Wednesday 28 January 2009

Seperti Mak (serial catatan kemarin)


Kalau aku besar nanti, aku ingin bisa setinggi Pak. Jadi kalau harus ambil mainan di rak paling tinggi, tidak perlu naik kursi. Kalau mau pasang gambar, tidak harus pakai tangga. Tapi aku mau rambutku bisa seperti Mak. Berombak, berbelok-belok. Tidak seperti rambut Pak yang lurus dan kaku. Waktu aku bilang ini pada Mbok, dia tertawa terbahak-bahak. Katanya, kalau sudah besar nanti aku akan berkulit putih, bermata sipit dan rambutku tumbuh kaku-lurus. Aku tak suka dengan omongan Mbok. Aku bilang, aku anak Mak. Jadi aku pasti seperti Mak: kulit coklat, rambut berombak, belok-belok. Tapi Mbok bilang, dari jaman Februari (Mbok selalu bilang ‘jaman Februari’ untuk semua yang serba jaman dahulu kala), semua anak perempuan pasti akan jadi seperti bapaknya. Yang bisa mirip Ibu itu anak laki-laki.

“Kalau aku jadi anak laki-laki, aku bisa bisa seperti Mak?”
“Ya, bisa,” kata Mbok.
“Kalau begitu aku mau jadi anak laki-laki saja,” kataku.
“Bagaimana? Kamu anak perempuan. Sampai kapan juga anak perempuan!”
“Nanti aku pakai celana terus.”
“Tidak bisa, Noni! Kamu perempuan. Perempuan!”
“Tapi aku mau seperti Mak!” aku mulai kesal.
“Ora iso! Ora iso! Wedhok, yo wedhok!” kata Mbok. Lalu ia bergerak ke dapur. Aku langsung berteriak, dan... menangis keras-keras. Mbok langsung berbalik, mendekat, dan menyuruhku diam. Aku tidak mau diam. Aku sedang kesal! Kesal sekali!

Aku menangis lama sekali. Waktu Mak pulang dari pasar, aku masih menangis. Keras. Kaki, tangan, baju, muka: kotor. Aku menangis sambil berguling-guling. Mak langsung meletakkan belanjaannya. Ia mendekat, jongkok di depanku, “Ada apa, Willa?”
“Mbooooooooook!” kataku di tengah tangis yang makin keras. Mak bangun dan memanggil Mbok yang sudah sejak tadi berdiri di dekat kami.
“Kamu apakan dia?” tanya Mak sambil menunjuk aku. Mbok langsung duduk bersimpuh, dan dia ceritakan apa yang telah terjadi. Mak bertanya-tanya, Mbok menjawab-jawab. Mak lalu berhenti bertanya-tanya. Mbok berhenti menjawab. Aku masih menangis.

Mak lalu mendekat. Ia memeluk bahuku, “Willa, berhenti menangis. Dengar, kamu anak Mak dan Bapak. Nanti kamu tumbuh tinggi seperti Pak, dan rambutmu akan bergelombang seperti Mak.”
“Kata Mbok...”
“Mbok tidak mengerti. Sudah, diamlah,” kata Mak. Mbok sudah berdiri di pintu, menunggu Mak dan aku menuju kamar. “Maaf ya Non,” katanya. Aku mengangguk-angguk. Tangisku sudah selesai. Aku mulai menyanyi-nyanyi. Mak menghela napas. Panjang dan dalam. Menemani Mak menuju dapur, dari tas belanja dari plastik yang berlubang-lubang itu, ada sawo menyembul. Itu pasti untukku.

No comments:

Post a Comment