Wednesday 2 November 2011

taxi

Hujan rintik di Jakarta selalu membawa kemacetan. Apalagi saat bubaran kantor begini. Hampir tak ada celah untuk menerobos lapisan bus kota dan mobil pribadi, yang kian hari kian menumpuk saja. Pendingin sengaja kumatikan. Menghemat bensin. Toh hujan tak terlalu mengganggu. Di tepi jalan, tampak para pekerja berdiri berjajar. Menunggu kendaraan yang paling tepat – baik dari segi kenyamanan maupun kemampuan kantong – mengantar pulang. Aku berharap, kendaraanku termasuk salah satu dari pilihan itu.

Di hampir penghujung jalan Thamrin, aku melihat tangan melambai. Aku tak bisa menepi, jadi kubiarkan taksiku melambat, bahkan hampir berhenti. Penumpangku seorang wanita. Dari geraknya yang gesit mengejar, kutaksir umurnya tak beda jauh dengan kakakku, Yuni. Langsing. Rambutnya dipotong pendek. Tergesa ia membuka pintu, dan menghempaskan tubuhnya di kursi belakang.

“Selamat malam,” sapaku. Ia menggumam, sementara tangannya sigap mengunci pintu, lalu dengan singkat ia menyebutkan tujuannya, di wilayah timur Jakarta. Aku melepas napas lega. Untung dia tak menyebut wilayah Selatan Jakarta yang macetnya tak terkira itu. Bahkan hingga malam hari. Bisa lepas tungkai kakiku.

Dari kaca spion kuperhatikan wajahnya. Dahinya berkerut. Mungkin kesal pada macetnya jalan. Kutanya rute mana yang ia inginkan.
“Terserah. Yang penting cepat sampai, sudah ditunggu anak,” katanya tanpa melihat ke arahku. Sudah berkeluarga dia.
“Kalau begitu lewat Imam Bonjol saja, ya Mbak…” kataku.
“Setiap kali hujan, pasti macet begini, ya…”
“Ah, setiap sore, Mbak,” kataku.
“Terlalu banyak mobil di Jakarta.” Dan percakapan pun berlanjut.
“Banyak orang kaya, sih, Mbak.” Dia tertawa.
“Tapi yang senang naik taksi juga banyak. Coba lihat itu… banyak sekali yang perlu taksi. Dan itu setiap sore!” katanya seraya menunjuk para pekerja yang berebut taksi kosong.
“Ah, cuma sore dan kadang-kadang pagi hari. Itu juga kalau lagi bulan muda. Tapi siang hari, sepi. Kalau pun ada, paling jaraknya dekat-dekat. Sebagai  pengganti bajaj mengantar mereka makan siang. Kadang-kadang kesal juga. Bayangkan saja, Mbak… waktu teman-teman masih tidur, kita sudah harus bangun. Jam empat pagi sudah harus ada di pool. Untung saya punya motor, jadi berangkatnya tidak perlu terlalu awal. Coba kalau pakai kendaraan umum… Kapan tidurnya? Mana harus bayar ongkos transpor lagi!”
“Kenapa harus sepagi itu?”
“Ya kita harus bersih-bersih dan memeriksa semuanya, Mbak. Dan kalau
kita bisa keluar cepat, ada untungnya juga. Siapa tahu dapat muatan langsung ke
bandara. Lumayan.”
Dia tertawa. Lalu, “Sudah lama jadi supir taksi?” tanyanya.
“Baru sebulan.” Dia tampak terkejut. Mungkin tak siap diantar pulang oleh seorang supir taksi yang belum berpengalaman.
“Sebelum ini kerja apa?”
 “Tidak kerja. Sekolah.”
“Sekolah apa?”
“Anu, komputer.”
“Di mana? Kursus?”
“Di Depok, di Akademi Komputer.”
“Wah, hebat dong!”
Aku cuma bisa tertawa kecil. Ada rasa tak enak di hati. Entah apa.
“Lalu bagaimana sekarang kuliahnya?”
“Terpaksa berhenti.”
“Kenapa? Kan sayang…”
“Ya, maunya memang sekolah lalu jadi sarjana, bisa dapat kerja yang bagus, gaji pun lumayan. Tidak seperti ini. Capek… Tapi mau bagaimana lagi, Mbak. Saya harus melupakan dulu niat untuk menyelesaikan kuliah. Di rumah sudah ada anak dan isteri menunggu.” Kurasakan suaraku agak bergetar.
“Anak dan isteri? Adik sudah berkeluarga? Astaga, masih muda sekali…”
Dari kaca spion kulihat matanya membelalak. Tak percaya. Jantungku berdebar
lebih deras.
“Saya salah jalan sedikit menjelang pengumuman ujian SMA. Akhirnya, setelah kuliah tiga bulan, saya jadi bapak.” Aku  terus bercerita, lancar, tak terputus. Lancar.
“Waktu itu rasanya bagus sekali. Cita-cita saya, sambil kuliah saya akan cari kerja sampingan. Mungkin bisa memberi les pada anak-anak SD, SMP. Begitu pula dengan isteri saya. Tetapi, ternyata, mencari murid les juga tidak mudah. Para orangtua sekarang sangat selektif dalam memilih guru les. Kalau cuma tamatan SMA, mereka ragu. Saya mencoba melamar kerja sampingan di bengkel mobil, lagi-lagi tidak berhasil. Mereka tidak bisa menerima pegawai paruh waktu. Repot menggajinya, begitu alasan mereka. Apa boleh buat. Untung sekali tetangga kami di tempat kontrakan, datang menolong. Dia memberi info bahwa perusahaan taksi ini mencari pengemudi baru. Saya lolos tes, dan jadi supir.”
“Orangtua bagaimana?”
“Mereka tidak tahu. Mungkin juga sebaiknya tidak tahu. Saya tidak mau mereka mencemooh kami lagi. Sudah cukup. Mereka tidak mau tahu ketika saya harus menikahi pacar saya. Tak juga peduli ketika saya sampaikan niat untuk kuliah sambil bekerja. Terlalu mengada-ada, kata mereka. Tak juga bergeming ketika saya katakan saya siap bekerja apa saja. Bahkan menjadi tukang rokok jalanan sekalipun. Saya butuh modal. Sedikit saja. Tapi mereka tidak bergeming sama sekali. Saya harus belajar bertanggung jawab. Mandiri. Berani melakukan sesuatu, berani menghadapi akibatnya, berani mengatasi, semua dengan usaha sendiri. Mereka bilang, saya sudah terlalu banyak berjanji tanpa bisa menepati barang sekalipun. Saya sudah terlalu banyak membuang kesempatan tanpa pernah merasa menyesal. Dan, akhirnya, isteri saya menyerah. Kami tidak berharap apa-apa lagi. Kami memilih jalan sendiri saja. Apa saja. Sebisanya.
Sungguh, pada mulanya bukan hal yang mudah. Bahkan sulit sekali. Kalau gagal jadi supir taksi, mungkin anak saya terpaksa menginap lebih lama di Rumah Sakit. Tak tertebus.  Jujur, terkadang bila saya melihat beberapa teman melintas di jalan raya, atau para mahasiswa yang tergelak di tempat pemberhentian bus, ada rasa tidak karuan. Tetapi segera saya bayangkan anak saya yang imut-imut itu dan isteri saya yang suka panik setiap kali memasak nasi. Bisa gosong, bisa jadi bubur, bisa kering. Perbandingan air dan beras selalu bervariasi, setiap hari. Lucu!” Dan penumpangku turut tertawa bersamaku.
“Kadang-kadang saya sering kesal kalau dia terlalu lama melihat halaman mode di majalah bekas yang saya belikan. Rasanya, seperti mengharap saya membelikan dia sesuatu. Saya jadi gampang naik darah. Nanti dia menangis, saya jadi panik, karena si kecil jadi ikut-ikutan bersuara.
Saya mengerti, Mbak, dia ingin barang-barang yang bagus, Memang lagi umurnya. Tetapi saya tidak bisa beri dia apa-apa. Uangnya dari mana?
Saya tidak berani berjanji apa-apa. Yang penting asal setiap hari bisa bawa sedikit uang untuk susu, cukuplah. Sekarang sudah lumayan. Istri saya jauh lebih tenang. Bisa prihatin.”
“Tidak terpikir untuk kembali ke orangtua?”
“Pernah berpikir begitu.Tetapi belum-belum di telinga saya sudah terdengar omongan mereka yang bikin muka jadi panas. Saya belum kuat untk menghadapi hal-hal yang bisa membahayakan emosi saya. Mungkin nanti, kalau anak saya sudah tak lagi mengompol di gendongan. Jadi, kalau dipangku eyangnya, dia tidak bikin malu. Dan kalau isteri saya sudah bisa melupakan wajah mertuanya yang selalu kusut dan menyebalkan itu. Dan itu masih lama sekali.”
Sesaat aku berhenti bercerita. Dari kaca spion kulihat penumpangku merenung. Menatap ke luar jendela.
“Setiap hari narik?”
“Ya, Mbak.”
“Malam sampai jam berapa?”
“Biasanya sampai tengah malam. Tetapi kalau sudah terlalu capek, saya tinggal pulang. Kalau sakit, repot. Uang susu bisa terpakai untuk obat. Sayang.”
“Betul, Dik… Kalau sudah urusan anak, kita bersiap memberi apa saja, ya.”
“Ya, biar capek seperti apa, biar kesal seperti apa, kalau sudah lihat anak,
semuanya hilang.”
“Lalu narik sampai jam berapa?”
“Tidak tentu. Peraturannya sampai jam dua belas malam. Tapi kadang-kadang sebelum itu juga saya sudah pulang…”
“Ya, kalau setoran sudah dapat, buat apa lama-lama di jalan.”
“Bukan begitu, Mbak. Kalau badan sudah tidak kuat lagi, dan mata sudah terasa berat, ya, saya pulang saja. Takut sakit. Nanti uang makan terpaksa buat beli obat. Sayang, kan.”
Tak terasa kami telah tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah mungil di seberang taman kecil. Terdengar suara meriah dari balik pagar.
“Itu anak saya…” bisik Mbak penumpangku. Aku mencoba mengintip Sulit.
Pagarnya terlalu rapat.
“Mudah-mudahan malam ini bisa cepat kumpul setorannya dan bisa main lebih lama sama si Kecil, ya…” katanya sambil menepuk bahuku.
Kami tertawa lagi untuk terakhir kali. Ia mengulurkan ongkos taksi dan sempat berpesan agar aku hati-hati, dan berharap bertemu lagi lain kali. Taksiku kembali melaju. Sayup kudengar pintu gerbang ditutup agak keras.

Tamat satu cerita.

Aku menarik napas lega. Aku bisa pastikan penumpangku tadi cukup bersimpati pada kisahku. Terbukti dari jumlah uang yang ia berikan. Jauh berlebih dari yang seharusnya aku terima.

Mungkin benar kata guru Bahasa Indonesia di SMA dulu, sebaiknya aku tekuni bakatku dalam mengarang. Cerita-ceritaku sangat meyakinkan, begitu katanya.
Ia menyarankan aku masuk fakultas sastra dan semakin menggiatkan urusan tulis-menulis. Siapa tahu nanti bertemu dengan penerbit yang mencari penulis muda, begitu sarannya.

Ada rasa geli, ada rasa tak enak hati.

Kupandangi langit yang mulai cerah. Seminggu lagi pengemudi asli taksi ini akan kembali bertugas. Dan aku kembali pada profesi semula: mahasiswa tingkat awal di sebuah perguruan tinggi.

Kepada para mantan penumpangku, maafkan. Aku hanya berusaha mendapat uang lebih untuk menutup setoran. Semoga suatu hari nanti, kita bertemu lagi, dan Anda semua tak pernah tahu kalau saya pernah mengobral cerita yang telah menggaruk-garuk perasaan Anda. 
Maaf. 

Selamat malam!





Dimuat di Majalah HAI, Edisi Khusus, Desember 1994

2 comments:

  1. pembaca ikut tergaruk perasaanya .. keren banget .. hehehehe ..

    ReplyDelete