Saturday 3 January 2009

bini baru

Pagi itu, tiba surat undangan. Rumah sebelah akan punya hajatan. Kawinan.
“Siapa?” suami bertanya dari balik koran.
“Tak ada namanya,” kataku setelah membalik-balik undangan itu.
“Bagaimana bisa?” suami jadi tertarik, dan kemudian menurunkan koran.
Kusodori undangan itu. Lalu ia membaca dengan suara rendah, “Dengan ini kami mengundang bapak ibu saudara untuk hadir di pesta perkawinan saudara kami, pada tanggal besok, jam sepuluh.... Turut mengundang keluarga besar Hidayat Syafii almarhum dan Ibu Masyitoh.”
Ia juga tak menemukan nama pengantinnya.
“Kita harus datang, kan?”
“Tentu. Tetangga sebelah rumah, kebangetan kalau tak datang,” kataku lagi. Dalam hati terus menerka, siapa yang akan kawin? Anak pak Dayat almarhum ada tujuh orang. Enam di antaranya sudah menikah. Yang tersisa si Neng Inih saja. Itu pun masih lama karena umurnya belum genap 11 tahun. Jadi.... Yang mana?

Sejak sore, rumah sebelah sibuk. Suami menawarkan jasa membuatkan janur yang langsung disambut dengan riang. Aku mengirim dua ketel berisi kopi dan teh, dan termos berisi air panas.

Sekitar lewat tengah malam, suami kembali.
Aku langsung menanyainya, “Jadi siapa yang akan jadi penganten besok?”
Suami tersenyum-senyum, “Tunggu besok saja....” Lalu dia melompat ke tempat tidur. Terlalu.

Paginya, tepat jam 10 pagi kamii telah sap datang ke hajatan di rumah Bu Musiroh.
Ternyata yang jadi penganten adalah Pak Jali, anak sulung Pak Hidayat dan Bu Musiroh. Pak Jali, yang bekerja sebagai penjaga sekolah di gang sebelah, tak muda lagi. Waktu kami berkenalan tempo hari, dia mengaku sudah tua, umur sudah di atas 50, katanya. Duda ditinggal istri yang pergi bersama lelaki lain, tinggal di rumah sebelah bersama anak perempuannya yang juga sudah menikah dan memberinya cucu.
Rambutnya yang kemarin berwarna abu-abu, kini sudah hitam legam. Memakai destar warna merah, dia tersipu-sipu ketika kami salami.
“Selamat Pak Jali,” kata suami.
“Makasih, ah! Disuruh anak, nih begini.... Biar ada yang ngurusin katanya.” Pak Jali menyahut, sekarang badannya melintir ke kiri dan ke kanan. Persis seperti bocah yang ketahuan mengambil permen tanpa ijin emaknya.
“Ya, ya, Pak. Bagus itu. Biar tetap sehat, segar ya,” suami membalas sambil menepuk-nepuk bahu pak Jali. Saya mengikuti dari belakang, dan memberi salam kepada Pak Jali dan istrinya yang memakai baju Betawi lengkap dengan cadar. Dari celah-celah cadar yang agak rapat dan dalam waktu sangat singkat, saya sempat mencuri pandang, menangkap wajah sang pengantin. Muda. Sangat muda. Paling banter baru 20 tahunan. Pesta berlangsung hingga larut malam. Suami bilang, itu pasti karena Pak Jali dan istri barunya harus ganti baju tujuh rupa.

Besoknya, rumah sebelah sudah sepi. Dan kami tak melihat Pak Jali sejak saat itu. Ya, ya, pasti sudah jadi bagian dari keluarga mertua.
Tetapi setelah lewat sepuluh hari dari pesta perkawinannya, Pak Jali kembali mondar-mandir di gang kami.
“Apa kabar, Pak?” saya iseng bertanya.
Dia langsung berhenti dan merapatkan badan ke pagar rumah kami, “Ah, kurang baek, Bu.”
“Lho, kok bisa? Istri sakit?”
“Istri? Bukan! Sayah yang sakit, Bu!”
“Pak Jali sakit? Sakit apa? Ke dokter atuh Pak!”
“Yang sakit yang belah ini!” katanya sambil memukul-mukul dadanya. Aduh, aduh: ada apa ini?

Tanpa ditanya, pak Jali bercerita. Katanya, istri baru yang ternyata berumur 17 tahun jalan itu, tak mau diajak tidur seranjang. Dikiranya kalau sudah sampai di kampung sendiri, ia pasti mau. Ternyata tidak juga. Ketika dipaksa, ia malah minta cerai. Semula pak Jali berpikir, istrinya masih malu, takut. Namanya juga baru 17 tahun! Tetapi setelah lewat seminggu, penolakan makin hebat. Bahkan mengancam akan bunuh diri kalau Pak Jali tak berhenti merayu.

Pak Jali lantas menemui mertua yang tidur di kamar sebelah. Malam itu juga semua duduk berkumpul, dan istri baru berterus terang: sebetulnya ia sudah punya pacar. Bahkan sudah berniat untuk kawin pula. Tapi keburu dijodohkan oleh Emak dan Bapaknya. Mau kawin lari, tak sempat. Pak Jali bingung. Mau diteruskan, istrinya jelas-jelas menolak tidur seranjang. Mau diceraikan, ia malu pada keluarga dan tetangga. Sakit kepala, patah hati, Pak Jali pulang ke rumah. Kembali menempati loteng rumah sebelah.
“Mau apa lagi kita? Udah dah yang tua ngalah!”
“Ngalah? Maksudnya, Pak?”
“Ya, kita diemin aja dulu....”
“Sampai kapan, Pak?”
“Sampai sadar aja, kalau dia sebenernya udah jadi bini orang. Bini kita.”
“Kalau tetap nggak sadar, gimana Pak?”
“Ya, kita minta pengertian deh sama keluarganyah. Dibujukin apah diapain gitu. Masak diem ajah....”

Hari ini, sudah lebih dari tiga bulan perkawinan Pak Jali berlangsung. Dan sampai hari ini, ia masih tinggal di rumah sebelah. Rumah keluarganya.
“Pak, malam minggu nih! Nggak nengokin bini?” aku iseng bertanya ketika ia lewat di depan rumah. Suami mendehem. Tak suka dia pada pertanyaan yang aku lontarkan tanpa dipikir dulu itu.

Pak Jali langsung menghentikan langkah, membuka kacamatanya, mengusap keringat, kemudian berkata, “Apa yang mau ditengokin, Bu? Bini udah kawin sama pacarnyah!” Lalu ia menggeleng-gelengkan kepala, “Tahu gini, nggak usah kawin aja kita. Ngabisin duit! Capek ati, dompet rata. Ampun, dah!” Saya dan suami saling berpandangan. Pak Jali menghela napas, menganggukkan kepala, pamit. Pak Jali meneruskan langkahnya, menuju mulut gang. Cari rokok. Mulut asem, katanya.

No comments:

Post a Comment