Friday 27 August 2010

Mbah 'Niti

Begitu saya menyebutnya. Karena itulah dagangan utamanya: Peniti. Dari yang kuning keemasan, berbagai  ukuran: sangat kecil, sampai yang besar untuk popok bayi.  Sebetulnya ia tak cuma jual peniti. Ada bola bekel dan bijinya; jepit rambut hitam untuk sanggul, gunting kecil yang bisa dilipat, gunting kuku mungil, obeng  untuk gagang kacamata. Kalau dipesan, dia bisa membawakan harnet, jaring rambut itu.  Atau perlu celengan semar?  Mbah menyediakannya juga.  Tetapi dari semua itu, peniti yang paling banyak.

Pagi-pagi benar, Mbah sudah bergerak dari kamar kontrakannya di dekat pasar Palmerah, menuju pusat Jakarta. Tujuannya: warung rokok di seberang Sarinah, tempat ia menitipkan dagangannya. Jam enam tepat, ia sudah duduk di emper Sekolah Katolik, di daerah Menteng itu. Ndeprok begitu saja, di atas lembaran plastik, terkurung di antara barang jualannya, sampai jam 12. Setelah itu pulang. Katanya, “Matahari sekarang panas, Nduk. Sudah pakai kudungan, tetap saja sakit kepalaku.” 

Dulu, ia sendiri punya warung rokok, dikelola bersama suami. Pada suatu hari, suaminya panas dingin.  Diberi obat demam tak mempan.  Akhirnya di bawa ke rumah sakit. Tak juga sembuh, meski sudah menginap lebih dari sepuluh hari.  Tak ada tabungan, warung rokok pindah tangan. Tiga hari setelah itu, suaminya tutup usia. Sakit apa, Mbah Niti? “Ndak tahu. Mungkin sudah umur,” jawabnya sambil membenahi tutup kepala yang meluncur ke bahu.  Dalam keadaan tak punya apa-apa, tetangganya memberi saran untuk jadi pengemis saja. Dijamin uang pasti ada setiap hari dan banyak pula. “Katanya, muka saya pas buat minta-minta,” katanya terkekeh.  “Tapi tidak tega minta-minta. Saya masih sehat gini, kok....” Lalu ia meminjam modal pada tukang rokok di Sarinah itu.  Dapat lima puluh ribu rupiah, habis dibelikan ini dan itu.

Mengapa tak jual rokok lagi, Mbah?
“Sebenarnya, dari dulu saya  ndak setuju jualan rokok. Ndak baik. Sekarang yang suka jualan rokok sudah tidak ada, saya jual yang perlu-perlu saja.” 
Peniti barang yang diperlukan, Mbah?
“Itu paling laris. Setiap hari ada saja perempuan-perempuan cantik dari kantor-kantor sekitar sini, cari peniti. Ya tak sediakan.”
Untuk apa, ya?
“Lha, baju cah-cah ayu  itu kan buka sana sini. Kalau banyak gerak, makin terbuka. Perlu peniti buat nutupi yang ngablak-ngablak itu. Sudah tahu buka-buka, kok dibeli tho?” Mbah terkekeh lagi, sementara tangannya membungkus belanjaan saya: peniti.

2 comments: