Wednesday 28 January 2009

FARIDA (serial catatan kemarin)


Sepanjang yang aku ingat, Farida sudah tinggal di seberang rumah kami.
Rumahnya besar. Satu rumah Farida sama dengan empat rumah dibariskan jadi satu.
Dia punya banyak kakak. Ada Ahmadi, Salim, Martini, Maryati, Suryani, Fadli , Rahman. Tak punya adik. Ibunya selalu memakai kain dan selendang yang disampirkan di kepala. Bapaknya selalu memakai sarung, berikat pinggang lebar. Kopiah tak pernah lupa, tetapi dipakai melebar di kepala. Bajunya selalu kemeja hitam atau kaus garis-garis. Bapaknya Farida tidak pernah tertawa. Alisnya selalu bergabung jadi satu. Mukanya selalu seperti orang marah. Farida sendiri bilang bapaknya selalu galak. Suka marah, suka teriak-teriak, suka memukul anak yang nakal, begitu kata Farida. Itu sebabnya, biar rumah Farida besar, ada halaman yang luas, aku lebih suka main di rumah sendiri. Farida juga: lebih suka main di rumahku.

Farida sudah sekolah. Setiap hari, dia berangkat bersama Fadli dan Rahman. Naik sepeda, Farida selalu dibonceng Fadli. Rahman punya sepeda sendiri, tapi tak ada boncengannya. Bertiga mereka sekolah di sekolah negeri dekat rumah sakit kelamin. Agak jauh dari rumah.

Setiap pulang sekolah, Farida selalu mampir ke rumahku. Mak selalu memberinya minum. Kadang-kadang, semangka, kueh mangkok, atau getuk. Kami makan bersama, sebelum ia kembali ke rumahnya. Farida bisa ke mana saja. Main di rumah siapa saja. Karena ia tak pernah dicari oleh Ibunya. Pasti senang sekali jadi Farida.

Farida tidak bisa bilang ‘r’. Kalau Dul memanggilnya, “Falidaaaaa.... Falidaaa!” ia selalu mengamuk, mengumpat, lalu mengejar Dul. Berniat memukulnya, tapi tidak pernah berhasil.

Farida lebih suka dipanggil Ida saja. Aku memanggilnya begitu.

No comments:

Post a Comment