Wednesday 22 June 2011

TENTANG BAPAK

Ini tentang Bapakku.

Bapak baru saja pensiun. Umurnya memang sudah pantas untuk itu: 66 tahun. Tapi justru masa istirahat yang panjang ini -menurutku- membuatnya salah tingkah. Tiba-tiba saja, jadwal bangun dan tidurnya yang selalu pasti dan tepat waktu, kini melenceng tak karuan. Dia bisa mendadak bangun jam sepuluh pagi, ataujam 3 subuh. Dan tidur di saat yang sama dengan jam tidur bayi tetangga.
"Pak, kalau bangun mbok ya seperti dulu. Telat sedikit tidak apa-apa, tapi jangan kelewatan begini, to! Repot membersihkan kamarnya!" itu keluhan Ibu. Dan Bapak, kalau sudah ditegur Ibu, cuma melirik. Paling banter mengucap,
"Ya…" dengan suara rendah bervolume kecil. Bapak memang pendiam. Dia tak banyak cerita, tak banyak komentar. Beda betul dengan Ibu. Perempuan yang suka berkebaya ini tak bisa membiarkan bibirnya istirahat (kecuali tidur, tentu). Ada saja cerita Ibu. Ada saja sindirannya. Ada saja omelannya.
Pernah aku berpikir, jangan-jangan kesukaan Ibu yang agak berlebih ini yang membuat Bapak malas bicara. Aku uma menduga, tapi kakakku, lebih ekstrim lagi: dia langsung tanya pada Bapak.
   "Pak, apa nggak bosan diam-diam terus? Rasanya sejak kecil sampai sebesar ini, Bapak tidak pernah ngajak saya ngobrol!" ketika itu kakakku baru saja tamat SMA. Bapak mengangkat alis. Bibirnya menyunggingkan senyum. Sudah itu saja! Kakakku gemas, dia melempar pertanyaan lagi, "Kenapa, sih Pak? Saya kok suka iri sama teman-teman lain. Mereka bilang sering diskusi sama bapak mereka. Kita? Weeeh, boro-boro diskusi, cerita sepotong tentang kantor saja tidak pernah. Bapak marah, ya?"
   Bapak tersenyum lagi. Kali ini sedikit lebih lebar. Dia menggeleng. Lalu katanya, "Tidak marah. Betul Eka, Bapak tidak marah. Tanya saja sama Ibu kalau tidak percaya."
   "Kalau nggak marah, kenapa nggak mau ngomong? Maksud saya ngomong yang rada panjang, gitu lho Pak!" balas kakakku lagi. Tidak puas. Alih-alih menjawab, Bapak malah diam. Tak mau berkata apa-apa lagi. Dia tersenyum. Lagi.
   Ibu, tanpa diminta, memberi penjelasan, "Bapakmu memang pendiam, Ka. Jangankan kamu yang baru kenal Bapak 19 tahun, Ibu yang sudah lebih dulu dari kamu ya sama saja. Jarang dibagi cerita sama Bapak. Sudah, Bapak bilang tidak marah, berarti dia memang tidak marah atau apa. Wis, ndak usah maksa-maksa bapakmu ngomong yang panjang. Dipaksa-paksa nanti malah bikin dia kesel. Kalau mau tanya apa-apa, kan bisa tanya sama Ibu."
   "Jangan-jangan yang bikin Bapak diam itu malah Ibu. Bapak nggak pernah sempat cerita, lantaran Ibu ngomong terus…" ujar kakakku santai. Aku kaget mendengar keberaniannya menembak Ibu. Sudah tahu Ibu gampang naik darah, pakai dipancing pula. Eka nekat! Buru-buru kulihat wajah ibu kami. Eh, ajaib, dia tidak merengut. Malah, "Hahahahaha…." dia tertawa. Kini gantian kakakku yang melongo. Bapak ikut tersenyum melihat tampang manusia-manusia yang ada di sekitarnya.
   "Kok Ibu yang disalahkan. Sebelum kawin sama Ibu, bapakmu ini sudah diam kayak gini, Eka. Mungkin ada syarafnya yang sedikit kendor atau kekencengan, makanya jadi susah ngomong," tutur Ibu setelah berusaha setengah mati menahan tawanya yang meriah.
   "Ibu kok mau sih sama Bapak yang diam begitu?" Aduuuuh, kakakku ini betul-betul cari perkara saja. Untungnya -entah sedang bertiup musim apa sekarang ini- Ibu dengan ramah menjawab, "Bapakmu itu orang hebat. Tidak banyak omong, tapi tindakannya selalu tepat. Dan yang paling penting, Bapak sayang sama Ibu. Ah, sudah!" Kakakku tampak masih penasaran. Dia ingin mengecek pernyataan Ibu pada Bapak. Tetapi pihak yang bersangkutan menyingkir masuk kamar. Itu artinya waktu tanya jawab sudah selesai. Sayang.
   Sejak itu, kakak tak pernah bertanya macam-macam lagi. Dia puas dengan jawaban Ibu. Aku percaya Ibu benar. Tapi itu dua tahun lalu. Kini keadaannya lain: aku mulai menyangsikan ucapan Ibu.
   Terus terang, tak enak punya rasa begini: sangsi, kesal, kecewa. Semua bercampur jadi satu. Tetapi itulah yang ada kini. Betapa sulit memahami Bapak: di saat uang tak lagi mengalir teratur seperti dulu (Bapak pegawai swasta, kami hidup dari hasil bunga tabungan pensiunnya di bank), ia masih bisa meminjamkan uang untuk orang lain. Jumlah yang diberikan bukan sedikit. Dan kapan pembayarannya, tak juga jelas. Bagaimana itu bisa dibilang bertindak dengan tepat? Tak cuma itu, Bapak menolak tawaran kerja dengan penghasilan lumayan. Lucu, rasanya… Dia menolak bekerja lagi sementara tinggal di rumah tampak sebagai siksaan baginya. Aku tak mengerti. Begitu juga Eka. Apalagi Ibu. Hampir setiap hari Ibu mengeluh tentang lelahnya bekerja sendiri di rumah (kami biasanya punya pembantu. Tetapi sejak Bapak pensiun, kami mengerjakan semua sendiri): mencuci, memasak, membersihkan rumah…
   Aku dan Eka memang bisa membantu. Tetapi tidak banyak yang bisa dikerjakan lantaran kesibukan kami masing-masing: aku belajar untuk ujian akhir SMA, sementara Eka punya kerja sambilan di sebuah majalah remaja, di samping kegiatannya yang rutin sebagai mahasiswa.
   "Mungkin ini yang namanya penyakit tua, ya…. Merasa tidak berdaya, merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, mungkin ini yang sedang menyerang bapakmu," begitu kata Ibu suatu hari. Nada suaranya tegas, keras, dan wajahnya merengut. Kehabisan senyum. Aku tak bisa bilang apa-apa. Mungkin tepatnya, tidak berani. Ibu lebih berhak: Ibu yang kenal Bapak lebih baik ketimbang kami, anak-anaknya. Bukan begitu? Meski kalau mesti bersikap jujur, aku mulai memikirkan ucapan Ibu. Mungkin Ibu benar. Bapak yang sekarang sudah bukan bapak yang hebat, bapak yang tindakannya selalu tepat. Bapak yang sekarang adalah bapak yang renta, yang tak tahu harus berbuat apa kecuali salah tingkah sendiri. Buatku, itu mengherankan.
   Pada Eka, kuceritakan apa yang kurasa. Dia memandangku lama sekali sebelum menjawab. Ini di luar kebiasaannya. Kutepuk lengannya, "Hei, kok diam saja, sih? Pakai melotot lagi!"
   Dia menghela napas panjang, "Wid, kamu nggak punya hak ngomong begitu tentang Bapak…" katanya perlahan. 
   "Tidak punya hak? Kok kamu bisa bilang begitu?" aku memang biasa berkamu-kamu dengan Mbakku yang cuma satu ini.
   "Kamu kan nggak tahu apa yang ada dalam pikiran Bapak. Kamu nggak tahu mengapa Bapak memilih menolak pekerjaan atau pun meminjamkan uang pada orang lain. Dan aku yakin BApak punya pertimbangan sendiri yang tidak kamu ketahui, yang tak bisa dia ceritakan. Kamu kan tahu, Bapa itu seperti apa…." katanya. Aku termangu. Tak tahu harus bilang apa: membantah omongan Eka, atau memikirkannya. Kepalaku mendadak pusing. Pusing sekali sampai tak bisa menangkap omongan Eka seterusnya.
   Malam harinya aku tak bisa tidur. Apa yang diucapkan Eka terus terngiang di telinga. Pikiran ini kok rasanya kusut sekali. Bayang-bayang Bapak yang salah tingkah dan ibu yang mengeluh terus, mondar-mandir di mata. Tapi, tiba-tiba bayang-bayang itu terputus oleh nyala lampu yang mendadak muncul dari ruang tengah. Ibu sudah bangun? Jam berapa sekarang? Kudengar langkah-langkah menuju dapur. Ibu mungkin perlu bantuan. Aku bergegas bangun.
   "Wid, mau ke mana kamu?" tangan Eka mencekal kaosku. Rupanya dia tahu aku tak bisa tidur (maklum kami tidur seranjang).
   "Bantu Ibu," jawabku pendek sambil berusaha melepaskan cekalan tangannya. Dia malah menarik lebih keras.
"Tidak usah…" katanya lagi.
"Tapi…"
"Itu Bapak, Wid. Dia tidak mau diganggu." Bapak? Mulutku terbuka, terlongon: tak percaya pada telinga sendiri.
   "Bapak sedang mengerjakan pesanan terjemahan dari sebuah perusahaan penerbitan. Dan sambil bekerja, dia memasak air, merendam baju-baju kotor. Menjelang pagi, Bapak mengepel ruang tamu, ruang tengah, semua." Seperti godam saja omongan Eka memukul telingaku. 
"Bapak…" aku tak tahu apa yang harus kukatakan lagi.
   "Wid, sudah. Tidur saja lagi!" Tidur? Oh, Eka sudah gila barangkali. Bapak bekerja begitu keras, eh aku malah disuruh tidur. Harusnya dia dan aku turut membantu! Aku mendorong lengannya, tapi ia menekan kian kuat.
"Wid, aku bilang tidur!"
"Tapi, Bapak perlu dibantu!" kulihat Eka menggeleng perlahan.
   "Bapak tidak mau dibantu. bapak ingin mengerjakan itu sendirian. Dia tidak ingin aku, kamu kecapaian, kehabisan tenaga untuk belajar. Tidak ingin ibu mengeluh terus…." Aku tak mengerti omongannya.
   "Aku tahu apa yang Bapak kerjakan tepat seminggu setelah dia pensiun. Tidak sengaja. Waktu itu aku mendadak dapat ide bagus untuk intro tulisanku. Aku bangun. Waktu membuka pintu, kulihat Bapak ke luar kamar. Dia bercerita sedikit tentang pekeraan barunya. Tapi dia tak bilang soal membersihkan rumah. Bapak berusaha agar aku tidak tahu. Dia memaksaku tidur. Aku menrut. Tapi dari lubang angin, klihat semua yang Bapak kerjakan: sehabis menggarap beberapa halaman terjemahan, Bapak membereskan dapur. Terus mengepel lantai…"
   "Tapi… Ibu?"
   "Ibu sudah terbiasa mengeluh. Dia juga sudah terbiasa dengan air yang selalu sudah matang, pakaian yang terendam dan lantai yang bersih selama Iyem masih ada. Begitu Iyem sudah tak di rumah ini lagi, tugasnya langsung diambil alih oleh Bapak sehingga Ibu tak sempat memperhatikan bahwa ada yang kurang di rumah," Eka melepaskan pegangannya. Tapi aku sudah tak berminat untuk bangkit. Rasanya aku baru disadarkan, betapa tololnya aku selama ini. Betapa…. Ah!
   Mendadak persoalan penolakan pekerjaan itu jelas: Bapak sudah punya pekerjaan lain yang lebih menguntungkan buat kami. Bapak bisa bekerja di rumah sambil membantu Ibu (meski yang dibantu tak pernah tahu akan hal itu). Dan lagi, mengapa pula memaksa Bapak bekerja di kantor lagi? Jangan-jangan itu melelahkan atau terlalu berat buat Bapak. Cuma Bapak saja yang tak mau mengeluh, tidak mau bilang apa-apa…. Aduh, Bapak!
   Pagi segera datang tanpa aku sempat menutup mata dan bermimpi. Kutemu Bapak yang sudah membaca koran pagi di ruang tamu. Diam-diam aku duduk di sampingya. Ia menoleh, tersenyum. Tangannya mengelus kepalaku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tidak juga dari bibirku (aku tak sanggup bersuara!). Tapi aku tahu betapa dia begitu menyayangi kami. Dan aku berharap, dia tahu aku tak akan pernah menganggapnya renta, dan salah tingkah. Tidak akan pernah, Pak.

Daddy,
thank you for being my daddy
may God bless you, help you
forever.



Pernah dimuat di majalah HAI, pada suatu masa di tahun 1990-an.

2 comments:

  1. SUKA BANGET,MBAK!!!!! itu yang terjadi dengan bapakku juga .. sangat pendiam! tapi dia selalu ada klo saya butuh nasehat yg melampaui pemikiran saya :)

    ReplyDelete
  2. Betapa aku iri dan menginginkan sesosok bapak seperti yang mbak punya.

    Freelance :)

    ReplyDelete