Wednesday 11 February 2009

A-I-U-E-O (serial catatan kemarin)


Dari kami berempat, cuma aku yang belum sekolah. Ida baru mulai tahun ini. Bud juga. Dul sudah mulai sejak aku diajaknya main gundu. Tetapi dari kami berempat, cuma aku yang bisa baca koran.

Mak yang mengajariku membaca. Aku ingat, pada suatu hari, Mak mengambil lembaran kalender yang tak terpakai. Bagian yang bertulisan, ditempelkannya ke dinding. Lalu ia membuat garis-garis, kotak-kotak di kertas itu. Sesudahnya ia menulis sesuatu. Begitu selesai Mak bilang, “Mulai hari ini, kita akan belajar mem¬baca. Kalau rajin, kau bisa membaca buku apa saja. Mau?” Aku tidak mungkin menolak. Aku sangat ingin bisa membaca buku-buku cerita yang dibeli Mak setiap hari Minggu, di toko buku kecil, di samping gereja. Kalau Mak punya waktu, ia akan langsung membacakannya begitu kami tiba di rumah. Tapi kalau ia sedang sibuk, aku harus menunggu. Dan selama menunggu, aku cuma bisa membalik-balik halaman buku. Melihat gambarnya. Menebak seperti apa ceritanya. Dan sekarang Mak bilang aku akan diajari membaca. Aku senang. Sangat.

Hari itu aku mulai dengan membaca tiga baris pertama: a i u e o, ba bi bu be bo, da di du de do. Mak menunjuk tulisan satu-satu, membacanya keras-keras. Aku mengikuti, sama kerasnya. Tak ingat berapa lama aku mengikuti Mak, sampai akhirnya Mak bilang sudah waktunya berhenti. Seharian itu, sampai sore, waktu main bersama Ida, aku terus menyebut a i u e o… ba bi bu be bo… da di du de do. Ida berteriak-teriak. Menyuruhku berhenti. Tidak bisa. Aku suka ba bi bu be bo. Malamnya aku mimpi datang ke sebuah pesta. Badut, pemain sirkus, putri, pangeran... semua ada, semua mengajakku bermain dan bicara: ba bi bu be bo... da di du de do... a i u e o....

Besoknya, begitu Pak berangkat ke kantor, Mak menyuruh aku mandi dan siap-siap belajar membaca. Aku langsung melompat ke kamar mandi. Mbok heran, “Tidak pakai air panas?” Setelah menyisir rambut, Mak menyuruh aku menunjuk tulisan yang ada di kertas kalender itu. Aku mulai lagi. Lalu Mak mengambil sebatang lidi dari ikatan sapu. Dipakainya buat menunjuk tulisannya sendiri. Mak menyuruh aku membaca apa yang ditunjuknya: a ba, I ba, I bu, u bi, e di, a da… Lambat-lambat. Tapi lama-lama makin cepat! Tiba-tiba Mak memelukku. Katanya, “Kamu sudah bisa baca!” Mak menunjuk sekali lagi, melompat dari satu tulisan ke tulisan lain. Suaraku keras terdengar: i bu, u bi, ba bu, dad u, i da, … Aku bisa baca! Aku senang! Hari itu, Ibu mengajari lima baris: fa fi fu fe fo, ga gi gu ge go, ha hi hu he ho, ja ji ju je jo, ka ki ku ke ko. Ditambah pelajaran menulis yang kami pelajari hari sebelumnya. Besoknya sepuluh baris… Dan besoknya lagi, sisanya. Begitu seterusnya. Sampai selesai.

Sejak itu, aku betul-betul bisa membaca buku cerita sendiri. Aku juga bisa membaca papan reklame, nama jalan, dan koran. Tapi tulisan di koran banyak. Aku tidak mengerti. Jadi aku pilih membaca komiknya saja. Setiap hari ada. Dul sering meminta aku membacakan buku pelajarannya. Keras-keras. Ia mendengarkan sambil main layangan. Sebetulnya aku tak begitu mengerti apa yang aku baca dari buku Dul. Kalau aku tanyakan pada Dul, dia pasti bilang, “Itu pelajaran anak kelas 4. Anak yang belum sekolah tidak perlu tahu!” Sombong!

No comments:

Post a Comment