Saturday, 28 March 2009

MENCARI (serial catatan kemarin)

Kami bersepeda melewati beberapa sekolah. Semua berhalaman luas, ada banyak anak berlari-lari ke sana ke mari. Ramai. Setiap kali sepeda mendekati pintu gerbangnya, aku menoleh, melihat Mak. Dia tidak menoleh ke sekolah itu. Mukanya tetap lurus ke depan. Dan ia tetap bernyanyi-nyanyi. Aku ikut menyanyi juga. Lebih keras dari Mak. Sepeda melaju kencang. Angin menepuk-nepuk mukaku. Beberapa kali, aku menyanyi lebih keras, mengalahkan angin yang berusaha masuk mulutku.

Aku tak ingat berapa lama kami bersepeda di jalan besar itu. Ada mobil, becak, sepeda dan trem. Mak lalu membelokkan sepeda, masuk ke jalan-jalan yang lebih sepi. Sepeda tak lagi kencang. Kami melewati satu sekolah. Sepeda jadi sangat lambat.

“Sekolah apa ini?” kata Mak.
Aku baca tulisan yang ada di papannya, “Taman Kanak-Kanak Putra Sejati.”
Mak bergumam, aku tak tahu apa. Sepeda tak jadi berhenti. Mak kembali mengayuh sepeda.
“Kenapa tidak di situ, Mak?” aku bertanya. Sebetulnya, aku cukup senang kalau Mak berhenti di situ. Di halamannya ada jungkat-jungkit selain ayunan (aku sudah punya di rumah, ingat kan?).
“Kita lihat yang lain dulu. Aku kurang suka namanya.”
“Kenapa, Mak?”
“Putra Sejati.”
“Apa artinya, Mak?”
“Putra sama dengan anak laki-laki. Sejati, sesungguhnya.”
“Anak perempuan?”
“Itulah! Mana putrinya, anak perempuannya? Jangan-jangan sekolah itu tidak punya murid perempuan.”

Setelah Putra Sejati itu, kami tak menemukan sekolah lagi. Sampai entah di belokan yang keberapa dan di jalan apa, sepeda kembali melambat. Mak pasti melihat sesuatu. Aku memutar kepala. Dan ya, di sebelah kanan jalan, di balik tanaman tinggi kurus dan berbunga jambon, ada papan kecil. TK JUWITA.

“Juwita... apa artinya, Mak?”
“Cantik,” kata Mak. Aku merasakan dagunya menyentuh kepalaku. Mak selalu berbuat begitu setiap kali bilang ‘cantik’.
“Kita berhenti di sini, Mak?” tanyaku waktu sepeda membelok ke gerbang yang terbuka. Mak mengangguk. Ia turun dari sepeda. Aku tetap duduk di kursi keranjang, di stang sepeda. Mak mendorong sepeda. Kami berdua, bertiga dengan sepeda, masuk halaman TK Juwita.

Ternyata halamannya tidak besar. Tapi tetap ada jungkat-jungkit dan ayunan juga! Tidak ada banyak kelas. Cuma ada satu ruang dengan kaca-kaca yang lebar. Dan di kaca-kaca itu tertempel banyak kertas warna, gambar ikan, burung, bunga, kupu-kupu, kucing, anjing, kapal, sepeda, bulan, bintang.... Aku tunjukkan gambar-gambar itu pada Mak. Dia mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, “Bagus ya?”
“Siapa yang buat itu semua, Mak?”
“Aku rasa Bu Guru di sini dan teman-teman barumu.”
“Kalau aku sekolah di sini, aku juga buat semua itu?”
“Mak rasa begitu,” katanya sambil mengunci sepeda. Mak lalu menggandeng tanganku. Kami menuju pintu kayu berwarna kuning, merah dan biru. Aku ingin punya pintu seperti ini. Nanti aku bilang pada Mak. Siapa tahu dia suka juga (semua pintu rumah kami berwarna putih diberi garis tepi biru tua).

Lalu terdengar dari dalam, “Mari, mari... Silakan masuk, Bu! Ayo, Nak! Ayo, masuk!” Mak dan aku saling berpandangan. Mak tersenyum. Lebar. Alisnya naik tinggi-tinggi. Aku senang mendengar suara dari dalam itu. Aku tahu Mak pasti senang juga. Orang yang bersuara itu, rasanya baik hati. Aku yakin itu.

No comments:

Post a Comment