Thursday, 29 January 2009
DUL (serial catatan kemarin)
Mbok bilang, bapaknya Dul dan Ida bersaudara. Mbok juga bilang, waktu Dul lahir, ibunya langsung meninggal. “Dulu, Pak Karno tinggal di Sidoarjo. Tetapi sejak istrinya meninggal, ia pindah ke sini, dekat rumah Ida. Supaya ibunya Ida bisa menjaga Dul dan Ahmad, abangnya,” itu cerita dari Mak.
Dul bisa main apa saja. Tapi dia paling tidak suka diajak main sembunyian. Katanya itu bukan permainan. Ini yang Dul suka:
1. main kelereng
Dul selalu menang setiap kali main. Kalau aku, Ida dan Bud main lalu Dul datang, kami lebih baik berhenti saja. Daripada semua kelereng pindah ke kantong Dul. Setiap kali main, Dul cuma bawa satu gundu. Tapi pulangnya, kantongnya pasti penuh, sampai celananya harus diikat, supaya tidak melorot. Tidak kuat menahan gundu yang banyak di kantong itu. Paling enak, kalau main beregu. Aku dan Dul paling sering main bersama, melawan Yono dan Tri. Waktu mulai main, Yono pasti omong yang tidak-tidak. Dia selalu bilang pasti menang, pasti bisa membawa pulang semua gundu kami. Tetapi setengah main, gundunya sudah berkurang banyak. Dan kalau hampir habis, dia teriak-teriak, bilang kami semua curang.
Pernah satu kali, waktu kelerengnya betul-betul habis, Yono mengamuk. Semua disepaknya. Juga kelereng kami hingga tersebar ke mana-mana. Dul marah sekali. Dia merenggut leher baju Yono. Lalu dengan tangan yang lain muka Yono ditinjunya. Yang dipukul mengaduh-aduh. Menangis, berkaok-kaok. Memanggil-manggil bapaknya. Ribut sekali! Sebentar saja, bapaknya Warno, pak Wardiman, ke luar. Aku pikir, Dul pasti akan dihajarnya. Tetapi semakin dekat, semakin laju jalan pak Wardiman. Dia lewat begitu saja. Menoleh pun tidak. Yono, melihat bapaknya tidak berhenti menolongnya, langsung diam. Dul melepaskan cengkramannya. Yono jatuh. Dul menyuruhnya membereskan kembali susunan kelereng di pasir. Yono menurut.
2. main layangan
Kalau musim layangan datang, Dul pasti ada di pinggir rel kereta. Main. Layangan Dul macam-macam. Ada yang besar, warna-warni dan berbuntut panjang. Bentuknya macam-macam. Ada kupu-kupu, ikan, ular naga. Aku paling suka layangannya yang berbentuk orang: tangannya berkacak pinggang, roknya merah, rambutnya mencuat ke luar, bibirnya merah, matanya besar. Dul bilang, layangan yang aku suka itu paling sulit diterbangkan karena terlalu besar dan berat. Dia sendiri suka yang ular naga. Mak juga. Kalau Dul sudah menaikkan layangannya yang berbuntut panjang itu, Mak pasti keluar, menengok. Mak senang melihat ekornya yang meliuk-liuk ke sana ke mari. Jangan-jangan Mak ingin main layangan bersama Dul. Dulu, waktu kecil, Mak sangat pandai main layangan. Main kelereng juga.
Tetapi semua layangan yang bagus itu jarang sekali dimainkan. Dul lebih suka menaikkan layangannya yang kecil, yang biasa. Dengan layangan kecil ini, Dul selalu menang setiap kali beradu dengan layangan lain. Kata Mak, itu karena benang yang dipakai sangat bagus. Dul bilang, itu buatan bapaknya. Pakai pecahan botol dan gelas. Diuleg. Mak bilang, selain pakai gelas uleg, ada lagi obat yang ditambahkan. Mak lupa apa namanya.
Aku dan Ida bergantian bertugas memegangi layangan sebelum ditarik dan diterbangkan. Kalau sudah naik, aku bertugas memegang kaleng yang diubet benang gelasan. Berdiri di dekatnya, mendengarkan perintah yang diberikan: Ulur! Gulung! Tariiiiiik! Layangan Dul terbang tinggi, menyambar-nyambar ke sana ke mari, mengejar layangan lain. Begitu dekat, layangannya memotong jalur terbang lawan dan... tess! Layangan lawan putus. Kalau sudah begitu, aku dan Dul lompat-lompat. Dul selalu membiarkan layangan lawan yang putus. “Buat apa mengejar layangan jelek seperti itu. Aku bisa buat lebih bagus,” katanya. Ya, Dul tidak pernah beli layangan. Dia bisa bikin sendiri. Pakai lidi sapu, pakai kertas tipis. Setelah selesai di tempel dengan nasi, Dul menghias layangannya dengan cat berwarna. Seeet, seeet! Biasanya dia menggambar tengkorak atau tumpukan lingkaran yang disusun seperti sasaran tembak.
3. mengejar kereta api
Dul suka mengejar kereta api. Setiap sore, pasti dia lakukan. Kalau sedang main layangan, ia akan menyuruh siapa saja yang lewat didekatnya untuk memegangi layangannya sebentar. Dia akan lari ke ujung gang, menunggu kereta lewat yang memang jalannya melambat kalau sampai di situ, lalu dia mulai lari, mengiringi... mengejar dan hop! Melompat. Biasanya Dul mengincar bagian sambungan kereta api karena ada pegangannya.
Aku tidak pernah kebagian memegangi layangan Dul kalau dia mengejar kereta api. Bukan tidak bisa, tetapi aku ikut lari bersama Dul, meski selalu ketinggalan. Begitu dia ada di atas kereta, Dul akan tertawa-tawa, menari-nari dan melambai padaku. Dia juga berteriak-teriak, memanggil siapa saja yang lewat dan tampak oleh matanya. Oiiii, Lik! Lik! Aku iri pada Dul.
Suatu hari, waktu membantunya memegangi benang layangan, di atap rumahnya, aku bilang pada Dul, kalau aku ingin ikut dia, berlari dan menangkap kereta. Dia cuma berbunyi, “Hmm...” Aku ulangi permintaanku, “Boleh ya, Dul?” Dia bilang, “Hmm,” lagi. Artinya, boleh. Pasti. Waktu kami sudah selesai main, menggulung benang dan membereskan layangan, dia menarik tanganku, “Kamu jangan ikut naik kereta. Mak mu nanti marah sama aku. Lagi pula, mana ada anak perempuan yang naik kereta begitu,” katanya. Aku hampir menangis saat itu juga. Dul tidak mengijinkan aku menikmati permainannya.
Sampai malam, aku masih memikirkan omongan Dul. Aku tidak berminat makan, padahal di meja ada ikan bandeng dengan mata yang masih lengkap. Mak bertanya, mengapa. Aku bilang, aku kesal sama Dul karena dia tak mau mengajak aku naik kereta bersamanya. Tiba-tiba tangan Mak mencengkeram lenganku, “Willa, dengar! Jangan pernah mencoba-coba ikut naik kereta api bersama Dul. Itu berbahaya, tahu?” Aduh! Aduh! “Dul betul, Mak akan marah. Dan Mak akan sangat-sangat-sangaaat marah kalau kamu sampai mencoba melakukannya! Dengar, Willa?” Aku cepat-cepat mengangguk. Aduh! Aduh! Harusnya aku tak ceritakan semua ini pada Mak!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment