Saturday, 28 August 2010

Minggu, Dini Hari...


            Sabtu malam. Atau mungkin tepatnya,Minggu pagi. Aku dalam perjalanan pulang setelah lebih setengah malam kuhabiskan dengan Iim, Pon, Suket memacu mobil di jalan raya, di wilayah kuningan. Masih terasa terpaan angin dingin seperti menyilet pipi, derung dengungan mesin yang kami pacu sekencang-kencangnya pun masih mengiang di telinga. Aku ingat tadi kami tertawa terbahak-bahak melihat beberapa waria terpaksa memeluk tiang lampu jalan dengan mulut terbuka dan tamborin yang bergoyang di lengannya yang gemetar. Iim bilang, kejutan seperti itu perlu untuk mereka.
            “Biar tahu kalau di dunia ini ada juga yang rame, yang bikin jantung rontok!” kami lalu tertawa terbahak. Seingatku, kami tadi tertawa cukup banyak dan lama. Mungkin banyak yang lucu terjadi. Aku tak ingat lagi.
            Suket usul, minggu depan kami pindah lokasi. Katanya, siapa tahu ada razia. Belakangan ini beberapa koran sibuk membahas acara adu cepat ini. Apakah berita Irak dan Amerika Serikat tak seru lagi sampai kegiatan sekecil ini jadi pokok bahasan koran?
            Kepalaku agak pening, sebenarnya. Mungkin terlalu banyak minum bir atau entah apa namanya yang dibawa Pon dalam botol plastik. Asyik memang teman yang satu ini. Urusan logistik tak pernah ia lupakan. Kami berempat selalu kecukupan. Setidaknya untuk yang satu itu.
            Mobilku berhenti di lampu merah, di bawah jalan laying. Sepi. Minggu lalu di tempat yang sama, aku selalu melihat seorang anak lelaki duduk sambil memutar-mutar lap kotor di tangan. Mungkin memang di sinilah tempat ia biasa mangkal. Aku ingat caranya menatapku. Tak berkedip. Aku ingin turun dari mobil dan menghajar kepalanya yang licin itu. Tapi terpaksa kuurungkan. Entah mengapa, tiba-tiba saja, saat itu –seingatku—aku merasa kedinginan.
            Malam ini, aku langsung menoleh ke tempat ia biasa duduk. Dia ada di sana. Bertelanjang dada, sementara tangannya masih juga memutar-mutar kain lap kotor. Kali ini aku ingin melihatnya lebih jelas lagi. Kulihat matanya yang kecil menatap lurus ke arahku. Dia tak semuda yang kukira. Mungkin sedikit lebih tua dariku. Tubuhnya agak pendek. Kerempeng. Tanpa alasan yang jelas, aku menggigil. Dingin. Aku menyesal memilih jalan ini. Lampu merah menyala terlalu lama, dan anak itu… ia telah berdiri tegak dan berjalan ke arahku. Cepat. Cepat sekali! Aku mencoba menjangkau tombol penutup pintu. Tapi ia lebih cepat lagi. Dalam sekejap bersama dengan bergantinya nyala lampu lalu lintas, ia telah duduk di sampingku. Aku, merusaha mendorongnya ke luar. Tapi anak itu kuat sekali. Terlalu kuat, bahkan. Tangannya yang kurus mencengeram pergelangan tanganku. Keras sekali. Sementara bau badannya begitu menusuk. Tubuhnya cepat bergerak menindih bahuku.
            “Jalan!” katanya setengah mendesis. Matanya seperti siap menerkamku. Ia melepaskan cengkraman tangannya dan memindahkan serbuan tangan kanannya ke leherku. Sementara tangan kirinya merogoh sesuatu. Aku merasa ada benda dingin dan tajam mendesak di wilayah ulu hati. Aku mencoba melirik. Dia berdecak, “Garpu. Karatan,”  ia mendesis lagi. Aku tahu, aku cuma punya satu pilihan:  mengikuti perintahnya, menjalankan mobil ini. Kemana? Aku tak tahu dan tak berani bertanya. Seperti ada bola besar yang menyangkut di saluran suaraku. Mulutku kering. Dari kaca spion kulihat jalan sepi. Di belakangku tak ada mobil lain. Kepalaku semakin pening. Aku mau muntah.
            “Jalan aja ke rumah situ…” ia berbisik. Cengkeraman tangannya terasa mengendur. Tapi garpu karatan itu masih menempel di tempat yang sama. Bahkan kian menekan.
            “Enak ya, naik mobil,” katanya sambil menyeringai. Mukanya tak menjadi lebih baik dengan seringainya itu. Giginya yang besar-besar menyeruak dari balik bibir tebal kehitaman.
            “Mobil bagus,” matanya melirik ke sana ke mari, menyelidik.
            “Hmmm…” aku mencoba menjawab. Tapi yang keluar hanya gumaman. Suaraku hilang tak berbekas.
            “Bisa lari nggak mobil ini? Kenceng?” ia menyorongkan wajahnya, dahi kami hampir bersentuhan. Mungkin beberapa tetes keringatku sempat menempel pada dahinya yang hitam penuh kerut…
            “Ini mobil kamu, he? He?”
            Aku buru-buru menggeleng.
            “Jangan cuma geleng-geleng! Ngomong! Kamu pikir aku apa? Garong? Aku bukan rampok! Aku cuma mau naik mobil! Aku mau naik mobil!” suaranya tiba-tiba memekakkan telinga. Ia berteriak kencang sekali.
            Aku terbatuk-batuk, mencoba mengeluarkan suara, “Bukan… bukan begitu… Ini mobil bapak saya…”
            “Bapak kamu kaya, ya...” suaranya kembali seperti desis. Aku tak tahu harus tersenyum, mengangguk, atau menggeleng…
            “Saya pengen kerja di pabrik mobil. Saya pernah sekolah. STM. Tapi cuma tiga bulan. Nggak ada duit buat bayar uang sekolah.”
            “Ooh…” hanya itu yang bisa kuucapkan.
            “Enak kalau bisa sekolah kayak kamu, ya! Bapak kaya, sekolah tinggi, dikasih mobil lagi…” rasanya air liurku terasa agak pahit saat tertelan.
            “Adik saya enam. Bapak jadi tukang abu. Dulu kerja di pabrik, jarinya kepotong. Nggak bisa kerja lagi. Susah.” Garpunya kini telah berpindah tempat ke atas dashboard. Ia memindahkannya sendiri.
            Susah cari kerja sekarang. Pengen antar koran, musti ada yang ‘njamin. Paling bisa begini, bersihin kaca mobil. Kalau nggak senang, kasih duit aja. Ntar juga berhenti… apalagi ikalau nggak pakai baju begini, banyak yang takut! Hehehehe…” Aku mengangguk-angguk, membenarkan apa katanya.
            “Kamu manggut-manggut kayak betet. Takut aku bunuh ya…” Ia tertawa kecil, tahu isi kepalaku.
            “Pernah lihat orang kelindas mobil?” Aku menggeleng.
            “Kasihan kalau belum mati. Muter-muter kayak ayam,” katanya, “Kamu pernah nabrak ayam?” Aku menggeleng lagi.
            Ia menggerakkan bahunya seperti orang kedinginan. Mungkin ia benar-benar kedinginan karena angin yang menerpa cukup keras dari jendela.
            “Kamu suka ngebut-ngebut kayak anak bandel-bandel itu?” aku tahu maksudnya. Aku memilih menggeleng sebagai jawaban pertanyaannya.
            “Saya bilangin ya… Jangan. Sudah banyak korban. Adik saya, mati satu. Ketabrak sama mobil yang adu balap di jalan gitu. Sial dia, nggak langsung mati. Muter-muter dulu kayak ayam. Darahnya ke mana-mana.” Aku betul-betul mau muntah! Aku tak tahan lagi. Tapi anak gila di sampingku ini terus saja bicara. Tak peduli. Kusorongkan kepalaku ke luar jendela. Ia tetap tak berhenti bicara.
            “Merah di mana-mana. Kasihan. Endang namanya. Sial bener…Padahal hari itu dia baru mulai dagang aqua. Eh, udah nabrak, orangnya kabur lagi! Mak jadi kayak orang gila. Seminggu kerjanya cuma lari-larian ke jalan, teriak-teriak,” suaranya merendah, “Kamu kayaknya orang baik. Moga-moga sampai tua jadi orang baik. Jadi orang kaya…” makin rendah dan melembut.
            Lalu sambil menarik napas panjang, ia mendekatkan kepalanya, “Kamu takut ya tadi?” Aku mengangguk. Aku memang ketakutan setengah mati. Sekarang memang sudah berkurang, tapi rasa ngeri masih menempel. Ia terkekeh, “Kalau kamu jahat, kalau kamu orang yang nabrak adik saya, ya kamu saya bunuh. Tapi saya tahu, kamu bukan orang yang nabrak si Endang. Kamu gampang takut. Cemen!” ia tertawa lagi. Lebih keras. Tampak barisan giginya sampai geraham yang paling tersembunyi sekali pun. Aku tersenyum kecut. Sial.
            “Siapa nama kamu?” tanyanya.
            “Aca,” suaraku seperti terjepit di tengah dua pipa besi berat.
            “Hahahaha… lucu! Kayak nama perempuan!” dia tertawa keras. Telunjuknya mengarah ke sebuah pohon di tepi jalan.
            “Berhenti deh di situ.” Mobil kuhentikan di tempat yang ia mau. Cepat ia membuka pintu dan melompat keluar.
            “Hati-hati. Jangan nabrak orang!” katanya sambil menyeringai. Lalu seperti ia naik ke mobilku, begitu pula ia menghilang di balik pohon. Secepat kilat.
            Aku menarik napas dalam-dalam. Sungguh aku berharap ini cuma sepotong mimpi yang muncul di saat kepalaku pening tadi, di lampu merah. Tapi semua begitu nyata.  Aku –ternyata—telah mencapai batas Timur kota Jakarta. Begitu jauh kami memicu mobil ini. Sekali lagi kutengok kegelapan di luar sana. Ia tak terlihat lagi. Hilang. Kututup jendela. Kukunci pintu dan kujalankan mobil. Aku mau pulang. Tak sengaja tanganku menyentuh tempat ia duduk tadi. Dingin. Tak mungkin. Seharusnya setipis apa pun badannya, pasti menyisakan sedikit rasa hangat di jok ini. Kuraba sekali lagi. Benar-benar dingin. Kucari garpu yang tadi ia letakkan di dashboard. Tak ada. Kecuali sepotong ranting kecil. Kering. Berbentuk garpu. Ketika kupegang, ujung-ujungnya yang rapuh berubah jadi bubuk, menghambur di telapak tanganku. Udara tiba-tiba beku. Ini bukan mimpi. Sungguh! Leherku masih merasakan bekas cengkeramannya. Juga ulu hati yang tadi sempat tertekan garpu berkarat.

*

            Sudah pagi, matahari muncul, aku benar-benar terjaga. Ada satu hal yang harus kulakukan dan tak bisa kutunda sedikitpun: menelepon Pon, Suket dan Iim. Acara minggu depan batal. Selesai. Buat selamanya. 






Pernah dimuat di Edisi Khusus - majalah HAI, 1993. 
Terima kasih kepada  Iies R. Sulaeman yang membuat cerita ini bisa selesai tepat waktu.

No comments:

Post a Comment