Thursday 23 June 2011

MENGARANG


Terus terang aku selalu terheran-heran oleh guru bahasa Indonesia. Baik di SD, SMP, dan sekarang SMA, ulah mereka tak pernah berubah. Yang membedakan mereka hanya wajah dan nama. Sementara penyakit mereka selalu sama: memberi tugas mengarang dengan tema – bukan main – selalu sama pula, pengalaman di masa liburan. Mereka bilang mengarang itu bentuk penguasaan bahasa. Menurut pendapatku, itu hanya alasan mereka yang bingung tak tahu mau memberi tugas apa di hari pertama pelajaran.
Dan itulah yang kukerjakan sekarang, menuliskan apa yang kualami selama liburan yang baru lewat.

***
Hari-Hari Liburku

Oleh Tanto III A2-2/34

Hari pertama liburan kulewatkan dengan bangun sesiang mungkin. Tak ada yang mengusik. Tidak juga ibu yang biasanya berteriak lantang. “Sudah siaaaang! Hei orang-orang yang masih sekolah, lihat itu matahari sudah samai di barat. Kalau terlambat jangan salahkan Ibu, ya!” Bapak juga tampaknya setuju dengan jadwalku yang melenceng ini.

Menonton televisi adalah kegiatanku yang pertama. Acara yang selama ini selalu kulewatkan karena sekolah, kini bisa kunikmati dengan leluasa. Tak masalah televisi yang bisa dibeli Bapak sangat kecil ukurannya. Mungkin 14 inci pun tak sampai. Peduli amat. Semuanya kunikmati, termasuk makan dan minum pula! Mewah!

Mandi? Itu yang  agak sulit terlaksana. Waktu terlalu berharga untuk dilewatkan dengan sekadar menyiramkan air ke tubuh. Tapi, tampaknya semua orang setuju. Terutama Novi, adikku, yang setiap kali lewat di dekatku mengerutkan hidungnya, mendenguskan napas keras-keras. Peduli amat!  Malam itu aku tertidur di depan televisi.

Hari kedua, aku kembali duduk di depan televisi. Sesekali bangkit mencari makanan. Tetapi selebihnya sama dengan hari sebelumnya. Begitu juga dengan hari ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh.

Hari kedelapan aku mulai bosan dengan kegiatanku. Acara televisi kembali pada polanya semula. Mataku mulai berair setiap kali pesawat itu kunyalakan. Aku tak tahu harus berbuat apa. 

Sebenarnya aku bisa lari sebentar ke telepon umum dan menghubungi teman-teman, mengajak mereka jalan-jalan, mungkin mampir di plaza anu, makan donat atau hamburger, atau mungkin sekadar minum kopi. Tetapi aku tak punya uang sepeser pun. Tak juga seratus perak untuk menelepon.

Aku coba minta Ibu. Tapi ia malah mengomel panjang-lebar. Katanya kalau sudah jalan, pasti lupa pulang. Dan kalau pun ingat pulang, pasti sangat larut. Lalu katanya lagi, tanpa mengambil napas sedikit pun, kalau sudah begitu aroma tubuhku jadi sangat aneh. Tepatnya tercampur baur bau rokok dan minuman keras yang kami hisap dan minum secara bergantian. Dalam hati aku was-was juga, semoga dia tidak mengadukan bau yang aneh itu pada Bapak. Kalau dia tahu, pasti aku kena ganjaran. Entah apa, tapi pasti mengerikan.

Dari dulu ia sudah bilang tak ingin anaknya merokok, apalagi minum-minum. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau semua itu kita tolak, mau ke mana kita? Bahkan, duduk-duduk di tangga plaza atau departemenet store saja bisa dihajar. Terlalu bersih lebih buruk dari pada punya penyakit kudis. Kalau hidupku terkucil, apa Bapak dan Ibu mau menemaniku ke mana-mana? Mimpi!

Mungkin sebaiknya aku lari saja ke rumah Iko. Siapa tahu dia di rumah. Dari sana aku bisa menyusun rencana. Tetapi kalau dia tidak ada, bagaimana? Kan percuma tenaga yang telah kubuang untuk mencapai rumahnya. Tak sadar kutendang kaki menja. Ibu jari kakiku kena. Sakit. Akhirnya aku berbaring lagi di kursi sofa yang busanya sudah kempes sekali.

Sore. Sore sekali aku terbangun oleh teriakan Novi. Lampu belum dinyalakan. Ada apa?
Dari suaranya yang terbata-bata, aku tahu kalau Ibu jatuh di kamar mandi. Seperti kerbau tolol kuikuti langkah Novi. Ia berteriak-teriak. Tak jelas apa katanya, tapi aku menduga ia pasti meminta aku mengangkat Ibu. Untuk pertama kalinya aku memperhatikan tubuhnya. Kurus sekali. Dingin dan mukanya pucat. Bajunya agak basah. Novi menangis terus. Kusuruh dia mencari bantuan dari tetangga sebelah. Dengan bantuan mereka, kami membawa Ibu ke rumah sakit.

Ke rumah sakit terdekatlah Ibu segera dilarikan. Sesampainya di sana, para suster dengan sigap membawa Ibu ke ruang gawat darurat. Lantas, tak berapa lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Tanpa komando, saya dan Novi berdiri bareng.
Dokter itu cuma bicara singkat. Bahwa Ibu harus diopname. Alasannya, biar lebih terkontrol jika berada di bawah pengawasan medis.

Saat itulah Bapak muncul. Dan dokter itu pun berbicara cukup lama dengan Bapak. Aku sudah tak bisa berpikir lagi. Buatku, jika dokter sudah memutuskan harus diopname, berarti penyakitnya cukup parah. Apa? Aku tak berani bertanya saat itu.

Tapi, saat aku memutuskan untuk menunggui Ibu, ada sedikit rasa kesal. Bayangkan saja, ia agak rewel. Semua makanan yang disodorkan padanya, hampir selalu ditolaknya. Setelah dipaksa, baru mau. Keras kepala sekali. Setelah ia menurut, aku jadi merasa bersalah. Mungkin seperti itulah rasanya kalau aku selalu melakukan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang Ibu minta. Tidak enak ternyata. Sayangnya, itu semua tak banyak memberi kemajuan pada kesehatannya.

Hari kesebelas, aku pulang ke rumah. Ganti Novi yang menjaga Ibu. Setiba di rumah, tiba-tiba ada yang tak beres dengan rumah kami. Entah apa yang salah. Ada bau lembap, padahal waktu itu matahari bersinar masuk menerobos jendela dan genting kaca di langit-langit. Ketika melepas sepatu, kurasakan kakiku kesat. Kotor, padahal di lantai tak tampak debu. Rumah terasa sepi. Terlalu sepi.

Kunyalakan radio di ruang tengah keras-keras. Tapi bukan suara merdu yang kurasakan. Bising. Televisi kupasang. Tak ada acara menarik. Purutku lapar, tapi aku tak ingin makan. Hingga malam tiba, ketika Bapak pulang kerja, aku tak melakukan apa-apa kecuali duduk dalam gelap. Diam-diam. Sehabis mandi, Bapak berangkat ke rumah sakit menemani Novi. Aku tetap duduk di kursi yang sama.

Pagi hari aku dibangunkan oleh suara Bapak. Katanya ia mau ke kantor . Tangannya masuk ke kantong bajuku, menyelipkan uang. Katanya untuk belanja makan siang dan malam nanti. Kalau hari-hari biasa aku pasti melompat gembira, atau setidaknya, meringis menampakkan gigiku yang besar-besar. Dan aku tahu akan kubahiskan untuk apa yang jumlahnya lebih dari lumayan itu. Tapi, sekali ini aku malah enggan menerima. Terlalu banyak rasanya. Siapa tahu bisa menambah-nambah keperluan di rumah sakit. Lagipula aku tak merasa lapar. Sore hari, ketika tukang bakso langganan Novi lewat, aku memaksa makan.

Hari ketigabelas, aku kembali ke rumah sakit. Gedung warna hijau yang tinggi menjulang seakan memanggilku untuk berjalan lebih cepat. Ada semangat di hatiku. Aku ingin segera bertemu Ibu. Bagaimana keadaannya hari ini?

Novi tampak pucat. Tapi di wajahnya ada senyum. Keadaan Ibu pasti lebih baik hari ini.
“Bagaimana Jagoan: kok, ke sini lagi, sih? Apa tidak ada kegiatan lain?” katanya lambat-lambat. Beda betul dengan cara bicaranya di rumah yang serba cepat, keras, dan bernada tinggi. Aku cuma bisa meringis. Aku juga tak tahu mengapa aku begitu bersemangat menemuinya ketimbang jalan-jalan dengan Yandi atau Iko. Padahal kalau kuingat suaranya di rumah, aku selalu ingin pergi jauh-jauh. Lengkingannya terlalu menyakitkan telinga. Bahkan terkadang membuat kepalaku pusing. Sampai akhirnya pernah  aku memutuskan bahwa sumber sakit kepala dari segala zaman adalah teriakan Ibu yang tak pernah berhenti mencela anaknya. Dan sekarang, ketika ia bicara dengan sangat lambat, dengan suara yang begitu halus, aku merasa seperti berhadapan dengan orang lain. Ia seperti orang asing. Padahal seharusnya ia adalah orang yang paling aku kenal dengan baik. Sangat baik.   

Ibu mengatur napasnya. Ia benar-benar menghemat tenaga. Atau mungkin memang tak punya banyak tenaga. Ketika Novi pulang, Ibu bilang ingin tidur sebentar. Aku ingin berteriak-teriak, ingin ia terus terjaga. Ada rasa tak menentu setiap kali aku melihatnya menutup mata. Ketika ia akhirnya terlelap juga aku berdiri dekat-dekat di sampingnya. Kuperhatikan dadanya. Aku harus pastikan ada gerak turun naik di situ. Harus. Dan gerak yang selalu kutunggu-tunggu itu masih datang dan datang lagi. Ibu memang hanya tidur. Tidak lebih.

Hari keempatbelas kondisi Ibu sudah lebih baik. Sudah bisa duduk, sudah bisa tertawa dan sedikit mengomel kalau aku bicara terlalu keras. Itu yang kutunggu-tunggu.

Hari kelimabelas, dokter memutuskan Ibu boleh pulang ke rumah. Aku melompat gembira. Aku belum pernah merasakan luapan di dada seperti ini. Tidak pernah. Tak terasa pipiku basah. Novi tersenyum geli melihat aku tak bisa mengendalikan perasaan. Biarlah.

Hari keenambelas, Ibu kembali ke rumah. Meski belum bisa berjalan dengan baik, ia sudah menjejakkan kakinya ketika tangannya menyentuh daun pintu. Lalu keluarlah kalimat pertamanya.

“Apa saja kerja kalian di rumah? Mengapa semua jadi kotor begini… berdebu dan berantakan? Heran, bagaimana kalian bisa betah tinggal di tempat yang kotor seperti ini?Aduh… kalau tahu akan tinggal di kandang kotor begini, lebih baik aku tinggal di rumah sakit saja!” Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kelihatannya kesal sekali ia. Hari ini aku benar-benar gembira mendengarnya mengomel. Padahal hari-hari kemarin, kalau ia berbunyi seperti itu, aku pasti sudah lari keluar rumah. Suaranya yang tajam itu betul-betul menjengkelkan.

Hari ketujuhbelas, liburanku tinggal dua hari lagi. Ibu sudah mulai berjalan sedikit-sedikit, merayap di tembok. Ia terus mengeluhkan geraknya yang jadi sangat lamban. Ia berani bertaruh bahwa bekicot pasti bisa mengalahkannya dengan mudah. Kami tertawa saja. Dan ia jadi tambah kesal. Bayangkan, Ibu bilang mau minum minuman penambah semangat!

Hari kedelapanbelas kudengar tawanya membahana. Entah apa yang diceritakan Bapak padanya. Lalu kudengar ia memanggil namaku. Aku bergegas menemuinya.
Dengan wajah heran, ia berkata,”Katanya libur, kok, malah di rumah saja? Sana jalan-jalan.” Aku cuma mengangguk-angguk. Tak tahukah ia bahwa hari-hari terakhir ini ia sangat kuridukan? Belum pernah kurasakan semua ini sebelumnya. Dan sekarang aku ingin merasakannya terus tanpa henti.

Hari kesembilanbelas, Ibu bilang ia ingin nonton televisi. Katanya, ia ingin tahu acara kesenanganku dan Novi. Seketika itu juga aku tak ingat sepotong acara pun. Semua sama menariknya.

Hari keduapuluh aku harus siap-siap masuk sekolah. Biasanya hari itu sangat kunanti-nanti; ingin lihat gadis-gadis baru di kelas satu, ingin bertemu teman, ingin melepaskan diri dari suara Ibu yang mendengung di telinga sepanjang hari. Tapi hari ini aku ingin liburku bertambah barang seminggu. Suaranya mendadak jadi begitu merdu di telinga.

Hari keduapuluh satu aku kembali ke sekolah. Ramai sekali celotehan anak baru.  Terutama gadis-gadis baru itu. Mata Yandi dan Iko terus terbelalak, tak mau rugi. Mereka menarik-narik tanganku menikmati pemandangan segar itu. Tapi di kepalaku cuma ada satu keinginan; aku ingin cepat pulang. Itu saja!

***
Inilah karangan bertema liburan terpanjang yang pernah kutulis. Aku tak peduli dengan Bu Isti yang membaca dan memutuskan karanganku membosankan. Aku tak peduli pada nilai yang akan diberikan. Yang aku tahu cuma satu, liburan kali ini – rasanya – telah kulewati dengan acara berbeda. Di liburan kali ini, aku telah menemukan sesuatu yang baru dan aku tak malu mengakuinya; aku sayang, pada ibuku yang cerewet, yang suka teriak-teriak dengan suaranya yang tinggi, keras, dan tak pernah berhenti mengambil napas kalau sedang mengomel. Dia ibuku. Aku ingin membuatnya lebih bahagia, aku ingin ia lebih bangga padaku. Aku ingin  ia tahu aku sayang padanya.



Dimuat di majalah HAI No. 22 Tahun XIX, Terbit 6 Juni 1995.
Terima kasih kepada Dharmawan Handonowarih yang sudah menemukannya kembali. 

2 comments:

  1. Sudut pandang yang menarik mbak reda. bolehkah aku sebut ini "PERAN DALAM TULISAN" he... maaf jadi ngelantur

    ReplyDelete