Monday 16 February 2009

MENUJU SEKOLAH (serial catatan kemarin)


Tadi pagi Nyonya Chang, datang ke rumah. Aku suka melihat rambut Nyonya Chang: kuning, halus, selalu digelung seperti siput, di bagian belakang kepala. Setiap kena lampu atau sinar matahari, rambut Nyonya Cang tampak mengkilat. Kata Mak, waktu muda Ny Chang pasti cantik sekali, karena sekarang saja –dengan muka penuh kerut—dia tetap cantik. Aku setuju dengan Mak. Satu lagi yang aku suka dari Nyonya Chang: ia selalu membawa oleh-oleh untukku. Hari ini aku dapat coklat payung sekantung penuh. Dan Mak dapat setumpuk buku. Aku berharap semoga ada buku anak-anak yang bisa aku baca…

Mak menyuruhku memberitahu Mbok, Nyonya Chang sudah datang. Artinya, Mbok harus menyiapkan teh hangat, gula dipisah, sendok kecil. Kalau ada kue, pasti ikut dikeluarkan. Setelah tugas selesai, aku segera ke ruang tengah, di balik ruang tamu. Aku duduk di kursiku. Di bawah jendela. Dari situ aku bisa mendengar Nyonya Chang dan Mak bicara. Nyonya Chang menanyakan Pak. Mak bilang kalau Pak masih di Jakarta. Belum bisa pulang. Masih banyak pekerjaan.

Aku suka mendengar Nyonya Chang bicara. Lain. Tidak seperti Mak, Pak atau siapa saja yang aku kenal. Aku pernah tanyakan itu pada Mak. Ia bilang itu karena Nyonya Chang bukan orang Indonesia. Dia orang Amerika yang sudah lama tinggal di Indonesia dan kawin dengan Tuan Chang, pemilik toko buku di Kembang Jepun.

Belum lama mereka bicara, aku mendengar namaku disebut-sebut. Aku langsung duduk tegak. Nyonya Chang bilang begini, “Martha, Willa harus masuk sekolah.” Ha! Sekolah! Aku mau itu! Apa kata Mak? Ayo, jawablah Mak! Aduh, Mak jangan diam saja!
“Mungkin kamu bisa mengajarnya membaca, menulis. Tetapi dia perlu mengenal dunia sekolah. Dia harus punya teman di luar teman-teman di sekitar rumah. Lalu ada guru… Banyak yang harus ia pelajari di sekolah.” Mak… Mak tetap diam. Aku sangat ingin mengintip. Aduh, Mak pasti sedang menggeleng-gelengkan kepala. Tak setuju. Tiba-tiba aku sangat ingin menangis. Sedih: Ternyata Mak tak ingin aku sekolah! Aku bangun dan meninggalkan kursi rotanku. Aku ke dapur. Mbok ada di situ, sedang mengupas labu siam. Dia bertanya, mengapa mukaku merengut. Aku sesak napas waktu mencoba menjawab pertanyaannya. Lalu aku menangis di pangkuannya. “Opo maneh tha?” katanya. Hari itu tangisku tidak bersuara.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Mak sudah ada di sampingku. Ia memandangku dengan heran. Alisnya terangkat tinggi-tinggi, “Nangis? Kenapa? Ndak mau sekolah?” Apa kata Mak? Ndak mau sekolah? Bukan! Bukan! Salah! Aku menangis karena…. Ah, sudah! Sudah! Aku buru-buru menghapus air mata, berdiri tegak di depan Mak, “Aku sekolah, Mak?”
“Ya. Harus. Kamu mau?” kata Mak. Aku melompat-lompat. Mbok aku peluk. Dia tertawa sambil menggeleng-geleng kepala.
“Mak mau pergi sama Nyonya Chang. Dia mau membantu Mak mendaftarkan kamu sekolah. Kalau bisa mulai besok,” kata Mak lagi. Besok! Besok? Aku melompat-lompat lagi dan baru berhenti setelah kakiku menabrak dingkliknya Mbok. Sakit. Mak memeriksa kakiku. Ternyata baik-baik saja. Ia mengusap kepalaku, lalu bergegas masuk kamar. Ganti pakaian. Bawa tas kempit. Pakai selop, berangkat bersama Nyonya Chang. Berdua mereka pergi, naik sepeda beriringan.

Hari itu, aku terus menyanyi. Tersenyum terus. Tertawa terus. Aku tak sabar menunggu Ida pulang sekolah. Juga Dul. Mereka harus tahu, mulai besok aku juga sudah seperti mereka. Jadi anak sekolah. Aku tak sabar menunggu Ibu pulang. Tapi... Mengapa lama sekali ia pergi?

No comments:

Post a Comment