Saturday 28 March 2009

IBU TINI (serial catatan kemarin)

Paginya, aku bangun lebih dahulu dari Mak. Ia terkejut melihat aku sudah duduk tegak di ujung tempat tidur. “Willa, ini masih pagi sekali!” katanya sambil melihat jam di dinding. Mak cepat turun dari tempat tidur, lalu bergerak ke dapur. Mbok sudah bangun. Sudah masak air dan membuat teh. Sekarang ia sedang menyiapkan nasi semalam. Mau dibuat nasi goreng. “Buat aku?” Mak mengangguk.
Mbok menjerang air lagi. Buat aku mandi.
“Ambil bajumu, siapkan di kamar mandi. Anak sekolah harus belajar mengatur semuanya sendiri,” kata Mak. Aku menurut. Air cepat sekali matang. Mbok menuangkannya di ember, mencampurnya dengan air dingin. Aku mandi pakai sabun coklat cap kumbang. Wangi.

Habis mandi, berpakaian, sisir rambut, minum susu cap sapi tertawa, pakai bedak, pakai kaus kaki dan sepatu, memeriksa botol minum dan tromol isi nasi goreng ditaburi telur dadar, ambil karet buat mengikat sendok di tromol: aku berangkat. Naik sepeda bersama Mak, duduk di depan, di keranjang yang dipasang di stang depan. Mukaku dingin, kena angin.
“Sekolahmu dekat, cuma lima gang dari sini. Hari ini kita naik sepeda, supaya cepat sampai. Siapa tahu Mak harus ketemu dengan kepala sekolah atau guru kelasmu. Besok jalan kaki saja.” Tentu! Tentu!

Mak menghentikan sepedanya di depan gerbang besi karatan yang terbuka lebar. Aku turun. Kami melewati gerbang dan anak-anak berbadan besar –berteriak-teriak, lari-lari, tertawa-tawa, menuju rumah besar dengan banyak pintu, jendela, di seberang halaman. Ini sekolahku. Yang mana kelasku?

Mak mendorong sepedanya ke tempat penitipan sepeda di sudut halaman. Lalu kami bergerak lagi menuju rumah besar itu. Mak menarik tanganku ke arah ruangan paling ujung, paling kecil. Pintunya terbuka. Kami masuk. Di dalam duduk seorang perempuan agak tua –tapi lebih muda dari Nyonya Chang dan Mbok—duduk di belakang sebuah meja yang ditutup taplak batik. Di atas mejanya ada banyak kertas dan buku ditumpuk jadi satu.

Mak bilang selamat pagi, perempuan itu menyilakan kami duduk, ia bertanya apa aku anak yang akan sekolah hari itu, Mak menjawab ya, aku tersenyum lebar, duduk manis dengan tangan terlipat. Perempuan itu lalu bilang, “Saya Ibu Hermin. Kepala sekolah di sini. Mulai hari ini kamu sudah bisa sekolah di sini. Sebentar lagi gurumu, Ibu Tini akan datang. Kamu bisa ikut dia ke kelas.” aku cepat-cepat mengangguk. Jantungku berdebar-debar. Aku dengar Mak masih bicara-bicara dengan Ibu kepala sekolah hari itu pakai kebaya hijau dan kain coklat. Kacamatanya tebal, berbentuk segitiga terbalik.

Aku terus memandangi pintu sampai masuk seorang perempuan kurus, tinggi, memakai rok span bunga-bunga. Blusnya biru tua. Rambutnya di ekor kuda. Ia berjalan ke arah kami. Lalu Ibu kepala sekolah mengangkat kepala, dia bilang, “Nah, ini Bu Tini! Willa, beri salam pada Bu Tini.” Ini dia Bu Tini. Ia mengangguk ke arah Bu kepala sekolah dan Ibu. Lalu melihat ke arahku. Aku ingat, waktu itu aku tersenyum lebaaaaar sekali. Tetapi Ibu Tini tidak ikut tersenyum. Ia hanya melihatku. Terus. Aku berhenti tersenyum. Tiba-tiba aku ingin pulang! “Willa, Mak pulang ya. Sampai nanti!” Mak berdiri, mencium pipiku, bersalaman dengan Ibu kepala sekolah dan Ibu Tini, lalu keluar dari pintu kantor. Aku tidak ingin ikut Ibu Tini Tidak Senyum ini. Aku mau pulang bersama Mak saja! Tapi Mak sudah jauh dengan sepedanya.

No comments:

Post a Comment