(serial catatan kemarin)
Aku dan Mak melangkah masuk. Ternyata di dalam sudah menunggu seorang perempuan, setinggi Mak. Mungkin seumur Mak juga. Bajunya mirip Mak, rok lebar bunga-bunga. Hanya saja yang ini rambutnya agak lain, diikat ke belakang. Begitu melihat kami berdua, dia tersenyum lebar. Tangannya maju, bersalaman dengan Mak. Denganku juga. Dia menyebut namanya, “Juwita!” Oh! Aku dan Mak berpandangan lagi.
Perempuan itu melihat kami berdua, lalu ia tertawa, “Betul Bu, taman kanak-kanaknya mengambil nama saya,” lalu katanya, “Bisa saya bantu, Bu?” sambil menyilakan Mak duduk di kursi tamu. Di depan kami ada meja pendek, meja tamu. Taplaknya terbuat dari kertas yang digunting-gunting, dibuat lubang-lubang kecil, jadi seperti renda. Di sudut-sudutnya diberi gambar bunga, daun. Aku belum pernah lihat taplak seperti ini. Bagus sekali. Barangkali Mak perlu satu seperti ini di rumah.
Aku duduk di sebelah Mak. Saat itu aku melihat rambut Bu Juwita dengan lebih jelas. Dibuat konde kecil yang ditusuk dengan semacam hiasan rambut, bulat, berwarna hitam, berlubang-lubang berbentuk bunga. Baru sekali ini aku lihat rambut dihias seperti itu. Kalau rambut Mak agak panjang, barangkali bisa dibuat seperti itu.
Mak mulai bicara dengan Ibu Juwita, tentang aku yang sudah waktunya masuk sekolah. Bu Juwita mengangguk-angguk, lalu tersenyum padaku.
“Siapa namamu?” ia bertanya memakai bahasa Indonesia. Aku memandang Mak yang juga sedang memandangi aku. Mak memberi isyarat agar aku menjawab.
“Na Willa,” kataku sambil memperhatikan mulut Bu Juwita: apakah ia akan tertawa seperti Bu Tini? Aku tunggu. Tunggu. Ternyata dia tidak tertawa. Matanya terbuka lebar, lalu dia senyum, manis sekali. Dia bilang begini, “Na Willa? Wah, saya belum pernah dengar nama itu. Bagus sekali!” Badanku langsung lurus: Bu Juwita bilang namaku bagus! Aku dan Mak saling memandang. Mak tersenyum lebar. Aku juga. Rasanya aku akan senang bersekolah di sini.
Mak lalu bicara soal uang sekolah, kapan harus bayar, kapan boleh masuk dan mulai belajar. Bu Juwita menjawab semua dengan suaranya yang seperti ... nyanyian. Dari semua jawabannya, cuma satu yang aku ingat: Na Willa boleh mulai sekolah kapan saja. Bagaimana kalau besok? Aku mau mulai besok saja. Atau bagaimana kalau…. Aku cepat mendekat ke telinga Mak, “Saiki?” aku bertanya dengan suara pelan. Tapi tidak cukup pelan, sehingga Bu Juwita bisa mendengar dengan jelas.
“Sekarang,” katanya, “pelajaran sudah selesai. Tetapi kalau mau, kamu boleh lihat-lihat ke dalam kelas. Boleh mencoba duduk di bangku yang ada. Atau memeriksa mainan yang ada di kotak besar, di samping lemari.”
Aku sesak napas! Mak tahu aku ingin melakukan itu semua. Dia menepuk telapak tanganku, “Ya, boleh. Lihatlah...” katanya. Aku melompat. Masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk oleh Bu Juwita.
Rasanya….
Aku mau di sini saja, ah!
No comments:
Post a Comment