ibu mencubit lengan saya. Sakit juga. “Kamu ini kalau bicara sering tidak dipikir. Lupa ya, siapa yang dulu lompat-lompat waktu dibawa ke sini. Bilang ini rumah idaman. Indah. Seperti di buku-buku. Siapa coba?” telinga saya terasa menghangat. “Kamu juga musti ingat, dari uang yang ada, cuma rumah ini yang bisa dibeli. Diperbaiki kan sudah. Tapi ya harus sedikit-sedikit. Uang ayah dan ibumu ini tidak banyak. Untung kakakmu itu sudah bisa kerja-kerja sambil kuliah. Jadi tidak perlu kirim uang ekstra ke Yogya. Tapi kan masih ada kamu, adik-adikmu… tabungan buat rumah, tentu harus dikalahkan kalau ada perlu untuk kalian…”
Dari wajahnya saya tahu Ibu akan terus bicara. Sementara saya belum berhasil meredam kekesalan yang tak menentu ini. Maka saya putuskan untuk perlahan-lahan menyingkir. Sya bergegas masuk kamar lagi. Saya pandangi tempat tidur yang kini penuh tumpukan pakaian – yang akan saya angkut ke tempat kos. Tiba-tiba ingin saya lempar saja semuanya ke segala arah. Kamar ini berantakan sekali! Pengap! Bau apek! Bah!
“Adeeeee!” Ibu berteriak memanggil saya. Dia tahu saya telah melakukan hal yang tak terpuji. Braaak! Pintu jepang terbuka. Dan tampaklah wajahnya yang murka.
“Kamu kenapa, sih? Itu baju bersih! Kalau kotor, kamu cuci sendiri. Heran, tidak ada hujan angin, ngamuk tidak karuan. Coba saja lihat, kalau ayahmu pulang, ibu akan laporkan. Biar dia cabut ijin kos mu itu. Kamu ini memang aneh! Kadang-kadang, ibu betul-betul tidak bisa mengerti kamu! Kok ya….”
“Ah, sudahlah, Bu!” terus terang saya paling tidak suka mendengar ocehan Ibu. Dia sangat suka berpanjang-panjang. Sekali mulai, sulit berhenti. Mau masalah besar, kecil, pasti ia tak bisa sebentar bicara.
Saya beranjak pergi, meninggalkan Ibu yang masih mengoceh di kamar yang sudah kembali jadi kapal pecah itu. Ibu tampak jengkel sekali. Pasti. Malam harinya, saat makan bersama, ibu mulai berkisah tentang kejadian siang tadi pada ayah. Ingin sekali rasanya lenyap ditelan bumi. Saya benci rumah ini. Saya kiesal pada ibu yang gemar mengadu pada ayah. Saya kesal pada ayah yang tak pernah mendengar cerita saya. Selalu ibu jadi mahluk paling benar di rumah ini. Pun saya jengkel pada dua adik yang tertawa cekikikan melihat saya mati kutu. Saya ingin kakak saya ada di sini. Membela saya. Dia gemar tarik urat. Melawan arus ayah dan ibu. Dan ia sering menang.
Hari-hari berikutnya lewat tanpa kesan, kalau tak boleh dibilang menjengkelkan. Cuma satu hal yang membuat saya merasa agak gembira: hari keberangkatan saya menuju tempat kos kian dekat. Koper kecil sudah berulang kali mengalami bongkar pasang. Pakaian silih berganti masuk dan keluar. Catatan di tangan yang berisi daftar barang bawaan setiap hari semakin panjang saja. Betapa banyak yang harus diboyong.
Hubungan saya dan ibu ternyata cepat membaik. Ia ikut semangat membantu saya. Cuma saya yang kurang suka. Maunya semua saya lakukan sendiri. Saya tak ingin ada yang ikut campur. Juga ibu. Buat saya, ia lebih banyak mencela ketimbang membantu. Sungguh, saya ingin segera pergi! Saya ingin menjelang hidup mandiri itu. Oh, segeralah tiba! Segeralah!
Dan hari itu pun tiba juga. Hari ini. Ayah dan ibu mengantar. Adik kembar saya tinggal di rumah. Menolak ikut, karena mereka yakin itu akan membuat saya makin besar kepala saja. Sial! Sambil menutup pintu gerbang, melepas saya, mereka tersenyum lebar, hingga seluruh deretan gigi terpampang lengkap! Pasti karena bahagia bisa memiliki kamar itu untuk berdua saja. Depok terasa begitu jauh. Bilakah tiba?
Dan inilah yang terjadi selanjutnya” tanpa buang-buang waktu, saya minta ayah dan ibu segera pulang. Saya tak ingin teman-teman kos melihat saya di antar ayah ibu. Oh, saya jamin mereka akan senyum-senyum penuh arti kalau sampai tahu. Saya akan dicap anak kecil yang takut memulai hidup sendiri. Ah, sembarangan! Mereka yang ingin mengantar, bukan saya yang meminta. Sumpah!
Ibu bilang, ia tak mau langsung pulang. Ia ingin mengatur sedikit-sedikit. Tetapi dengan gigih saya menolak. Cukuplah kedatangan yang dikawal orang tua jadi bahan senyum. Jangan ditambah lagi dengan atur-mengatur kamar. Saya bisa sendiri. Bisa! Aduh, percayalah!
Mereka, ayah dan ibu, akhirnya pulang setelah saya paksa. Setelah mereka tak lagi tampak, dengan sigap saya membuka koper dan mengeluarkan segala isinya. Ternyata pakaian yang saya bawa terlalu banyak untuk lemari plastik ukuran mini. Terpaksa saya tumpuk di sisi tempat tidur. Kelihatan jelek sekali. Berantakan. Saya pindahkan ke meja tulis, lebih buruk lagi hasilnya. Akhirnya saya tumpuk begitu saja di samping lemari, beralaskan Koran. Masih jelek, memang. Tetapi saya sudah kehabisan akal, tak tahu harus diletakkan di mana lagi. Dan saya kelelahan. Padahal lantai masih kotor, perlu disapu dan dipel. Aduh!
Meminjam perlengkapan milik teman di kamar sebelah, saya menyapu. Lalu mengepel. Kalau ada yang bilang dua pekerjaan ini mengasyikkan, ia pasti seorang penipu besar! Menyapu tidak menyenangkan. Pintu ditutup, debu tak bisa menerobos keluar kamar. Pintu dibuka, debu kembali menyebar tak terkendali. Terlalu banyak air, membuat kamar becek. Terlalu sedikit air, lantai terasa lengket. Mengepel dengan kaki sebagai tangkai, membuat kain terlipat dan bidang yang dibersihkan jadi tidak jelas. Mengepel sambil jongkok, membuat pinggang mau patah. Saya kehabisan napas. Sementara badan terasa lelah, mata berat. Memaksa untuk tidur.
Habis mandi, saya setujui isyarat badan dan mata: tidur. Tetapi –ya seperti saya bilang tadi—mata tetap saja membelalak. Tak mau terpejam. Ajaib!
Jam berapa sekarang? Ah, jam tangan tertinggal. Jam dinding apalagi. Yang pasti sudah sangat larut. Teman-teman sudah tak terdengar lagi suaranya. Saya membalik-balik badan di tempat tidur. Di luar, angin meniup agak kencang. Tirai jendela yang manis, bergerak-gerak. Seperti apa keadaan di luar, di halaman rumput yang terhampar persis di depan kamar saya? Entah. Ada suara binatang mengerik. Mungkin itu yang dimaksud oleh ayah dengan tenggoret. Saya tak ingin tahu.
Tiba-tiba saya ingin buang air kecil. Ah, mengapa saya tak memilih kamar yang ada toilet di dalam? Kamar kecil milik bersama letaknya jauh di belakang rumah. Rasa itu semakin mendesak saja. Tetapi saya sama sekali tak ingin keluar. Tidak bisa. Tiba-tiba saja kaki saya terasa dingin. Lantai lebih dingin lagi. Pintu kamar terasa begitu jauh dari tempat tidur. Tirai jendela menari kian hebat. Sedikit tersingkap. Angin menyelinap masuk. Saya menggigil kedinginan. Tetapi selimut ada di dalam lemari dan untuk mengambilnya, kaki terasa lemas. Tak bisa bergerak. Tirai yang terlanjur tersingkap tak mau kembali ke posisi semula. Saya ingin membetulkan letaknya, tetapi bagaimana kalau tiba-tiba wajah tak dikenal muncul di baliknya? Menyeringai pula? Aduh! Bantal yang keras dan besar ini tiba-tiba terlalu sempit untuk menutupi wajah saya. Lampu kamar terlalu suram untuk mengusir kegelapan.
Matahari, matahari, di mana kau? Terlambat datang hari ini? Saya ingin hari segera menjadi siang. Terang. Saya ingin pulang saja! Ya, pulang. Saya benci jantung saya: dia berdebar semakin keras saja. Saya benci kaki saya: mereka menggigil kedinginan. Saya benci gigi saya: mereka menggigiti kuku hingga terasa perih. Saya benci pada rasa mendesak di bawah sana: jangan-jangan sudah membuat seprei lembab (atau sudah basah?). Saya benti mata saya: mereka mengeluarkan air mata.
Saya ingin keluar dari ruang ini. Dari lingkaran tirai kuning berbintik biru. Saya ingin ada Ibu di sini. Mengoceh dan mengomel tentang kamar yang terasa makin gelap saja. Saya ingin menjentik perut ayah yang gembul. Saya ingin mendengar cekikik iseng adik-adik saya itu. Saya ingin berada di kamar yang panas itu, yang pintu jepangnya selalu macet, yang bau apeknya menempel sampai ke dinding dan tripleks. Saya ingin dikejutkan oleh tendangan kaki ibu pada pintu Eropa, yang menandakan pagi sudah tiba. Air menderas. Seprei basah. Duhai!
Pernah dimuat di majalah GADIS, Agustus 1990
No comments:
Post a Comment