Sabtu lalu, Mak pulang dari pasar dengan muka muram. Tanpa kuminta, dia bercerita lancar tentang tukang sayur langganannya, Bu Turi.
Perempuan itu, kata Mak, sedang susah. Rumahnya dijebol maling ketika ia sedang berjualan di pasar. Masih berduka atas hilangnya barang-barang, suami datang dengan berita buruk: di-PHK dari kantor. Malam harinya, Bu Turi melahirkan anaknya yang ketiga. Perempuan.
“Aku betul-betul tak suka nama anaknya,” kata Mak. Mukanya tetap muram, “Masak anaknya diberi nama Deritawati. Katanya biar ia ingat saat anak itu lahir, hidup sedang penuh derita. Ibu macam apa itu? Nama anak adalah harapan kita padanya. Kalau Deritawati, kita berharap ia terus penuh derita!” Mak bilang, dia akan berusaha sekuat tenaga memaksa Bu Turi mengganti nama anaknya. Mumpung belum buat akte kelahiran.
Hari ini, Mak pulang dari pasar. Mukanya tetap tak lebih cerah dari Sabtu lalu.
“Bu Turi mau mengganti nama anaknya?” aku bertanya pada Mak sambil mengeluarkan belanjaan dari kantong kainnya.
“Ya.”
“Tapi Mak kelihatan tak senang.”
Mak menghela napas panjang, lalu katanya, “Bagaimana bisa senang. Nama anaknya telah berganti menjadi....”
“Harapan Kita?” aku iseng menduga. Mak langsung menganggukkan kepala, berkali-kali. Harapan Kita.
No comments:
Post a Comment