Monday 2 February 2009

PESTA (serial catatan kemarin)


Farida. Itu suara Farida, Ida. Memanggil-manggil dari luar. Sebelum aku sampai ke pintu, ia telah masuk dan berdiri di samping mesin jahit Mak. Ia meringis, giginya yang hitam-hitam dimakan ulat, kelihatan berbaris, “Ayo ke rumahku!” katanya. Ah ya, tadi pagi, waktu mengantarku ke sekolah, Mak bilang, “Hari ini Mak ke rumah Ibunya Ida. Kamu menyusul saja ke sana.” Dan aku baru ingat pesannya setelah Ida menyusul. Pantas waktu pulang tadi cuma ada Mbok di rumah. “Di rumahmu ada apa?” Kakinya menghentak-hentak tak sabar, “Mak ku masak! Bikin cucur! Ayo!” Cucur? Aduh! Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ida langsung menarik tanganku. Aku menurut saja. Ke rumah Ida, makan cucur, tidak bisa dan tidak boleh dilewatkan. Aku suka cucur. Apalagi bikinan ibunya Ida, selalu enak. Tak sabar dia langsung menggandeng tanganku. Kami menyeberang, melewati pagar rumahnya, masuk halaman yang luas tapi tanpa tanaman sebatang pun.

Kami langsung menerobos ke dapur yang terletak di sayap kiri rumah. Semua Ibu-ibu –Mak juga-- dari Krembangan Bhakti 12 ada di ruangan itu. Berkerumun, kemriyek di sekitar kompor, lemari, baskom, talenan bulat yang biasa kami –aku dan Ida—sebagai tempat duduk dan tempat tidur para boneka. Masih ditambah dengan sayur aneka rupa terkumpul dalam keranjang, di sudut ruangan. Daging dalam panci-panci besar. Kelapa yang menunggu giliran untuk diparut, banyak sekali. Entah kapan selesainya. Dapur yang biasanya sangat luas, yang bisa dengan mudah dipakai untuk main sembunyian, tiba-tiba jadi sangat sempit. Aku memandang ke sekeliling dapur. Tak sekilas pun tampak bayangan kue cucur. Ida menarik tanganku, menerobos keramaian dapur, menyusup ke gang sempit yang mengantar kami ke deretan kamar-kamar besar, berpintu kayu jati tebal dan berat. Aku sudah membuka pintu kamar Ida, kamar paling kecil dari semua kamar yang ada ketika dia menarik tanganku kuat-kuat! “Bukan ke situ!” katanya sambil terus berlari ke arah ujung lorong. Dan tiba-tiba berhenti di depan kamar kedua terakhir. “Iki kamare sopo?” Ida tidak menjawab, dia langsung medorong pintu.

Lalu tampaklah sebuah tidur ditutup seprei warna merah muda, mengkilat. Bunga-bunga melati, mawar dan daun asparagus di sematkan jadi satu dengan peniti, di tancapkan pada bagian-bagian tertentu tempat tidur. Empat bantal besar bersandar di kepala tempat tidur. Di atasnya ada kain tulle panjang di biarkan menjuntai ke sisi kanan dan kiri kepala tempat tidur. Di tengahnya ada rangkaian bunga. Belum pernah aku lihat tempat tidur seindah itu. Pasti Aku ingin sekali melompat-lompat di atasnya. Pasti sangat menyenangkan. Selagi aku menimbang-nimbang untuk mengajukan permintaan itu, dari balik pintu lemari, muncul: Mbak Tin. Kakak ketiga Ida. Ia tidak tersenyum, seperti biasanya. Mukanya pucat. Matanya bengkak dan merah. Ia bergerak pelan, duduk di kursi bulat tanpa sandaran, menghadap meja rias yang sudah dihias juga. Penuh bunga.

“Mau apa kalian di sini?” katanya dengan suara yang sangat lembut. Ida, meringis, “Makan kue cucur!” katanya sambil menunjuk setumpuk kue cucur yang ada di meja kecil, di samping kiri meja rias. Di meja itu juga ada piring-piring lain berisi kue lapis, kelepon, jenang… Mbak Tin menghela napas lalu menyorongkan kue itu pada kami. Saat itu aku melihat mata Mbak Tin basah. Ia tak ingin kue cucurnya kami makan! Aku memandang Ida. Dia langsung menyambar piring dan meletakkannya di lantai. Di situ ia duduk, mengambil satu, dan langsung masuk mulutnya. “Ayo! Makan!” katanya dengan mulut penuh cucur. Aku ikut duduk di sampingnya. “Makan!” kata Ida lagi, mengambil cucur kedua. Aku menoleh ke a rah Mbak Tin. Ida mendekatkan bibirnya ke telingaku, “Mbak Tin mau kawin!” Oh! “Aku boleh lihat nanti?” Ida tertawa mendengar pertanyaanku, “Ya, boleh! Dua hari lagi kawinnya. Mbak Tin, Willa boleh lihat Mbak Tin jadi penganten ya?” katanya. Sesaat itu juga, Mbak Tin menangis. Badannya yang kurus berguncang-guncang. Cucur yang ada di tanganku terlepas. Jatuh ke lantai. Tapi Ida tetap tenang, ia terus mengunyah. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, “Kalau jadi pengantin memang musti begitu. Nangis.” Ia berbisik. Tangis Mbak Tin makin menjadi. Ida bicara lagi, “Kalau nggak nangis, artinya nggak senang jadi pengantin!” Mbak Tin bangkit dari kursinya, melompat ke tempat tidur. Telungkup di situ. Tangannya memukul-mukul bantal. Kakinya menendang-nendang ke sana ke mari. Rontok sematan bunga yang ada di seprei. Ida tersedak. Matanya membelalak, bingung. Kupungut kue cucur yang jatuh ke lantai. Kami berdua langsung melompat ke luar kamar. Sampai sore kami tak kembali ke kamar Mbak Tin. Tak ingin.

No comments:

Post a Comment