Sunday, 29 August 2010

Not Ours To Know

Di Taman Sejuta Keindahan

“Masih sedih?”
“Rasanya begitu.”
“Biasanya… nanti kau juga bisa melupakan semua dan kemudian menikmati kehidupan di sini.”
“Rasanya tidak mungkin. Begitu banyak yang kutinggalkan. Aku tak bisa melupakan semua dengan begitu saja! Aku kan punya perasaan!”
“Aku tahu itu… Tetapi nanti semua akan berubah. Lihat teman-temanmu yang ada di situ. Mereka sama sekali tidak muram, padahal mereka punya perasaan juga”
            Didit merasa tak ada gunanya menjelaskan lebih jauh tentang yang ia rasakan saat itu. Pemilik tubuh besar terbalut warna putih, yang sejak kedatangannya di sini terus saja mengawalnya itu, pasti terus ngotot. Dan dari lubuk hati paling dalam, ia tahu bahwa si besar ini berkata benar. Sesungguhnya, ia sendiri paham: Kalau sampai sekarang masih sulit melupakan ke adaan di bawah sana, maka itu problemnya sendiri.
            “Ya, semoga nanti aku bisa seperti teman-teman lain itu…” Didit merasa suaranya lebih mirip keluhan ketimbang harapan. Dan tubuh besar itu bergerak menjauh setelah menyentuh bahunya dengan lembut. Didit mencoba tersenyum.


Di Taman Keindahan, 2 bulan kemudian

            Didit sedang duduk di tepi kolam penuh taburan bunga. “Kamu masih sedih juga. Padahal sudah hampir dua bulan kamu di sini.”
            “Jangan bilang aku tidak usaha. Segala macam cara kugunakan untuk menghilangkan rasa sedih yang berlebih ini. Tapi lihat hasilnya…”
            “Apa sih istimewanya ikeadaan di sana itu sampai kamu terus memikirkannya?”
            “Kamu tidak akan mengerti. Ini soal ambisi. Soal masa depan. Semuanya sudah sipa kupetik hasilnya ketika… Ah!”
            “Seindah apa pun keadaan id sana, sebagus apa pun buah yang akan kau petik, aku yakin tak ada yang bisa mengalahkan tempat ini. Tempat kau berpijak sekarang!”
            “Ya, ya, ya… itu yang dikatakan semua orang padaku. Aku juga pasti berpendapat sama kalau saja aku datang pada saat yang tepat. Seandainya saja saat itu bisa ditunda, aku yakin hati ini tidak bakalan gundah gulana berkepanjangan seperti ini….”
            “Ditunda katamu? Mana bisa! Itu sudah jadi keputusan Dia!”
            “Aku tahu… Tetapi justru itu yang membingungkan.”
            “Maksudmu, kau bingung karena Dia seperti tak punya perasaan dalam menghadapi kasusmu. Begitukah?”
            “Ya! Tidak adil rasanya. Seandainya saja aku bisa mengubah kenyataan yang ada sekarang…”
            “Dan itu tidak mungkin!”
            “Aku tak percaya!”
            “Terserah. Kalau masih ingin bukti, tanyakan saja langsung pada boss kecil.” Didit menurut. Ia berangkat menemui sosok yang disebut bos kecil.


Di ruang kerja Bos Kecil

            “Jadi kau ingin kembali ke sana?” tanya bos kecil sambil membelalakkan mata.
            “Ya, aku ingin dapat kelonggaran waktu sedikit saja. Aku bisa pastikan, kalau diijinkan menengok ke sana, rasa dukaku pasti lenyap!”
            “Sudah sering aku menerima permintaan macam begini. Tapi sangat jarang yang dikabulkan. Kau tahu, untuk membeir waktu longgar padamu, walau cuma sedetik, aku harus konsultasi dulu dengan Dia. Itu bukan hal mudah, Didit!”
            “Aku tahu! Aku tahu! Tapi Dia kan Maha Kuasa. Maha Tahu dan Maha Bijaksana, masak dia tidak bisa memahami perasaanku, ciptaannNya sendiri?”
            “Duhai Didit anakku… segala yang sudah Dia putuskan selalu paling adil di antara yang adil. Keadaan yang kau alami sekarang adalah yang terbaik untukmu! Bermilyar manusia merindukannya dan cuma segelintir yang obleh merasakannya. Kau sudah terpilih, tapi malah ingin pulang. Aku tak habis pikir…”
            “Tolonglah!”
            “Aku tidak suka pada anak muda yang merengek. Tapi aku juga tahu bahwa selama ini kau sungguh tak kerasan diam di sini. Mungkin aku harus memberi sedikit kelonggaran untumu…”
            “Horeee!”
            “Husy! Aku belum selesai bicara! Aku tidak akan mengembalikanmu kepada keadaan semula.”
            “Oh! Kenapa?”
            “Karena itu bukan wewenangku dan pasti tak disetujui oleh Dia.” Mendengar itu bahu Didit langsung melengkung ke bawah. Kecewa. Bos kecil tertawa melihatnya.
            “Tapi aku bisa memberi rekomendasi untukmu agar Dia mengijinkan engkau melihat ke masa kau hampir tiba di sini, saat yang kau impikan, yang kau yakini itu bakal jadi masa keemasanmu. Mungkin setelah melihat itu pikiranmu akan berubah,” kata bos kecil sambil tersenyum.
            “Aku tahu, setelah meloihat semua itu, aku pasti kian tergila-gila…Ah!”
            “Kita lihat sajalah, Dit.”


Setelah menemui Bos Kecil

            “Ayo!”
            “Ke mana?”
            “Antar aku ke … Bos kecil bilang, aku harus ditemani! Ayolah!”
            “Sst… Lihat! Itu kamu, kan?”
            “Ya, ya… itu aku dengan teman-teman yang paling kusayang. Hmmm, kami mau rekaman. Betul, rekaman album pertama. Kami jadi penyanyi!”
            “Tapi kamu kan sebetulnya pengarang.”
            “Memang. Buku-buku yang kutulis laku keras. Begitu muncul iklan ada karyaku yang paling baru, langsung saja toko buku penuh sesak. Orang berlomba membeli. Luar biasa.”
            “Hebat ya kamu: masih muda sudah jadi penulis best seller.”
            “Hehehe, begitulah! Padahal pada mulanya aku tak kelewat berharap banyak dari dunia tulis-menulis itu. Aku mulai belajar menulis dari seorang wartawan senior di sebuah majalah remaja. Aku cuma kirim puisi satu dua biji, terus meningkat jadi kirim cerpen, terus bikin tulisan lain, dan kemudian bikin serial yang ternyata amat disukai banyak orang.”
            “Sejak itu kau terkenal.”
            “Ya, jadi amaaaaat terkenal! Enak juga jadi orang top. Dikejar-kejar orang. Di suruh bicara di aneka forum. Aku pernah jenuh jgua. Tapi mau bagaimana lagi: itulah yang kuhadapi.”
            “Aku dengar, ketika kian terkenal, ulahmu pun makin menjengkelkan. Sering kamu tak muncul di tempat yang sudah bikin kontrak dengan kamu. Kalau pun datang, kamu tiba sangat terlambat. Betul begitu?”
            “Hmmm…. Kau tahu juga soal itu, ya? Begitulah. Tapi ya, mau bagaimana lagi, ulah orang top di Indonesia sana memang begitu kok. Sudah biasa. Makin lama ia terlambat, makin terkenalah dia. Trade mark, begitu.”
            “Aneh sekali.”
            “Boleh jadi. Tapi memang begitu keadannya. Sudah jangan tanya-tanya dulu. Aku ingin lihat apa yang dilakukan teman-teman saat kami rekaman…”
            “Suara kamu biasa saja. Tidak istimewa, ternyata.”
            “Begitu pendapatmu?”
             “Masih lebih bagus suara kelinci.”
            “Menghina sekali!”
            “Tersinggung ya? Hahahaha!”
            “Tentu! Tidak tahu kamu, itu hasil maksimal.”
            “Ya, ya, lumayan deh. Setidaknya pada bagian tertentu suaramu bisa berjalan lurus. Tidak terlalu fals.”
            “Diam! Lihat itu! Astaganagaaa!”
            “Tak perlu sekaget itu, Dit. Memang begitulah jalan yang membawamu ke dunia baru. Kabel mike yang kau pegang itu, terbuka. Kamu iseng menyentuh –perbuatan paling bodoh yang pernah kulihat selama ini. Dalam sekejap kau terlempar, terkena serangan listrik bertegangan tinggi. Seketika itu juga Jibril terbang dan membawamu ke tempat boss kecil yang kemudian mengantarmu menemui Dia.”
            “Mengapa aku bisa begitu ceroboh?”
            “Kok malah bertanya? Mustinya kau tahu sendiri: kau ini manusia ceroboh atau bodoh?”
            “Bukan ceroboh, apalagi bodoh. Aku hanya ingin tahu.”
            “Ingin tahu? Itu ingin tahu yang salah tempat! Keingintahuanmu itu membawa maut. “
            “Sikap ingin tahu kan sebetulnya bagus.”
            “Memang. Tapi aku sudah bilang tadi. Kalau salah tempat, malah bahaya. Tuh, orang macam kamu suka begitu. Belagu! Sok tahu! Sok bisa. Lihat hasilnya: habis tidak karuan. Sekarang cuma bisa menyesal. Payah, kamu!”
            “Sayang betul.”
            “Sayang? Maksud kamu apa, Dit?”
            “Maksudku, kalau saja aku tidak iseng begitu, pasti aku sudah jadi penulis muda terkenal yang merangkap penyanyi top dunia, ya. Tiket undangan show ke segala penjuru dunia pasti sudah kupegang. Apa pun yang kukatakan nanti dan apa pun yang kulagukan, pasti jadi panutan anak muda. Terkenal... Hahahaha!”
            “Astaga, masih belum mau terima nasib juga kamu, Dit”
            “Terima? Gila apa? Aku bakal meraih sukses banget ketika maut memawaku pergi dan menempatkan diriku di dunia lain di atas langit dan itu berarti aku kehilangan semua penggemarku, semua pecinta tlisanku, semua calon pecinta suaraku. Keadaan yang begitu memelas kuterima begitu saja? Tidak bisa. Seandainya kamu pernah jadi manusia, dan punya rasa atau merasakan apa ambisi itu, kamu bakal setuju dengaku. Pasti!”
            “Belum tentu, Dit. Masalahnya aku tahu pasti bahwa apa pun yang Dia putuskan selalu baik dan tepat buat siapa saja. Buat kamu dan juga buatku, mahluk putih besar bersayap, begitu kau memanggilku.”
            “Dia boleh benar untuk kasusmu. Juga kasus lain. Tetapi untuk masalah yang kini kuhadapi, aku yakin Dia keliru.”
            “Didit! Jaga mulutmu!”
            “Tenang, tenang… Kau harus lihat masalahnya. Aku mati. Berjuta remaja menangisi kepergianku. Beratus penulis senior menuliskan kesan dan pesan tentang aku. Koran dan majalah memuat riwayatku. Majalah yang selalu memuat serialku bikin artikel khusus tentang aku dan bersiap menerbitkan semua tulisanku. Lama dan baru. Bahkan yang dulu ditolak pun dicari dan dimuat juga. Lihat itu… Kamu tahu, wahai malaikatku, kalau saja saat kepergianku diundur sampai albumku melejit dan namaku sudah sampai ke luar negeri, sungguh tak terbayang seperti apa upacara pemakamanku.”
            “Didit, behati-hatilah bicara. Kau gila sukses. Itu berbahaya.”
            “Aku tidak gila. Aku cuma ingin menikmati rasanya jadi orang bernama besar di saat usia belum menginjak 20 tahun. Itu saja, kok.”
            “Dit….” Malaikat yang sedari tadi menemani Didit, kini mulai menunjukkan wajah lelah dan bosan. Sayapnya yang besar menyentuh pundak Didit. Ia berkata, “Lanjutan dari upacara pemakaman ini sudah kau hafal betul, kan? Ayo kita pulang.”
            “Tapi…”
            “Sudahlah. Kita pulang. Aku yakin kamu hafal siapa saja yang mengucurkan air mata buat kepergianmu. Ayo!”
            Didit kesal sekali. Sebetulnya dia ingin mengenang kembali masa sendu yang memberi rasa senang di dadanya. Tapi si sayap lebar mendesak. Apa boleh buat.
            “Kamu masih peasaran ya? Masih ingin tahu, seperti apa rasanya kalau  rekaman yang dibuat berdasarkan serialmu itu  laris? Kalau ya, kita bisa tanya lagi sama bos kecil. Siapa tahu dia mau beri intipan masa depan seksi KA-LAU. Mau?” sungguh kesalahan besar menawarkan hal itu pada Didit. Sic eking gondron ini mendadak jadi sangat bersemangat. Ia langsung melompat dan bergelayut di sayap makhluk putih besar itu sambil berteriak-teriak, “Hayooo! Hayoo! Hayooo!”

Di ruang kerja Boss Kecil

            “Kamu lagi, Anak muda?” Boss kecil kembali membelalakkan matanya. Didit merasakan bulu tengkuknya berdiri. Hatinya ciut. Rasanya kali ini Bos kecil sudah tak murah hati seperti tadi.
            “Menurut laporan, kamuingin melihat masa depan seksi KA LAU. Untuk apa? Masih tak puas juga hatimu, Anak muda?” Suara Bos kecil sungguh tak sedap di telinga. Didit sangat ingin berlalu, tapi terlanjur berada di situ. Dan rasa penasaran ternyata sulit dibunuh.
            “Apakah itu terlarang?” tanya Didit dengan suara takut-takut. Bos kecil menggeleng. Dia tak berkata apa-apa, cuma matanya menatap Didit lekat- Kemudian ia bangkt dan membeir isyarat agar Didit mengikutinya. Didit bingung.
            “Cepat, ikuti dia!” Didit merasakan pantatnya didorong sayap si makhluk putih besar. Ia menurut.

Perjalanan bersama Bos Kecil
            Seksi KA-LAU sungguh ajaib. Melebihi khayalan Steven Spielberg digabung denga George Lucas sekali pun. Bintang-bintang terpecah di atas kepala. Tanah merekah, mengeluarkan tanaman. Burung aneka rupa beterbangan seakan siap menyambar siap apun yang lewat. Belum lagi aneka bentuk benda yang belum jelas kegunaannya, bertebaran di mana-mana. Didit tertegun. 
            “Didit…” suara Bos kecil membuat mulutnya segera terkatup. Lelaki tua berjenggot itu membei isyarat agar Didit mendekat. Di hadapannya terhampar sebuah alat mirip televisi gede-gedean yang diletakkan mendatar, pada sebuah meja besar. Ribuan tombol ada di sekelioling layar. Gambar di layar menunjukkan suasana kota yang hiruk pikuk, berdebu, serba tergesa, panas, tak menarik.
            “Itu kotamu. Di situ kamu tinggal.”
            “Aku?”
            “Sabar, biar kucari sebentar…” Bos Kecil memutar tombol hijau ke kiri dan kanan, mementara itu gambar di layar berubah cepat, menampilkan potongan sekuen aneka tempat, aneka wajah, aneka perisitwa dan…
            “Itu aku!” Didit menjerit melihat wajahnya muncul di layar.
            “Ya, itu kamu.”
            “Kok kurus banget? Kayak orang nggak makan aja!”
            “Ya, kamu memang nggak makan. Nggak doyan makan. Kamu frustrasi berat.”
            “Frustrasi, Bos? Kok bisa?”
            “Hahahaha, kok malah tanya? Itu kan bikinanmu sendiri!”
            “Bagaimana mungkin? Aku selalu teriak-teriak sama remaja untuk menjaga semangat hidup,  untuk tetap bertahan dalam segala keadaan. Bahkan yang sesulit apa pun kudu dihadapi dengan berani, dengan makan teratur, dengan mandi sering. Kok sekarang aku sendiri yang berulah aneh? Tidak mungkin!”
            “Kamu sulit percaya ya, Dit. Tapi itulah kenyataan. Lihatlah lantarannya. Lihat. Semoga bisa bikin jelas semuanya.” Didit berdiri kian rapat dengan layar besar, dan menanti keaadan apa yang bakal ditampilkan di situ.
            “Itu aku. Lagi ngapain, ya? Oh, habis rekaman. Wah sibuk ngurusin jadwal rekaman gambar buat video klip dan acara televisi. Hihihi, musikusnya amit-amit deh! Cabutan dari tempat yang nggak jelas.! Waduh, norak banget deh, masak aku grogi begitu, sih? Hihihihi…”
            “Lihat terus, Dit!”
            “Asyiiik, aku bikin show di mana-mana. Yang nguber, alamakjaaaan! Sedunia jadi fans si Didit, nih! Aow, aku diuber-uber penggemar, eh kejepit lagi! Tunggu! Tunggu! Aku, aku mati di situ?”
            “Tidak Dit, belum. Lihat saja terus,” Bos kecil bicara dengan suara tenang.  Didit menurut. Di matanya tampak gambar yang menyenangkan hati: ia sukses luarbiasa. Selama tiga sebulan penuh ia meninggalkan bangku kuliah untuk show ke daerah dan negara tetangga. Tapi… tiba-tiba Didit mundur selangkah. Matanya membelalak. Mulutnya kembali terbuka.
            “Kenapa, Dit?”
            “Itu!”
            “Kenapa?”
            “Show-ku…”
            “Kenapa? Gagal?”
            “Kelihatannya begitu.”
            “Memang begitu. Gagal total. Kamu memang disambut habis-habisan di awal pertunjukkan. Sialnya begitu kamu buka suara, penonton mulai kecewa. Di rekaman, suaramu cukup lumayan. Begitu giliran live show, kau langsung rontok. Habis. Tak terkendali.”
“Biasanya pakai playback, kan?” si mahluk besar bersayap lebar itu bertanya.
“Didit tidak mau. Dia ingin menyanyi dengan suaranya sendiri. Katanya ia sudah bosan menipu penonton dengan suara hasil rekaan teknologi rekaman. Tapi ternyata akibatnya malah fatal. Lihat itu kamu malah kena timpuk batu lantaran suaramu yang terlalu melenceng jauh!” kata Bos Kecil.
“Kok bisa begitu, ya…”
“Ya, dan ini berakibat buruk. Pembuatan album kedua dibatalkan. Duitnya ditarik kembali. Sialnya tidak bisa kamu berikan karena terlanjur dipakai buat beli macam-macam. Sialnya lagi, lantaran penampilan kamu di dunia nyanyi begitu jelek, prestasi bagus di dunia menulis jadi ikut-ikutan dicela. Fans kamu kabur semua, sambil mencaci-maki. Kami sedih. Kamu kehilangan gairah buat menulis lagi. Kamu putus asa. Kamu bingung harus ngapain.”
“Kalau begitu jadinya…”
“Ya, kalau kamu tahu bakal begitu jadinya, kamu pasti nggak bakal gegabah menerima tawaran menyanyi. Kamu nggak bakal tergiur menjajal dunia yang memang bukan bagianmu. Kamu pasti memilih setiap pada kavling tulis-menulis. Tapi ketika kamu sadar akan hal itu, semua sudah terlambat. Tak ada yang minta cerpen atau serial kamu, tak ada yang minta kamu jadi penceramah, soalnya resiko kamu nggak datang,  juga besar –mengingat kamu sering begitu waktu lagi ngetop-ngetopnya jadi penyanyi lipsync. Mereka sudah benci kamu…”
“Dan itu bikin aku ogah makan.”
“Ya, kamu nggak bisa menghadapi keadaan itu. Dari yang penuh sanjungan sampai sarat cacian. Kamu tidak sanggup…”
“Kenapa nggak ada yang memperingatkan aku sebelumnya?”
“Kamu kan punya hati nurani, Dit. Kenapa nggak dengar suaranya?”
“Aku…”
“Didit anakku, kamu terlalu besar kepala. Kamu yakin bahwa kamu bisa segala. Multi talented. Dit, di balik segala kebisaan yang kita punya, kita harus punya kesadaran untuk tahu diri dan tahu batas kemampuan. Kamu tidak punya itu. Lupa memikirkan itu. Kamu tak mau mengukur kehebatan dan kelemahan kamu. Sekarang ya, begitulah jadinya. Kenyataan terbentan dan kamu tak kuat menerimanya…”
“Seandainya saja…”
“Ya, seandainya saja kamu mau mendengar kata hatimu yang suaranya kian lemah itu, kamu pasti selamat. Kamu akan melenggang dengan karier besar sebagai penulis, masuk ke dunia yang lebih luas lagi. Kalau tak salah, seandainya kamu setia pada dunia tulis menulis, kamu bakal dapat beasiswa ke Amerika dan Jepang.Tapi lantaran kamu malang melintang tidak karuan, gila popularitas, maka semua itu tinggal dalam rencana orang saja. Malah belakangan tawaran itu diberikan pada penulis muda, yang selama ini kau anggap tak terlalu berbakat.”
“Aduh! Aduh!”
“K karena tahu keadaan yang menghadangmu bakal sangat jelek, Dia Yang Maha Tahu memberi jalan lain yang lebih baik. Kamu dipanggil sebelum jadi gila. Apa dampaknya? Ternyata kepergianmu di usia muda justru membuat namamu kembali disebut. Kau disanjung habis-habisan sebagai penulis muda yang luarbiasa. Sungguh mengherankan, karena kamu yang sudah mati menjadi lebih hebat dan lebih mashyur ketimbang masih hidup. Puja puji hebat yang tak akan kamu nikmati bila hidup sampai usia tua. Seharusnya kamu pahami itu, setuju dan bersyukur atas keputusan yang Dia berikan. Kamu mustinya berterima kasih. Dia sudah memberi yang terbaik buat kamu.”
Mata Didit tiba-tiba tampak berbinar. Ia melompat dan memeluk malaikat muda dan Bos Kecil. Selagi keduanya terperangah, Didit sudah berjalan keluar sambil sesekali melompat-lompat kegirangan.
“Hei! Hei! Mau ke mana, kau?” malaikat muda yang bertugas menemani Didit, mengejarnya.
“Thanks berat malaikat dan Bos Kecil! Thanks banget!” teriak Didit riang.
“Kamu mau ke mana?” tanya makhluk bersayap lebar itu ketika berhasil menyamai langkah Didit.
“Aku? Aku mau bikin puisi paling keren buat Dia yang paten. Aku mau bilang, aku senang tinggal di sini. Aku senang. Dia memberi aku jalan begini. Aku mengerti sekarang maksudNya…Hei, hei, tunggu! Apa tidak lebih baik aku buat majalah saja? Bagaimana? Setuju? Isinya tentang Dia! Dia saja. Biar semua tahu bahwa Dia hebat! Aduh, aku tergila-gila sekali padanya!”
Bos Kecil, dari kejauhan, menggeleng-gelengkan kepala, “Tergila-gila, katanya?” ia lalu tertawa. Malaikat kecil mendengar ucapan Bos Kecil. Ia tersenyum lebar. Sayapnya mengepak-kepak. Senang.


not ours to know the reason why from loved ones we must part
not ours to know the reason why the anguish, strife and pain
but ours to wait for God’s own time
God’s own plan
be still my heart and murmur not.

Pernah dimuat di majalah Mode, Mei 1989

No comments:

Post a Comment