Wednesday 10 February 2010

alamat baru


“Siapa yang mencariku, Ti? Bapakmu? Mbokmu? Mulai sekarang mereka bisa menemuiku di sini. Coba kau tulis alamat lengkapnya: Jalan Balai Pustaka I/8, Rawamangun, Jakarta Timur. Kode Pos-nya, tiga belas .... berapa ya? Ah, gampang: nanti kau tanyakan saja di kantor pos yang akan kau lewati waktu menuju terminal bis Rawamangun nanti. Ancer-ancernya, gampang. Dari jalan Balai Pustaka Timur, yang ada apotik Rini, kamu melipir kiri, lalu masuk jalan pertama di sebelah kiri. Setelah itu, masuk jalan pertama di sebelah kanan. Terus kamu langsung lihat sebelah kanan. Nah, ketemu! Gampang, tho?”

“Bilang bapakmu, mbokmu, aku baik-baik saja. Sehat-sehat. Makan cukup. Pekerjaan ada. Tempat istirahat, memadai. Kurang apa lagi? Paling kalau hujan aku agak repot sedikit. Kalau mereka mau nengok, ya silakan. Cuma ya itu, mereka tidak bisa nginep di sini. Tak ada tempat. Tapi aku dengar di terminal Rawamangun sekarang ada penginapan kecil dan murah. Tidak sampai satus*).”

“Eh, kau belum makan, ya? Ini ada nasi uduk pemberian Bu Wati, yang jualan di depan sekolah itu. Habiskan saja. Setelah kenyang, kau bisa langsung jalan ke terminal. Oh, kau mau makan di terminal? Bisa, bisa! Bawaanmu cuma tas ini? Berarti jalan kaki saja. Tidak usah naik bajaj. Dekat, kok. Aku ndak nganter, ya. Wis, wis, jalan. Sampaikan salamku pada Bapak dan Mbokmu, ya. Bilang aku baik-baik saja!”

Surti mencium punggung tangan adik bapaknya yang terbungkus bau kretek. Lalu bangkit dari posisi jongkok, meraih tas kulit imitasi yang lepas-lepas jahitannya. Paklik menepuk-nepuk bahunya, lalu menyelipkan sehelai kertas ke telapak tangannya. Sepuluh ribu.

Surti mulai berjalan, mengikuti petunjuk yang ia terima. Mendadak kepalanya kepalanya sakit. Ada banyak pertanyaan berlompatan. Tapi yang paling keras bersuara cuma satu: bagaimana menyampaikan pada Bapak dan SiMbok tentang paklik yang sekarang ini tinggal di samping rumah besar dengan pot-pot raksasanya berisi palem-palem muda yang subur daunnya itu. Di antara dua pot, di sana pakliknya menggelar tikar, di kelilingi tas-tas plastik dan tumpukan berbagai barang, tanpa atap di atas kepalanya. Di antara dua pot itu, Paklik makan, tidur, menyortir sampah plastik di situ. Ia tahu Pakliknya bekerja serabutan. Ia tahu adik bapaknya itu suka pindah-pindah tempat tinggal. Tetapi baru sekali ini tempat tinggalnya cuma beratap langit. Bagaimana bisa? Dan alamat yang ia catat tadi, berlaku sampai kapan? Menanyakannya langsung pada Paklik, ia tak bisa. Tak ingin.

Matahari tertutup awan tebal, tetapi kepala Surti seperti terbakar rasanya.






*) satus: seratus

No comments:

Post a Comment