Aku sampai di rumah. Mak tak ada. Barangkali ke pasar. Tapi ada Mbok. Dia sedang berdiri di pagar. Habis menyapu halaman. Melihat aku pulang, dia berteriak-teriak, keras! “Biyung! Biyuuuuuuung! Ngopo kowe, Willa?” aku cepat lari, menghindar dari tangkapan tangannya. Sambil menuju kamar mandi, aku menendang ke sana ke mari: sepatu lepas satu satu. Kaus kaki, baju, rok. Lalu aku masuk kamar, melompat ke tempat tidur. Mbok mengikuti, dia berdiri di pintu kamar, berpegangan pada tirai. Matanya membelalak, “Rambutmu, bajumu... Apa kata Mak nanti kalau dia lihat kamu seperti ini?” katanya. Mak! Iya, apa kata Mak nanti? Berarti aku harus ganti baju segera.
Aku cepat turun dari tempat tidur, menuju lemari pakaianku yang ada di ruang tengah, tempat ayunan bergantung. Tapi terlambat: Mak sudah ada di rumah. Suaranya menunjukkan kalau ia sudah sampai di ruang tamu! “Ada apa, Mbok? Pagi-pagi kok teriak-teriak!” begitu katanya. Dan aku cepat melompat ke balik lemari. Dari situ aku dengar suara sepatu Mak yang tak-tik-tok itu.
Lalu Mbok bersuara! Dasar pembilang!
Aku dengar dia bilang begini, “Nyah, Noni! Noni!”
“Kenapa Noni? Jatuh? Sakit?”
“Mboten, mboten, Nyah!”
“Lha, terus kenapa teriak-teriak?”
“Ketok e bar tarung! Kelambi ne... rambut e...!”
“Apa? Tarung? Dengan siapa? Luka? Di mana dia” aku dengar suara Mak.
Makin keras. Makin naik. Makin dekat!
“Di kamar, Nyah!” waktu Mbok bilang itu, aku sudah hampir mencapai lemari pakaian. Ternyata Mak sudah ada di depanku. Kami bertabrakan. Aku jatuh terduduk. Mak berdiri tegak. Matanya membelalak, melihat aku yang hanya memakai singlet dan pakaian dalam. Aku buru-buru berdiri.
Dari matanya, aku tahu Mak tak senang hati. Mungkin sebentar lagi aku akan kena cubit lagi.
“Cepat ambil baju ganti. Lalu ceritakan, apa yang terjadi di sekolah,” kata Mak.
Suaranya tidak keras. Tapi lurus, seperti talang air. Tidak berkelok-kelok seperti waktu membacakan cerita untukku. Lututku dingin. Telapak tanganku berkeringat.
Baju yang kuambil terlepas, jatuh. Aduh.
“Willa, cepat!” Aduh. Mak menepuk-nepuk kursi rotan, waktu aku muncul dari balik pintu. Aduh.
“Bagaimana kamu bisa sampai di rumah begitu cepat?” Aku melihat mata Mak. Tenggorokanku kering.
“Mbok bilang kamu seperti habis berkelahi. Dengan siapa?” Sekarang tangan Mak terlipat di dadanya. Mukanya dekat sekali dengan mukaku. Tidak ada senyum.
“Willa, ayo bicara,” katanya lagi. Suaranya membuat aku ingin melompat dari kursi dan berlari ke jalan. Tapi tidak bisa. Aku harus bicara. Harus cerita. Dan aku pun katakan saja apa yang terjadi di sekolah tadi. Aku bisa pastikan sebentar lagi tangan Mak sudah ada di pangkal pahaku. Mencubit, memelintir. Aduh. Aku menunggu sambil menutup mata.
“Willa, betul itu yang terjadi?” aku membuka mata waktu Mak bertanya. Tangannya masih terlipat di dada. Aku mengangguk, “Betul. Bu Tini menjewer telingaku.”
“Tapi kau injak kakinya!”
“Dia tidak percaya aku bisa baca, Mak!”
“Dan kau jambak rambut temanmu.”
“Karena mereka jambak lebih dahulu.”
“Jangan membalas, Willa! Tidak akan selesai! Adukan pada Bu Tini apa yang dilakukan temanmu itu.”
“Aku tidak suka Ibu Tini. Aku rasa dia juga tidak suka aku.”
“Ah, Willa! Guru itu baik.”
“Tidak Mak. Bu Tini jahat!”
“Dan kau tendang kaki temanmu.”
“Karena dia melihatku sambil tertawa-tawa.”
“Mungkin dia mau mengajakmu tertawa?”
“Tidak! Mukanya.... aku tidak suka lihat mukanya!” lalu aku tirukan muka Bayu. Tiba-tiba Mak tertawa. Keras sekali! Aku jadi ikut tertawa juga.
“Kenapa, Mak?” aku akhirnya bertanya waktu Mak tidak berhenti tertawa.
“Kalau mukanya seperti itu, mungkin Mak juga akan tendang kakinya juga!” katanya sambil setengah mati menghentikan tawanya.
“Willa, menendang, memukul, menjambak teman itu salah. Dan menginjak kaki Bu Guru.... Aduh, Mak harus memberi hukuman,” kata Mak setelah berhenti tertawa. Hukuman? Aku sudah sudah diganggu, dijambak, dijewer... masih dihukum juga? Aku tidak suka! Aku tidak mau dihukum! Aku menangis saja ah! “Willa!” Mak berteriak, “Diam!” aku menjerit keras. Mbok tiba-tiba muncul di balik tirai. Memeriksa apa yang terjadi. Sebentar saja. Lalu kembali ke dapur. Aku meraung. Lebih keras.
“Willa, satu!” Mak mulai menghitung. Aku masih menangis.
“Willa, dua!” Aku terus menangis.
“Willa, kalau kamu tidak berhenti menangis, Mak akan cubit kamu!” Apa? Kalau tidak berhenti malah dicubit? Kalau begitu aku harus segera berhenti mengeluarkan suara dan air mata. Berhenti! Berhenti!
Dan aku berhenti menangis. Mak menarik napas panjang.
“Willa, dengar... semua yang kamu lakukan itu salah. Tapi Mak harus bicara dengan Ibu Tini di sekolah. Kamu tunggu di rumah. Setelah Mak pulang, Mak akan tentukan hukuman apa yang harus di berikan padamu.” Mak bangkit dan mencari sepatunya. Setengah berlari, ia menyambar sepeda yang tersandar di pohon cemara. Mbok mengejar, mungkin ingin bertanya sesuatu. Terlambat. Mak sudah melaju.
Aku menunggu di rumah. Lama sekali rasanya. Aku mencari buku cerita yang sudah lama tidak kubaca.
Mak kembali waktu aku sedang makan siang di dapur, bersama Mbok.
Rambut Mak dipotong pendek, sebatas telinga. Tadi waktu ia berangkat, rambutnya yang berombak tersisir rapi, dijepit dengan jepit hitam di samping telinga kiri dan kanan. Sekarang, waktu ia berdiri di pintu, rambut Mak mekar seperti bunga. Tidak terjepit lagi. Mukanya berkeringat. Alisnya.... alisnya menyambung menjadi satu dan bagian tengahnya menukik dalam, sementara ujung-ujungnya naik sekali. Mak marah!
Aku langsung berdiri tegak. Aku pasti kena cubit! Bagaimana ini: baiknya aku langsung menangis atau menunggu sampai Mak mencubit saja? Aku bingung. Mak lalu memberi isyarat agar aku mendekat. Aku pasti dicubit! Aku rasa, baiknya langsung menangis saja. Yang keras... Atau, tunggu sampai dicubit? Supaya Mak tahu kalau aku kesakitan? Atau...
Mak menyuruh aku duduk di kursi rotan. Apa kubilang! Aku harusnya menangis saja dari tadi. Terlambat! Terlambat! Mak menarik napas, lalu ia berjongkok di depanku. Memegang lututku. Ia menarik napas sekali lagi. Sebelum bilang begini, “Mulai besok, kamu tidak usah kembali ke sekolah itu lagi. Kita akan cari sekolah baru.” Aku terlompat dari kursi. Ah, betulkah? Senang! Senang!
“Jadi aku tidak ketemu Bu Tini lagi?”
“Tidak usah. Kecuali kalau kamu memang senang padanya. Apa boleh buat, Mak harus ijinkan,” katanya sambil tersenyum. Muka kami hampir menempel. Aku lihat hidungnya yang penuh dengan titik-titik keringat.
“Sekolah di mana, Mak?”
“Kita cari.”
“Kapan, Mak?”
“Hari ini. Kamu ikut!” kata Mak.
Aku cepat berganti pakaian, lalu kami berangkat mencari sekolah. Naik sepeda. Aku duduk di kursi kecil di depan, dekat stang. Sepeda laju ke jalan besar. Aku dengar Mak menyanyi-nyanyi. Aku tahu lagunya,
Kelap kelip lampu di kapal
Anak kapal main sekoci...
Aku lupa menanyakan pada Mak, apa yang terjadi dengan Ibu Tini. Mungkin nanti malam, sebelum kami tidur.
No comments:
Post a Comment