Kami tidak tahu namanya. Pada suatu malam, tiba-tiba saja ia ada di sana, di perempatan jalan Pemuda. Jalan yang nyaris kami kenal semua penghuninya.
Ia tidak banyak beraksi, seperti kakek atau nenek pengemis lain. Ia hanya berjalan dari mobil ke mobil. Berdiri diam-diam, tidak berkata apa-apa. Bahkan telapak tangan yang seharusnya terbuka. Terus terkepal. Tidak ia julurkan. Kaca-kaca jendela yang ia hampiri, semua tertutup. Lalu lampu kuning menyala. Ia tetap berdiri di tengah jalan Sampai seorang pengamen muda berlari, menarik tangannya. Menepi. Mukanya bingung. Benar-benar baru, dia.
Esok malamnya, mobil kami yang jendelanya selalu terbuka lebar itu, berhenti tepat di garis depan. Dia datang mendekat. Tubuhnya mungil. Begitu ia berdiri di samping mobil kami, jendela seperti menjadi bingkai wajahnya.
Suamiku menyapanya, “Mbah…” Ia tersenyum. Lebar. Lalu kami dengar suaranya yang halus,
“Anak, dari mana malam-malam begini?” Lagu suaranya, gaya bicaranya: dari Indonesia Timur. Suami terdiam. Terkejut.
“Dari kantor. Kami dari kantor,” aku menyambar.
“Oh, di Jakarta orang kerja sampai malam…” katanya, “Lain dengan di Ambon.” Jadi Mbah dari Ambon. Tapi belum sempat kami bertanya banyak, lampu terlanjur kuning. Kami buru-buru menyelipkan beberapa keping uang logam ke dalam kepalan tangannya, sebelum ia kembali di seret ke tepi oleh pengamen lain.
Dua malam kemudian, kami kembali bertemu dengannya. Kali ini, ia langsung menghampiri kami. Tangannya: tetap terkepal. Tidak terbuka, tidak menengadah. Ia bersandar saja di tepi jendela mobil kami. Tanpa ditanya, ia langsung bercerita dengan bahasa Indonesia yang rapi berlogat Ambon yang kental, sementara wajahnya mengingatkan pada seorang nenek Jawa (sehingga suamiku merasa lebih pas memanggil Mbah, ketimbang nenek, apalagi oma).Katanya, ia baru dua minggu di Jakarta.
Naik kapal dari Ambon.
Lari dari perang.
Di mana-mana api.
Di setiap sudut berlari manusia membawa parang. Suaminya, mati.
Anaknya, tewas tak lama kemudian. Ia ingin ikut mati saja. Buat apa hidup sendiri, terancam di tanah yang selama ini ramah padanya. Tetapi tetangganya bilang tak baik berharap mati. Selama masih diberi nyawa, jaga dan peliharalah. Ia diajak pergi, menyelamatkan diri.
Bagaimana?
Lari.
Ke mana?
Entah. Yang penting ke luar dari Ambon.
Tentang pelarian itu, tetangganya bilang bahwa tanah yang selama ini ditinggali, memang bukan mereka punya. Mereka cuma menumpang di sini. Dan sekarang, sudah saatnya mereka pulang.
Ke mana?
Ke Jawa, tanah asal mereka.
Begitulah yang ia dengar. Lalu semua orang berbondong-bondong menuju pelabuhan. Menanti kapal yang mungkin berani mendekati ceruk. Tanpa perlu merapat, semua sudah siap mengejar, melompat ke dalamnya. Tak bawa apa-apa. Ah, apa yang bisa dibawa? Cuma badan dan nyawa. Cukup.
Ia ikut. Ia tak ingin tahu ke mana kapal yang ditumpanginya akan menuju.Tidak penting.
Di kapal, makanan sangat sedikit. Tiga hari sebelum merapat, tak ada makanan sedikit pun. Cuma air. Tak apa. Yang penting jauh dari Ambon.
Di Makassar, kapal singgah. Banyak teman-teman seperjalanannya memilih turun di sini. Mereka bilang, biar gampang kembali ke Ambon, kalau keadaan sudah aman. Ia sendiri dan masih banyak lagi yang lain, memilih tetap berdiri di dek. Hatinya berkata sebaiknya tetap tinggal di kapal. Belum aman. Meski telah berada di kapal, mengapung di laut, panas lidah api masih terlihat dan terasa membakar.
Perhentian berikutnya, Surabaya. Tetangganya, memaksa turun di situ. Tetapi ia tetap merasa belum waktunya. Semalam ia bermimpi, di pintu keluar pelabuhan, berpuluh-puluh lelaki telanjang dada, dengan muka beringas, membawa parang dan obor. Ia tidak bisa turun sekarang. Belum saatnya. Hingga akhirnya kapal tiba di Tanjung Priok. Ia terpaksa turun. Kalau tidak, kapal akan membawanya kembali ke Ambon. Teman sekapalnya, banyak yang memutuskan tetap tinggal di sekitar pelabuhan. Ia memilih masuk kota. “Harus cari uang buat makan. Sudah di Jakarta, jangan sampai mati kelaparan!” katanya. Maka ia memberanikan diri naik bis.
Ke mana? Ia tak peduli. Yang penting keluar dari wilayah pelabuhan.
Yang penting menuju pusat kota.
Ia yakin, di salah satu tikungan jalan, ia harus berhenti. Pasti. Dan ketika bis kota tiba di perempatan jalan Pemuda, ia merasa harus turun bersama penumpang bis yang lain.
“Jalan ini ramai sekali. Siapa tahu di sini saya bisa cari uang. Buat makan,” katanya.
Di Ambon, dia membuat sagu. Di sini? Ia disarankan jadi pengemis. Pasti dapat banyak, karena mukanya mengundang rasa kasihan orang, begitu kata perempuan yang menyediakan dipan di depan gubuknya sebagai tempat tidurnya. Sambil bercerita, ia tetap tersenyum. Bahkan sempat tertawa kecil ketika bercerita bahwa mengemis itu sulit. Sangat sulit.
Setelah malam itu dan malam-malam lainnya, kami berdua seperti menunggu-nunggu lampu merah menyala di perempatan jalan Pramuka – Pemuda. Berharap Mbah sempat mampir ke tepi jendela mobil kami. Bercerita lagi. Sampai akhirnya entah pada malam ke berapa, ia datang tanpa senyum.
“Saya mau pulang,” katanya.
“Ke mana, Mbah? Ambon?” saya mencoba menduga.
Dia menggeleng, “Ke Jawa. Wonogiri,” katanya menjawab pertanyaan suamiku. Mungkin wajah kami yang tampak amat tolol membuatnya terpaksa menerangkan, “Itu kampung saya. Dulu, sebelum ke Ambon. Waktu masih nona.” Terhenti begitu saja. Lampu sudah hijau. Besoknya, kami masih melihatnya. Tetapi lampu yang terus hijau membuat Mbah tak sempat mendekat. Ia hanya melambai dari pagar pembatas jalur. Tanpa senyum.
Beberapa malam kami tak bertemu Mbah. Dari tukang rokok asongan langganan suami, kami tahu kalau gubuk liar yang ada di balik warung cha- dut*), terbakar. Katanya, Mbah yang menumpang di salah satu gubuk, pindah.
Ke mana? Dia tidak tahu.
Entah malam ke berapa, ia muncul. Lengkap dengan senyumnya.
“Jadi kapan ke Wonogiri, Mbah?” tanya suamiku.
“Minggu,” katanya.
“Sama siapa?”
“Sendiri saja. Dari Ambon bisa sendiri, ke Wonogiri juga bisa,” katanya.Khawatir tak sempat bertemu lagi, kami berdua mengucapkan selamat jalan.
“Siapa nama Anak?” ia bertanya sambil menunjuk suamiku.
“Eddie.”
“Sampai bertemu, Anak Eddie,” katanya. Lalu ia menyeberang. Melambaikan tangan. Senyumnya tak hilang.
Seminggu setelah malam itu, kami dihampiri tukang rokok langganan. Mbah titip pesan padanya, untuk mengabari kami, bahwa ia berhasil pulang.
Ke Ambon.
Bukan ke Wonogiri.
Mbah –menurut tukang rokok pembawa pesan—tak yakin apakah ia masih ingat tanah asalnya. Tak tahu akan bertemu siapa. Tak punya bayangan harus bekerja apa. Maka ia memutuskan pulang ke Ambon. Bukan Wonogiri, tanah lahirnya. Tetapi yang lebih penting dari itu, ia ingin mati di kampung yang sangat dikenalnya, yang menyimpan tubuh anak dan suaminya.
Ambon.
Bukan Wonogiri.
Reda,
ReplyDeleteWhat a great story, buku kuduk saya bangun berkali kali, saya kehilangan banyak saudara di ambon sana, walaupun saya besar dan lahir di jakarta, darah ambon mengalir didalam tubuh saya membuat saya ikut terhanyut dengan cerita ini.
Bravo..
Danny Latumeten
manusia boleh memilih berada dimana saja diatas bumi ini, tapi saatnya tiba kita pasti pulang ke tempat seharusnya kita berada....
ReplyDelete