Thursday, 22 January 2009

lelaki dengan tas kertas

Seorang teman memperkenalkan kami, pada suatu ketikaSelang beberapa mingu setelah perkenalan itu, saya melihatnya di sebuah pusat perbelanjaan, berjalan santai dengan beberapa tas kertas bertuliskan merek baju ternama. Mata kami saling tatap. Saya menganggukan kepala. Tersenyum. Tapi ia tak bereaksi. Matanya seperti tak melihat saya. Dia lupa? Sangat mungkin. Orang sibuk macam dia mudah lupa.

Lalu kami bertemu lagi. Di pusat perbelanjaan lain lagi. Kali ini, teman yang dulu mengenalkan kami berada di sebelahnya. Teman ini datang mendekat. Tentu saja lelaki dengan tangan yang digelantungi tas-tas kertas dari toko baju terkenal itu ikut bergerak ke arah saya juga. Setelah cium pipi kiri dan kanan dengan teman itu, saya ulurkan tangan padanya. Menyebutkan nama. Ia melakukan hal yang sama, “Kamal,” katanya. Teman saya langsung menyambar, “Lho, kok kenalan lagi? Waktu itu kan sudah saya kenalkan kalian berdua! Bukan begitu, Bu?” Saya tersenyum-senyum saja. Agak kecut. Kamal tersenyum lebar dan menepuk-nepuk bahu saya, katanya, “Ah, kami kan cuma ingin menguji daya ingatmu saja. Ini drama! Bukan begitu, Bu?” Saya –tak punya pilihan lain—segera mengangguk-angguk. Drama, katanya. Baiklah. Kami berpisah, kali ini setelah saling tukar kartu nama.

Dan pada satu hari Minggu, saya terpaksa ke mal baru yang baru buka dan penuh sesak. Seorang klien ngotot ingin meeting di sana sambil sarapan. Setelah selesai, saya berkeliling. Ah, kembali saya melihat Kamal di sana lengkap dengan tas-tas kertas ukuran besar lagi. Mengingat kejadian sebelumnya, saya mencoba menahan senyum dan anggukan kepala meski jarak antara kami sudah begitu dekat dan mata kami saling tatap. Ternyata, seperti pertemuan tempo hari, ia kembali tak bereaksi. Matanya kembali lurus, seakan menembus saya. Lupa? Tentu saja mungkin. Ia kan orang sibuk. Banyak pikiran, banyak urusan.

Sejak saat itu, setiap kali saling berpapasan di mal, saya memilih untuk tidak berada di jalurnya. Belok, masuk toko atau langsung berputar. Malas. Kecuali, ya kecuali bila ia berjalan bersama orang lain yang kebetulan saya kenal. Apa boleh buat…. Dan kami pun –pasti—berkenalan lagi.

Saya tak lagi memikirkannya sampai dua malam yang lalu. Tepatnya lewat tengah malam. Telepon genggam saya berbunyi nyaring. Nomor yang tertera tak saya kenal, tetapi kebiasaan menerima kabar buruk dari keluarga dan teman yang tersebar di mana-mana, membuat saya selalu menjawab telepon di waktu-waktu aneh begitu. Di ujung sana terdengar suara seorang pria. “Bu, ini aku. Kamal.” Kamal? Kamal yang selalu lupa nama dan mukaku setiap kali kami bertemu tapi bisa langsung ingat kalau ada orang lain bersama kami? Kamal: menelepon di jam begini? Sungguh luarbiasa mengherankan! Jangan-jangan bukan Kamal yang itu....

“Maaf, ini Pak Kamal....”
“Ya, Bu! Kamal! Saya kenalannya teman Ibu yang waktu itu....” Betul, ini Kamal yang itu!
“Ya, Pak Kamal. Ada apa?”
“Saya punya masalah kecil, Bu. Menyangkut media yang Ibu tangani.” Aduh! Jangan sampai ada yang mendadak kurang ajar padanya....
“Ada masalah apa kiranya, Pak Kamal?” saya sudah duduk tegak di tempat tidur. Siap berdiri dan lari bila diperlukan.
“Begini, Bu.... Tiga minggu lalu, wartawan dari tempat Ibu mewawancarai saya.”
“Oh, ya, ya, saya tahu itu. Ada yang salah?”
“Ya, begitulah... Begini, keadaan sudah makin sulit dikendalikan. Bisa bantu saya, Bu?”
“Bantu bagaimana? Soal apa sebenarnya ini? Ada hubungan dengan wartawan kami atau...”
“Saya tidak bisa jelaskan sekarang, Bu. Nantilah, kalau waktunya pas, sambil ngopi-ngopi.”
“Pak, sebetulnya ini soal apa sih? Kalau telepon jam segini, ya mustinya penting. Masak nunggu ngopi-ngopi...”
“Ya, ya, saya mengerti. Maaf Bu, maaf. Begini, singkat kata, tolong bantu saya supaya hasil wawancara itu jangan disiarkan dulu. Tunda saja.Nanti kalau sudah oke, boleh dimuat.”
“Pak Kamal, kebetulan saya hanya mensupervisi tampilannya saja. Sementara soal isi, itu sepenuhnya hak pemimpin redaksi majalah bersangkutan. Saya tidak bisa janji apa-apa kecuali membantu mengecek. Itu pun baru bisa saya lakukan sekitar tujuh jam dari sekarang.”
“Begitu ya, Bu.... Apa pemimpin redaksinya tidak bisa diajak kerja sama, Bu? Kira-kira berapa ....”
“Pak Kamal, ini tidak ada hubungan dengan ‘berapa’.”
“Tolonglah, Bu. Tolong....” di ujung sana, sepertinya ada yang siap menangis. Bahaya!
“Pak, yang bisa saya janjikan adalah mengecek status tulisan itu. Kalau belum naik cetak, berarti masih terbuka kesempatan negosiasi. Tapi kalau sudah sampai percetakan.... Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Pak.”
“Aduh, saya betul-betul kepepet sekarang, Bu. Nanti kalau berhasil saya atasi, akan saya jelaskan sambil ngopi-ngopi.” Halaah, ngopi-ngopi lagi! Kapankah itu? Sedangkan saat saling papasan saja ia bisa tak melihat saya. Bagaimana pakai ngopi segala?

Paginya, sambil menunggu teman yang menulis profil Kamal tiba di kantor, saya mengetik namanya di halaman web portal berita. Dan di baris teratas, namanya muncul: Kamal terjerat perkara penggelapan uang. Jumlahnya amat sangat besar. Yang terkait para pembesar negeri ini dan beberapa selebriti ternama.

Kepada teman yang akan memuat profilnya, saya ceritakan soal telepon semalam. “Tidak bisalah. Sudah naik cetak sejak tiga hari lalu,” katanya sambil mengangkat bahu.

“Apa sih isi tulisannya?”
“Dia kami muat di rubrik gaya hidup pengusaha ternama. Di situ secara khusus dia bicara soal hobi belanjanya, brand favorit, soal tiga rumah baru, liburan yang harus di New York, Paris, Bahama… Ya, gitu-gitulah. Biasa, soal gaya hidup. Tak ada yang berbahaya.” Saya mengangguk-angguk, dan teman itu menganggap saya sependapat dengannya. Soal tulisan yang tak berbahaya itu.

1 comment: