Saturday 28 March 2009

DI KELAS (serial catatan kemarin)


Ibu Tini berjalan sangat cepat. Aku berlari-lari di belakangnya. Satu kelas, dua, tiga, empat kelas dilewati. Aku mencoba melirik ke dalam kelas-kelas yang kami lewati. Tidak bisa melihat banyak karena aku harus berlari, mengejar Ibu Tini yang sudah jauh di depan. Hampir di ujung, kami berhenti di sebuah kelas. Dari dalam terdengar suara yang keras, ramai. Aku ingin masuk, tetapi Bu Tini berdiri, diam di depan pintu kelas yang tertutup. Aku jadi ikut berdiri di sampingnya. Lalu ia menoleh ke arahku, mulutnya jadi kecil karena semua bibirnya berkumpul di tengah. Aku betul-betul ingin pulang. Bagaimana caranya, ya?

Lalu kudengar Bu Tini bicara, “Ayo masuk! Jangan nakal, saya tidak suka anak nakal!” aku mengangguk-angguk. Aku tahu anak nakal itu seperti apa. Aku bukan anak nakal. Bukan.

Ibu Tini mendorong aku masuk. Kelas yang ramai langsung diam. Semua yang ada di kelas memandangi Bu Tini. Bukan, bukan…aku! Mereka semua melihat aku dengan muka heran. Malah ada yang sampai membuka mulutnya lebar-lebar. Kenapa harus begitu? Aku melihat bajuku, sepatu, tas, tempat makanan dan minum. Ada yang salah? Pita masih terikat di kedua kuncirku. Tapi mereka terus saja memandang heran. Aku tidak suka. Aku pelototi mereka satu-satu. Lalu mereka mulai menunduk, buang muka. Nah, begitu lebih bagus.

Bu Tini lalu bilang namaku Na Willa. Tiba-tiba satu kelas tertawa. Keras sekali! Ibu Tini juga ikut tertawa. Apa yang lucu? Apa yang lucu? Kenapa kalian tertawa? Aku tak suka. Kaki kubanting keras-keras. Ibu Tini kaget. Dia langsung berhenti tertawa. Alisnya berkumpul di tengah, menjadi garis lurus. Bibirnya kembali mengumpul di tengah. Aku melihat lurus ke matanya. Aku tak suka dia menertawakan namaku. Kami berpandangan, lalu ia pura-pura melihat ke pintu kelas. Setelah itu ia berteriak, “Semua diam!” Anak-anak itu berhenti terbahak-bahak, perlahan-lahan. “Mulai hari ini, temanmu ini akan belajar bersama kalian. Dia akan duduk di ....” Bu Tini melihat ke seluruh kelas. Lalu matanya berhenti di sebuah bangku di tengah. Di situ duduk seorang anak laki-laki. Rambutnya berdiri seperti sikat kamar mandi. Matanya mengantuk. Dia sedang ingusan, “Sebelah Bayu.” Si ingusan itu Bayu namanya. Ibu Tini mendorong aku, bergerak ke bangku di deretan ketiga dari depan, kedua dari pintu. Di depannya duduk seorang anak laki-laki berbadan kecil, berambut keriting. Di belakang Bayu, duduk sepasang anak perempuan. Yang satu berponi, satu lagi rambutnya diikat di tengah kepala. Bersama-sama mereka menjulurkan lidah. Aku juga: weee! Semua anak menoleh ke tempat dudukku. Ada apa? Aku memeriksa baju dan sepatuku. Semua masih seperti tadi. Tidak ada yang berubah.

“Na Willa, duduk!” aku dengar Ibu Tini memberi perintah. Aku menurut. Bangku kayu ternyata tinggi. Kakiku berjuntai. Tas berisi makanan, minum, pensil, aku gantungkan di sandaran. Ibu Tini bilang hari ini kami akan belajar menulis. Ia mengeluarkan setumpuk buku, menyebut nama, lalu satu-satu teman baruku maju, mengambil buku. Aku menunggu. Buku habis dibagikan. Namaku belum dipanggil. Semua menge-luarkan pensil. Siap menulis, tapi mata mereka melihat ke arahku. Di meja Bu Tini sudah tak tersisa buku. Aku mengambil tas, siapa tahu Mak membawakan buku untukku. Tak ada. Hanya pensil, penghapus, kotak kue saja yang ada. Ah, ya aku ingat: semalam Mak bilang kalau buku akan aku dapat dari sekolah. Aku harus minta buku dari Bu Tini. Aku turun dari bangku dan menghampiri Bu Tini.

“Ada apa?” ia bertanya dengan suara keras. Alisnya masih menyambung. Aku bilang, aku tak dapat buku. Dia mendengus, bulu hidungnya sampai keluar lubang, lalu dia bilang, “Kamu kan anak baru! Bukumu belum ada. Duduk saja dulu di sana. Perhatikan bagaimana temanmu menulis. Kamu toh belum bisa menulis, kan?”
“Bisa, aku bisa menulis, Bu,” kataku. Ibu Tini tertawa, “Ya, ya, ya... kamu bisa menulis tapi tidak bisa dibaca kan?” Ia lalu memberi isyarat agar aku kembali ke bangku. Aku tetap berdiri saja di samping mejanya. Aku bilang, “Aku betul-betul bisa menulis, Bu!”
“Tidak ada anak yang bisa menulis sebelum dia sekolah. Kamu juga tidak bisa. Sana duduk,” katanya dengan suara yang lebih keras dari tadi.
Aku tetap berdiri, memegang ujung mejanya, “Tapi aku bisa!” kataku.
“Kamu melawan, ya?” Ibu Tini tiba-tiba berdiri, tangannya terpasang di pinggang. Matanya tiba-tiba berubah jadi bola hitam yang besar! Mulutnya yang tadi membulat, sekarang menganga lebar. Giginya kelihatan semua! Ada tambalan hitam, di belakang!

Aku dengar teman-temanku menarik napas. Aku juga. Ibu Tini marah. Tapi kenapa? Aku kan hanya bilang kalau aku bisa menulis. Aku juga bisa membaca, tapi itu belum aku sampaikan. Apa aku harus bilang tidak bisa apa-apa? Tapi aku bisa! Ibu Tini menunjuk bangkuku, “Kembali duduk di sana. Kamu saya hukum karena melawan!” Dihukum! Dihukum? Aku menghentakkan kaki. Aku tidak mau dihukum. Tidak bisa dihukum. Aku tidak melakukan apa-apa. Aku cuma bilang aku bisa menulis. Aku tetap berdiri di samping mejanya. Ibu Tini, keluar dari mejanya, mendorong aku menuju bangku. Aku tetap ingin berdiri di situ. Tapi dorongan Ibu Tini lebih kuat. Kakiku bergerak maju. Lalu dengan sekali rengkuh, dia mengangkat aku, mendudukkan di bangku kayu itu.

Aku kesal sekali. Aku duduk bersandar. Tanganku terlipat. Aku tak mau melakukan apa-apa hari ini. Bayu, dengan ingusnya yang mengalir sampai ke tepi bibirnya, melihat ke arahku. Kenapa melihatku terus? Apa yang aneh? Aku sepak kakinya. Aku tidak suka dipandangi seperti itu. Bayu balas menyepak. Sakit. Aku sepak lagi. Lebih keras. Dia ingin membalas, tapi kaki kuangkat tinggi-tinggi. Kakinya kena bangku kayu. Ia menjerit kesakitan. Ingusnya meluncur ke mulutnya. Mukanya jadi jelek sekali. Aku tak tahan melihatnya, aku tertawa keras-keras.

Tiba-tiba kepang rambutku di tarik dari belakang. Dua anak perempuan penjulur lidah yang melakukannya. Aku berbalik. Menghadap mereka. Tanganku menjulur, yang satu menangkap kuncir rambut yang terletak tepat di tengah kepala, yang satu menarik poni. Aku tarik kuat-kuat. Mereka menjerit keras-keras. Aku tertawa. Tiba-tiba kurasakan telingaku perih. Ibu Tini sedang memutar daun telingaku. Aku terangkat. Tangannya kutepis. Ia kaget dan pelintirannya terlepas. Aku hampir terbanting di bangku kayu. Tapi kakiku sempat menjejak lantai. Cepat aku berdiri, kuhentakkan kaki, dan sepatu Bu Tini yang lancip ujungnya itu berada di bawa telapak kakiku. Ia menjerit. Tangannya melayang, mencari aku. Cepat aku bergerak ke luar bangku. Tangan Bu Tini terhempas ke sandaran bangku. Ia menjerit lagi, lalu berteriak memanggil namaku. Keras sekali.

“Na Willa! Sini! Kurang ajar sekali kamu! Saya hukum kamu! Sini! Sini!” Lalu ia bergerak ke depan kelas, cepat-cepat membuka lemarinya. Aku menunggu di dekat papan tulis. Apa yang akan keluar dari lemari coklatnya itu? Sekejap saja ia sudah berbalik dengan sebatang rotan di tangan. Ah, rotan! Rotan!

Aku melompat. Menuju pintu. Aku keluar. Aku lari. Ibu Tini berteriak, keras sekali. Aku dengar suara langkahnya di belakangku. Mengejar. Aku lari sekencang mungkin. Melewati kelas-kelas yang berderet, pintu gerbang... aku terus berlari. Terus sampai ke jalan raya. Aku menoleh ke belakang. Ibu Tini sudah hilang. Aku berhenti berlari. Aku lihat penanda jalan. Ah, sudah dekat rumah. Aku teruskan berjalan. Pulang.

No comments:

Post a Comment