Saturday 10 July 2010

Aku: Laki-laki


Dia cantik. Sangat. Entah mengapa baru sekarang aku bisa melihat keindahan perempuan yang satu ini. Ke mana saja aku selama ini?  Jangan tanya. Aku tidak tahu. Sumpah.

Setiap pagi, begitu  tiba di kampus, aku selalu mencari kelebatnya. Aku menunggu ia lewat. Menyeberangi koridor demi koridor, melangkah dengan kaki seperti menari di udara. Cepat, tanpa suara. Begitu cepatnya sehingga aku sering sulit menangkap wajahnya yang sering dibiarkan tersembunyi di balik helaian rambutnya yang panjang sebahu. Rambut, ya rambut itu soal lain lagi. Kampus kami yang terbuka di sana  sini, membiarkan angin menerjang dengan bebas. Ia, ya ya perempuan cantik itu, tak pernah pusing dengan ulah angin yang menimpa rambutnya. Setiap helainya dibiarkan  bebas bermain. Tertiup ke sana ke mari. Tak pernah ia merasa perlu merapikan apalagi menata ulang. Semua ia biarkan begitu saja. Dan tetap saja: ia cantik.

Perkenalan kami berlangsung begitu saja. Tak terencana. Seorang teman, tanpa niat mengenalkannya padaku. Kebetulan saat itu, teman ini sedang makan di kantin bersama makhluk cantik itu. Karena aku tiba-tiba muncul, teman ini merasa perlu  berlaku seperti tuan rumah. Ia tersenyum dan menjabat tanganku. Erat. Kuat. Aku senang jabatan tangan seperti itu. Tidak lemas dan tidak basah karena keringat. Ia tidak banyak bicara. Tetapi komentar-komentar pendek yang kadang ia lontarkan atas cerita temanku, mengejutkan. Ia tidak seperti teman-temannya yang lain.  Ia banyak membaca. Ia cerdas. Ia –tanpa berusaha mati-matian dan ingin kelihatan pintar—jenius. Aku minta nomor hp-nya. Ia berikan begitu saja, tanpa meminta balik nomorku. Tak juga meminta aku pasti  meneleponnya suatu hari nanti. Ia tidak peduli. Kami berpisah ketika ia tiba-tiba melihat jam tangan, dan menjerit kecil. Ada pesta penting di rumah: Ibunya berulang tahun. Ia melompat dari bangku kantin. Berlari. Dan menghilang. Begitu saja. Tak menoleh lagi ke arahku yang detik itu juga berharap bisa menempel di bahunya. Ikut ke mana ia pergi. Ke mana saja. Bersama. 
Terlalu.

Dua hari kemudian, aku –dengan segala upaya—berhasil berpapasan dengannya. Ia masih ingat namaku! Aku berteriak senang, dalam hati tentu. Aku bilang, hebat dia masih mengenaliku. Dia tertawa. Katanya, siapa yang tak kenal aku: mahasiswa yang sok-sokan jadi bintang sinetron   dan sekarang  ngotot ingin  jadi penyanyi pula.  Tak tahu harus berkata apa, aku cuma bisa tertawa. Panjang. Menjengkelkan sekali, kedengarannya. Karena terasa sangat dipaksakan. Dia hanya tersenyum. Mungkin tak sabar menunggu tawaku selesai, ia menyentuh tanganku. Katanya dia harus masuk kelas. Lima menit lagi kuliah umum di mulai. Aku hanya mengangguk-angguk, seperti orang tolol. Ia berlalu.

Malamnya, saat menunggu giliran shooting, aku duduk sendiri di sudut. Tiba-tiba aku ingat dahinya yang selalu berkerut setiap kali mendengar orang bicara. Aku ingat sentuhannya pada tanganku. Aku ingat tawanya yang hanya sekilas itu. Aku ingat warna rambutnya. Aku ingat bajunya yang hampir selalu berwarna putih. Aku ingat  semua yang ada padanya dan semua ketololan yang aku lakukan. Malam itu, sutradara tampak kesal. Aku tidak bisa konsentrasi. Aku lupa semua dialog. Terlalu. Sampai di rumah, hari sudah berganti tanggal. Mata terus terbuka lebar. Aku tak bisa tidur. Terlalu!

Jangan kuliahi aku macam-macam. Aku tahu apa yang terjadi saat ini: aku jatuh cinta. Aku ,yang selama ini lebih sering dijatuhi cinta banyak perempuan cantik dan lucu-lucu, kini benar-benar tak berdaya menghadapi perempuan yang satu itu. Temanku bilang, belakangan ini aku jadi tolol. Memang! Sutradara bilang aku sekarang tidak asyik lagi. Betul! Ibuku bilang, aku mirip ayam sakit. Tepat! Mereka bilang, ini tak boleh berlangsung lama. Aku setuju! Harus ada penyelesaiannya. Aku setuju juga! Tapi bagaimana? Bicara itu gampang. Tapi kenyataannya? Oh, sulit! Sulit sekali!

Tiga hari lewat tanpa aku sempat ke kampus. Ada jadwal shooting di luar kota.   Betapa aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin peluk dia. Mencium bibirnya, bermain dengan rambutnya. Tapi itu mustahil. Setidaknya untuk saat ini. Kepalaku, sudah tiga hari ini sakit tak tertahan. Dari pagi hingga sore aku marah-marah tak henti. Crew berlarian, menghindar, setiap kali aku lewat.  Wajahku terasa panas. Kepala seakan siap meletus: aku ingin pulang. Kubuka hp, kucari namanya, dan kutekan tanda bicara. Aku rindu padanya. Tepat pada dering ketiga, ia menjawab. Suaranya bebas emosi. Biasa saja. Sementara aku sesak napas. Hidungku seakan tak sanggup menghirup udara yang cukup buat paru-paruku. Aku bertanya, sedang apa dia. Baca buku, katanya. Ia bertanya apa yang kulakukan saat itu. Aku, tergagap. Diteruskan dengan tawa geli yang tak sedap didengar siapa pun! Dia tidak ikut tertawa! Tenggorokanku kering, mulutku pahit. Lama kami terdiam. Dan aku panik, ketika ia bilang kalau tak ada bahan yang dibicarakan, mungkin sebaiknya aku menutup telepon. Buru-buru aku bilang tiba-tiba saja teringat padanya dan ingin mengobrol. Dia tertawa kecil. Katanya, itu juga yang ia rasakan saat itu. Aku melompat tinggi. Hp-ku lepas, terjatuh, membentur batu. Hubungan terputus. Tolol!

Malamnya aku pulang. Pagi-pagi aku sudah duduk di ujung koridor. Menunggunya. Setelah kuliah jam kedua lewat, dia baru tiba. Ia melambaikan tangan. Aku berlari menghampirinya. Aku minta maaf pembicaraan kemarin berakhir dengan kampungan. Dia tertawa. Tangannya menepuk-nepuk bahuku. Aku merasa tubuhku seringan kapas. Melayang. Tinggi. Tak ingin turun lagi. Aku bilang ingin mengajaknya makan di kantin. Dia setuju. Tetapi dengan syarat tidak terlalu sore. Ada les piano, katanya. Aku cepat-cepat mengiyakan. Sampai waktu yang dijanjikan tiba, aku tetap duduk di ujung koridor. Tak bisa bergerak. Atau tepatnya tak ingin. Biar.

Kami cuma minum kopi susu. Tidak makan. Ia bertanya tentang kesibukanku di luar kota. Aku bercerita dengan antusias. Dia bertanya macam-macam. Dan aku tak ingin berhenti bicara. Aku ingin ia terpesona. Terkadang ia tertawa terkekeh mendengar keajaiban dunia sinetron yang aku jalani. Katanya, kalau pun dapat tawaran bagus, ia akan memilih jadi manusia biasa saja. Aku setuju. Setuju sekali. Ia –lagi-lagi—terlompat ketika melirik jam tangannya. Terlambat, katanya. Aku buru-buru menawarkan diri mengantarnya pergi. Ia sempat berpikir sebentar sebelum mengangguk setuju.

Di mobil, ia mengacak-acak kotak cd-ku. Ia senang menemukan cd penyanyi kesukaannya di situ. Matanya berbinar-binar. Gembira. Jantungku siap meledak karena gembira juga: cd kesukaannya adalah kesukaanku juga. Aku bertanya soal kesibukannya bermain musik ini. Katanya, ini hasil paksaan ibunya. Dulu ia merasa sengsara harus les, tak bisa tidur siang. Tetapi sekarang, justru kegiatan ini memberinya kesenangan. Dan uang! Ia mengajar piano untuk anak-anak.  Ia suka dan cinta pada piano. Aku bilang, aku juga. Maksudku, aku suka dan cinta padanya. 

Dua minggu, tiga minggu, sebulan berlalu. Aku semakin sering bersamanya. Aku rajin mengantarnya ke mana saja. Terkadang aku mengajaknya makan malam. Nonton film, konser, apa saja! Seorang teman wartawan yang pernah bertemu dengan kami di sebuah café bertanya, apakah dia kekasihku yang baru. Aku cuma tersenyum. Dia juga begitu. Sampai hari ini kami belum bicara apa pun yang menyangkut hati. Tak tahu apa yang ada di kepalanya, tapi di kepalaku, aku sibuk menyusun strategi. Aku harus membuat pernyataan yang menyangkut perasaanku padanya. Tak peduli reaksi macam apa yang akan ia lontarkan nanti. Dan itu harus segera terjadi. Aku tak sanggup menahan lebih lama.

Dua hari aku berdiri di depan kaca, menggerakkan tangan, menggoyang kepala, menaikkan alis, memperlebar senyum… berlatih menyampaikan isi hati. Dan semakin sering kulakukan, semakin payah dan buruk kelihatannya. Sama sekali tidak meyakinkan. Aku mencoba mengingat-ingat  dialog berisi pernyataan cinta yang pernah kuucapkan di beberapa sinetron. Ajaib sekali, semua terasa menggelikan. Tidak bisa dipercaya. Tidak menarik. Tidak pantas didengar.  Aku sendiri ingin muntah saat mendengarnya. Sungguh keterlaluan. Kampungan sekali! Mengapa ketika perasaan begitu menggebu dan ingin segalanya berlangsung mulus, justru kekacauan yang terjadi? Mengapa? Aku sesak napas. Ampun.

Malam, sebelum aku bertemu dengannya pagi hari nanti, aku kembali tak bisa tidur. Kupandangi langit-langit kamarku. Mencari jawaban yang sudah pasti tak ada di situ. Mau tidak mau, besok aku harus membuat pernyataan. Harus! Kalimat yang berhasil kurangkai –meski masih terdengar kurang intelek—sudah kuhafal luar kepala. Berharap esok dapat ilham yang lebih baik untuk disampaikan.

Dan saat itu tiba. Di ruang tamunya, sofa yang kududuki seakan siap menelanku bulat-bulat. Dia? Sedang bagus cuaca hatinya. Ia sibuk membahas buku yang baru selesai dibacanya. Seorang perempuan menulis tentang ibunya, begitu katanya. Tak sebersit pun tampak ia memahami maksud kedatanganku. Aku memaksakan diri tersenyum lebar. Keringat mulai menetes di punggung. Tenggorokan terus saja terasa kering, padahal aku sudah menelan ludah berkali-kali. Aku ingin menjerit. Protes keras! Menyumpah-nyumpah. Mengapa menyatakan cinta harus masuk dalam tugas pria? Mengapa pria yang harus melakukannya? Mengapa seluruh dunia percaya bahwa buat pria ini soal kecil? Tak masalah? Ide siapa itu? Ah!

Tiba-tiba saja, suaraku melompat ke luar. Aku dengar suara keluar dari mulutku. Bunyinya begini, “Bolehkah aku jadi pacarmu?” Tanganku gemetar, memeluk bantal. Aku --laki-laki  dengan sejuta penggemar perempuan  yang setiap saat rela menyatakan cinta padaku-- mengeluarkan keringat dingin di sela-sela jari kaki  saat menyatakan cinta pada seorang perempuan.

Sedetik, dua detik, ia masih juga bicara soal buku yang entah berjudul apa. Aku sesak napas. Pada detik ke lima, tiba-tiba ia menoleh. Menatapku dengan dahi berkerut. Dengan mata yang setengah dipicingkan, bibinya terbuka.  Jantungku berdetak kian kencang. Lalu kudengar suaranya, ringan menggelitik telingaku, “Apa katamu?” Dia tak mendengar lompatan suaraku tadi! Aku ingin pingsan saja. Repot sekali jadi laki-laki!

Spice, Juli 2004
 

2 comments: